BerandaKhazanah Al-QuranEmpat Kitab Tafsir dalam Tradisi Geneologis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan

Empat Kitab Tafsir dalam Tradisi Geneologis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan

Dalam sejarahnya, kehadiran tafsir di Nusantara secara geneologis banyak yang lahir dari tradisi Pesantren. Kebanyakan penelitian tentang tafsir di kalangan pesantren menyangkut tradisi genealogis di Jawa seperti Tafsir Faydh al-Rahman dan Tafsir Al-Ibriz. Yang tidak banyak diungkap adalah tradisi genealogis tafsir yang ada di luar jawa. Artikel ini akan mengungkap empat kitab tafsir dalam tradisi genealogis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan.

Ada empat mufasir beserta kitab tafsir yang dibahas, yaitu AGH. Yunus Martan penulis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah juz 1 dan 30, AGH. Hamzah Manguluang penulis Tarjumah Al-Qur’an Al-Karim: Tarjumanna Akorang Malebbi’e Mabbicara Ogi, AGH. Daud Ismail penulis Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi, dan AGH. Abdul Muin Yusuf penulis Tafsere Akorang Ma’basa Ogi.

Pemilihan keempat ulama beserta kitabnya tersebut karena dua alasan. Pertama, sepanjang penelusuran, hanya kitab-kitab tafsir tersebut yang dapat diakses di Sulawesi Selatan. Kedua, para penafsir kitab tersebut memiliki jejak intelektual dan konteks yang sama, yakni santri Muhammad As’ad di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang kemudian dikenal Pondok Pesantren As’adiyah.

Urutan Kemunculan Kitab Tafsir Ulama Pesantren As’adiyah

Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah karya AGH. Yunus Martan adalah kitab tafsir awal yang muncul setelah kitab karya AGH. Muhammad As’ad. Kitab ini telah dicetak sebanyak tiga kali oleh Tokoh Buku dan Percetakan Adil yang letaknya masih di sekitar pesantren As’adiyah, Sengkang-Wajo, sejak tahun 1958. Kitab ini hanya ditemukan dua juz, yakni juz 1 atau juz alif lam mim (1958) dan Juz 30 atau Juz Amma (1974).

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Sekitar 21 tahun kemudian, AGH. Hamzah Manguluang menulis kitab Tarjumah Al-Qur’an Al-Karim: Tarjumanna Akorang Malebbi’e Mabbicara Ogi (1979) yang dicetak CV Bintang Selatan, Makassar. Kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis lengkap hingga 30 juz dalam bahasa Bugis, yang dibagi menjadi tiga jilid.

Sekitar setahun setelah kitab AGH. Hamzah Manguluang, Daud Ismail menerbitkan kitab tafsir yang diberi judul Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi pada tahun 1980. Kitab ini dapat disebut hasil interaksi langsung antara AGH. Daud Ismail dengan AGH. Hamzah Manguluang, karena muncul setelah AGH. Daud Ismail memberi kata pengantar pada kitab AGH. Hamzah Manguluang. Kitab Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi merupakan kitab tafsir pertama yang lengkap 30 Juz.

Kitab terakhir adalah Tafsere Akorang Ma’basa Ogi karya AGH. Abdul Muin Yusuf yang ditulis pada tahun 1988, tepatnya ketika Muin Yusuf sebagai ketua MUI di Sulawesi Selatan. Ada beberapa ulama lainnya yang ikut andil dalam penulisan kitab, yakni AGH. Hamzah Mangluang, AGH. Makmur Ali (w. 2000), AGH. Muhammad Djunaid Sulaiman (w. 1996), AGH. Andi Syamsul Bahri (l. 1955), AGH. Mukhtar Badawi (t.d), yang semuanya merupakan ulama Bugis yang pandai berbahasa Lontara-Bugis.

Tradisi Geneologis dari Sisi Penamaan Kitab Tafsir

Secara umum, kitab-kitab tafsir karya para ulama Pesantren As’adiyah tersebut di atas ditulis berdasarkan susuan mushafi, dengan pemberian nama yang berbeda-beda. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah karya AGH. Yunus Martan memperlihatkan perbedaan antara judul kitab dengan isi di dalam kitab. Pada judulnya ditulis ‘tafsir’, tetapi di dalam isinya didominasi oleh terjemahan.

Hal ini mengindikasikan tiga pemahaman. Pertama, kitab ini berupaya memberikan tafsir ringkas dengan asumsi bahwa kitab ini disebarkan kepada masyarakat awam yang membutuhkan pemahaman Al-Qur’an secara ringkas dan sederhana. Kedua, kitab ini terpengaruh oleh konteks perdebatan penerjemahan Al-Qur’an yang terjadi dalam sejarah Islam. Sehingga, beliau memutuskan untuk mengambil jalan aman dengan menulis istilah ‘tafsir’.

Indikasi yang ketiga, dua indikasi tersebut berpengaruh secara bersamaan dalam penamaan kitab tersebut, mengingat AGH. Yunus Martan adalah ulama tafsir sekaligus dakwah, dengan mendahulukan faktor wacana tafsir. Sehingga, AGH. Yunus Martan aman dari perdebatan sekaligus memberi penjelasan ringkas kepada masyarakat awam. Di sini, saya menyebut kitab tafsir tersebut sebagai kitab tafsir-tarjamah, yaitu kitab tafsir yang didalamnya memuat banyak terjemahan.

Berbeda dengan AGH. Yunus Martan, AGH. Hamzah Manguluang menyebut kitabnya sebagai ‘tarjamah’ tetapi di dalamnya banyak melakuan penafsiran. Setelah menerjemahkan ayat Al-Qur’an, AGH. Hamzah Manguluang sering sekali melakukan penjelasan tambahan seperti berupa analisis bahasa, hikmah dan seterusnya. Karena itu, penulis cenderung menyebut kitab ini sebagai kitab tarjamah-tafsir, yakni kitab terjemah yang memuat banyak penafsiran.

Jika mengacu pada indikasi-indikasi kitab karya AGH. Yunus Martan sebelumnya, kitab karya AGH. Hamzah Manguluang dapat disebut sebagai sikap kritiknya terhadap kitab pendahulunya. Atau paling tidak, AGH. Hamzah Manguluang berada di posisi sebagian ulama yang menerima kebolehan menerjemahkan Al-Qur’an. Dapat juga dipahami bahwa AGH. Hamzah Manguluang berada dalam pandangan yang tersebar bahwa terjemahan sebagai model tafsir yang paling ringkas.

Lebih jauh, peran sosial beliau sebagai ulama yang bertugas menyebarkan ajaran Islam juga menjadi indikasi penting terjadinya upaya penerjemahan Al-Qur’an. Terlebih lagi, masyarakat Bugis, terutama ketika zaman kitab tersebut ditulis, sangat sedikit yang memahami bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’an. Dalam artian, terjemahan Al-Qur’an berbahasa lokal menjadi penting ketika berhadapan dengan objek dakwah, terutama masyarakat awam, yang ingin memahami Al-Qur’an secara ringkas.

Setelah kitab karya AGH. Yunus Martan dan AGH. Hamzah Manguluang, kitab Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi karya AGH. Daud Ismail dapat dikatakan bukan hanya memberi solusi atas perdebatan tentang boleh atau tidak menerjemahkan Al-Qur’an, tetapi juga membedakan antara tafsir dan terjemahan itu sendiri. Hal ini terbukti dari adanya keterangan “tarjamah wa tafsir” pada sampul kitab ini. Artinya, kitab ini memuat terjemahan Al-Qur’an serta penafsirannya.

Dengan demikian, AGH. Daud Ismail membolehkan kegiatan menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an. Ini terbukti dalam penyajiannya yang konsisten memaparkan terjemahan dan penafsiran secara bersamaan. Keterengan “tarjamah wa tafsir” juga mengindikasikan bahwa kitab Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi menjadi transisi dari penyamaan istilah terjemahan dan tafsir ke pembedaan antara keduanya.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Jika kitab Tafsir Al-Munir Mabbicara Ogi karya AGH. Daud Ismail dipahami sebagai kitab transisi pembedah antara terjemahan dan tafsir, kitab Tafsir Akorang Mabbasa Ogi karya AGH. Abdul Muin Yusuf dapat dipahami sebagai kitab yang secara substansi tidak lagi mempersoalkan perbedaan keduanya. Jaringan intelektual dan tafsir sesama ulama pesantren As’adiyah adalah fakta penting yang mempengaruhi munculnya kitab ini.

Sampai di sini, paparan empat kitab tafsir di atas menunjukkan dua poin penting. Pertama, keempat kitab tersebut membuktikan adanya komunikasi dan dialektika antar kitab tafsir, dalam hal ini berfokus pada penamaan kitab. Kedua, terjadi evolusi sikap dalam penamaan kitab dari sikap tekstualis dan khawatir menuju sikap kontekstualis dan berani. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU