Tafsir ekologi menjadi salah satu terminologi baru dalam ranah kajian tafsir al-Qur’an. Kehadiran tafsir ekologi menjadi sebuah angin segar bagi aktivitas penafsiran dewasa ini. Sebab tafsir ekologi memberikan tawaran orientasi dan cara pandang baru dalam upaya mendekati al-Quran. Sebelum membahas lebih dalam, mari mengenal tafsir ekologi dari aspeknya yang paling sederhana yakni mengenai latarbelakang serta definisinya.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya tafsir ekologi ialah masalah keberlangsungan lingkungan hidup masih menjadi isu aktual pada abad ini (abad ke-21). Climate change dan environmental crisis menjadi salah satu isu yang sangat diperhatikan oleh dunia saat ini, sebab menyangkut keberlangsungan alam dan kehidupan manusia.
Krisis ekologi yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh kesalahan manusia dalam mengelola alam lingkungannya. Terjadinya bencana-bencana alam seperti misalnya banjir, krisis air bersih, tanah longsor dan kabut asap merupakan beberapa bencana alam yang terjadi akibat campur tangan usil manusia.
Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6
Namun sayangnya kehadiran isu ini belum mampu memberikan kesadaran bagi sebagian manusia, khususnya di Indonesia, yang justru masih hanyut dalam nuansa fiqh dan politisasi agama. Agama seakan terkesan hanya berbicara masalah halal-haram dan kepemimpinan maupun bentuk negara.
Isu ekologi juga masih terdengar asing dalam berbagai sumber-sumber primer Islam. Hal ini terlihat dari tafsir-tafsir klasik bahkan sampai kontemporer tidak banyak yang menjadikan isu ekologi menjadi salah satu pertimbangannya penafsirannya.
Bahkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang membahas tema ekologi juga tidak didapati penjelasan yang berbasis ekologis namun justru teologis, salah satunya didapati dalam mayoritas penafsiran ulama pada Q.S. al-Rum [30]: 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Pada ayat tersebut, mayoritas ulama memaknai bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut disebabkan oleh kekufuran manusia dalam aqidah. Maka segala bentuk kerusakan itu merupakan azab yang ditimpakan Tuhan karena perilaku kufur teologis umat manusia. Secara teologis, pemaknaan seperti ini baik untuk menguatkan aqidah. Namun tidak bisa menjangkau makna ekologis yang ada di dalamnya.
Maka melihat realita yang ada, menjadi sebuah kebutuhan untuk menghadirkan gagasan metodologi tafsir baru yang berorientasi ekologis, sehingga dapat mengambil pesan-pesan ekologis dalam al-Qur’an sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperdulikan keberlangsungan lingkungan.
Atas landasan itulah lahir sebuah model penafsiran baru yang dinamai tafsir ekologi. Sebuah model penafsiran yang berorientasi pada kepentingan ekologis dan berupaya untuk menggali pesan-pesan ekologis dalam ayat al-Qur’an.
Baca Juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat
Selain memberikan sumbangsih bagi lahirnya produk penafsiran yang relevan dengan zaman—dalam level teoretis, kehadiran tafsir ekologi juga diharapkan mampu mengambil peran dalam level praksis. Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Mustaqim, Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga, bahwa pola pikir keagamaan yang didapatkan melalui interpretasi teks keagamaan berpengaruh besar bagi pola perilaku umat beragama.
Maka kajian tafsir ekologi merupakan salah satu solusi untuk mengisi pola pikir (mode of thought) umat Islam untuk lebih memperhatikan lingkungan sebagai bagian dari ajaran agama. Dengan begitu, masalah lingkungan yang telah terjadi dapat diperbaiki seiring membaiknya cara pandang manusia terhadap pentingnya keberlangsungan lingkungan. Wallahu a’lam.