Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya menjadi edisi ketiga dari serial “Tafsir Fiqh” yang membahas sisi-sisi menarik dari tafsir bercorak fiqh serta biografi mufassirnya. Sampai seri ketiga ini, judul dari kitab tafsir yang dibahas masih dengan frasa yang sama yakni Ahkam al-Qur’an. Namun kali ini mufassirnya berasal dari Eropa, benua yang saat ini mulai dijadikan rujukan akan kajian Qur’annya yang kritis.
Nama lengkap muallif ialah Al-Qadhi Abu Bakr Muhammad ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdillah ibn Ahmad al-Ma’arifi al-Andalusi. Dalam dunia akademik ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakr ibn al-Arabi al-Maliki. Ia dilahirkan di kota Isbili atau sekarang dikenal dengan kota Sevilla, pada tahun 468 H. Ayahnya merupakan seorang faqih sekaligus pejabat tinggi di Sevilla. Dikatakan juga bahwa ayahnya adalah salah satu dari murid Ibn Hazm.
Di usia yang baru menginjak 9 tahun, Ia dan ayahnya terpaksa meninggalkan Sevilla dan Andalus karena adanya pertikaian politik. Keduanya memilih Mesir lalu Syam sebagai tempat persinggahan. Setelah kurang lebih 3 tahun berada di Syam, mereka kembali bermigrasi dan kali ini Baghdad menjadi persinggahannya. Dalam sebuah informasi diketahui Ibn al-Arabi juga pernah singgah ke Mekkah.
Selama perjalanan lintas negara yang dilaluinya, Ia mengisinya dengan belajar kepada setiap ulama yang ada di masing-masing negara. Sebuah informasi yang mengungkapkan bahwa Ibn al-Arabi sempat berguru pada Imam al-Ghazali di Baghdad. Maka tidak heran jika akhirnya ia menjadi seorang yang menguasai berbagai keilmuan Islam mulai dari Fiqh dan Ushulnya, Hadis, Riwayat, Masalah Khilafiyah, Kalam, Tafsir. Qira’at hingga Sastra.
Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya
Di usianya yang menginjak 26 tahun, Ibn al-Arabi harus merelakan kepergian ayahnya yang kala itu wafat pada usia 57 tahun. Selepas itu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya dan berkat keluasan ilmu yang dimilikinya, ia menjadi seorang ulama besar di Andalus.
Masyarakat Andalus maupun ulama yang hidup semasa dengan Ibn al-Arabi menganggapnya sebagai ulama yang sangat berakhlak. Bahkan banyak penuntut ilmu yang berasal dari luar Andalus, datang jauh-jauh untuk berguru padanya. Ia juga dipercaya sebagai Qadhi atau hakim. Tingkatan dan wibawanya sebagai penegak keadilan begitu tinggi hingga bahkan orang-orang yang terlibat perkara sudah nampak gusar tatkala melihatnya.
Sepanjang usianya, Ia menuliskan dan mewariskan berbagai karya ilmiah di antaranya Ahkam al-Qur’an, Kitab al-Masalik fi Syarh Muwatha’ Malik, Aridhah al-Ahwadzi ala Kitab al-Tirmidzi, al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, Takhlish al-Takhlish dan beberapa lainnya.
Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Ibn al-Arabi menggarap kitab tafsirnya Ahkam al-Qur’an selama kurang lebih 20 tahun dan telah menghabiskan 8000 kertas. Kemudian dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Ibn al-Arabi selesai menuliskan tafsirnya dalam 8 jilid.
Ibn al-Arabi wafat di tahun 543 H pada saat tengah berada di Maroko dan kemudian jasadnya dibawa ke Kota Fez lalu dimakamkan di sana. Ia tidak hanya meninggalkan nama besarnya serta kisah mengenai perangainya yang adil dan penuh etika, ia juga meninggalkan warisan intelektual yang begitu berharga bagi perbendaharaan khazanah Islam.
Sisi Menarik dalam Kitab Ahkam al-Qur’an li Ibn al-Arabi
Sisi menarik pertama yang akan ditemukan ketika membaca kitab ini pertama kali adalah pada isi pembahasannya. Kitab ini menyajikan seluruh surah dalam al-Qur’an namun hanya menafsirkan ayat-ayat yang memiliki muatan hukum.
Secara sistematis penyajiannya dimulai dengan menyebutkan surah terlebih dahulu kemudian jumlah ayat hukum di dalamnya. Baru kemudian Ibn al-Arabi menafsirkan satu persatu ayat yang dinilainya masuk dalam kategori ayat-ayat hukum dengan membahasnya berdasarkan jumlah masalah yang ada di dalamnya.
Sisi menarik kedua, dalam penafsirannya Ibn al-Arabi menjelasan masalah hukum/ fiqh dalam ayat dengan mengacu pada madzhab yang dipeganginya yaitu madzhab Maliki. Meskipun hanya berporos pada satu perspektif fiqh namun Ibn al-Arabi tidak sampai pada level fanatisme ekstrim. Maksudnya bukan berarti Ibn al-Arabi tidak pernah mengarahkan kritikan pedas nan tajam pada lawannya, namun ia kadang berlaku inshaf (adil/toleran) dalam melihat sanggahan dari madzhab yang berbeda akan tetapi kadang juga ia berlaku keras.
Baca Juga: Tafsir Fiqh (2): Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya
Menurut al-Dzahabi, meskipun Ibn al-Arabi bisa dikatakan sebagai seorang yang merdeka dalam berpikir, namun pengaruh fanatisme madzhab masih dominan. Hal ini berpengaruh besar dalam pendapat yuridisnya. Jika akalnya lebih dominan maka pendapat hukumnya bisa lebih adil, namun jika madzhab yang lebih dominan maka akan terlihat jauh dari kata adil.
Sisi menarik selanjutnya adalah perhatiannya pada sisi kebahasaan serta penolakannya atas penggunaan Israiliyyat dan hadis dha’if. Bagi Ibn al-Arabi bahasa merupakan salah satu elemen penting dalam beristinbat. Maka akan sangat mudah didapati dalam tafsirnya, telaah kebahasaan sebagai langkah awal dalam beristinbat hukum. Adapun dalam penolakannya terhadap penggunaan Israiliyyat dan hadis dha’if disebabkan oleh mindset fiqhnya. Sebab kedua elemen itu tidak bisa divalidasi sebagai sumber informasi dalam pengambilan hukum. Wallahu a’lam.