Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an akan menjadi objek yang diulas pada edisi keempat dari serial “Tafsir Fiqh” kali ini. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farh al-Anshari al-Qurthubi al-Andalusi al-Maliki. Ia lahir tahun 1214 M Cordoba, sebuah kota di Spanyol (Andalusia). Kota Cordoba inilah yang kemudian dinisbatkan pada namanya sehingga ia dikenal dengan panggilan al-Qurthubi.
Sebagai begawan tafsir terkemuka, al-Qurthubi memulai pengembaraan ilmunya di tanah kelahirannya sendiri. Di sana ia mempelajari banyak khazanah keilmuan Islam, di antaranya keilmuan bahasa Arab, ilmu-ilmu al-Qur’an, Fiqh dan Ushulnya. Keilmuan dasar yang telah ia pelajari ini kemudian ia kembangkan tatkala berkelana ke negeri Timur (diketahui bahwa salah satu negeri yang disinggahi adalah Mesir).
Ada beberapa tokoh yang disebutkan sebagai guru-guru maupun orang yang berjasa dalam suksesnya karir keilmuan al-Qurthubi. Mereka adalah Abi al-Abbas ibn Umar al-Qurthubi (penulis “al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim”) dan Abi Ali al-Hasan ibn Muhammad al-Bakri (guru yang menurunkan sanad Hadis kepada al-Qurthubi) serta Ibn Khusaib yang bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal al-Qurthubi selama menuntut ilmu di Mesir dan bahkan hingga menjelang ajalnya menjemput.
Dari sisi keilmuan, al-Qurthubi adalah seorang yang cendekiawan yang menguasai berbagai bidang keilmuan dalam khazanah Islam. Hal ini dibuktikan dari karya-karya ilmiah yang diwariskannya yang mencakup berbagai bidang di antaranya al-Tadzkar fi Afdhal al-Adzkar¸ Syarh Asma’ al-Husna, al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mawta wa Umur al-Akhirah, Kitab Syarh al-Taqashshi, Kitab Qam’ al-Harsh bi al-Zuhd wa al-Qana’ah, al-I’lam bi Ma fi Din al-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Idzhar Mahasin Din al-Islam, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dan lainnya.
Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya
Adapun dari sisi karakter, dikatakan bahwa al-Qurthubi adalah seorang hamba yang shalih, ulama yang arif serta seorang yang zuhud. Maka tidak heran jika banyak dari judul kitabnya yang isinya tentang dzikrullah maupun etika-etika yang dianjurkan dalam Islam. Ia juga terkenal sebagai seorang ulama yang pandai mengatur waktu, sehingga selalu mampu meluangkan waktunya untuk menulis maupun beribadah.
Pengembaraan ilmu Sang Faqih nan Sufi ini harus usai setelah ia menghembuskan nafas terakhirnya di Mesir pada tahun 1273 M, di usia 59 tahun. Ia dimakamkan di Meniya, sebuah daerah sebelah timur sungai Nil, yang merupakan kediaman Ibn Khusaib.
Sisi Menarik al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
Sisi menarik pertama yang akan dibahas ialah mengenai isi dari tafsir ini. Ibn Farhun mengemukakan bahwa kitab ini tergolong kitab besar dalam bidang tafsir, ia juga mendeskripsikan bahwa kitab tafsir ini ditulis tanpa mencantumkan kisah-kisah atau sejarah sebagai materi penafsirannya. Namun lebih condong pada materi-materi yang berkaitan dengan pengambilan (istinbath) seperti Qira’at, I’rab/ Lugah, serta Nasihk-Mansukh.
Kedua, dari sisi konsistensinya dalam melacak jejak riwayat kutipan yang diambilnya. Jika pembaca membaca kitab ini maka akan didapati di mana al-Qurthubi begitu konsisten dalam menuliskan subjek yang ia kutip pendapatnya. Sebab dari konsistensinya ialah bentuk pertanggungjawabannya atas perkataannya dalam muqaddimah kitab ini:
“Syarat yang saya tetapkan dalam kitab ini ialah menyandarkan pendapat kepada orang yang mengeluarkan pendapat tersebut, serta hadis kepada periwayatnya. Sebab dikatakan bahwa itu merupakan prasyarat dari keberkahan ilmu serta usaha untuk menghilangkan kebiasaan yang terdapat dalam kitab Fiqh maupun Tafsir yang jarang menyertakan asal-muasal dari kutipan yang diambil. Tentu ketidakjelasan ini akan berakibat pada tidak diterimanya hujjah maupun istidlal”.
Bisa dikatakan bahwa ini yang menjadi sebab penolakannya atas materi kisah-kisah ataupun sejarah. Sebab keduanya terkadang hanya menurut “katanya” dan susah untuk divalidasi kebenarannya. Meskipun dalam beberapa kesempatan didapati bahwa ia mengutip kisah-kisah Israiliyyat yang jarang diriwayatkan pada kitab-kitab sejenis.
Ketiga, sisi fanatismenya. Jika ditilik dalam penjelasan tafsirnya maka akan didapati bahwa al-Qurthubi bukanlah seorang penganut maupun pentolan madzhab yang fanatik. Meskipun jamak diketahui bahwa sebagai seorang yang berasal dari Andalus, madzhab yang diikutinya ialah madzhab Maliki namun itu tidak menjadi patokannya dalam menjelaskan sisi yuridis dari ayat-ayat hukum yang dikajinya.
Baca Juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya
Sebagai pengkaji al-Qurthubi justru bersikap objektif dengan membahas sisi yuridis ayat dengan menunjukkan berbagai pendapat yang tersedia. Lalu ia melakukan analisis dari masing-masing pendapat, baik dengan melakukan mujadalah maupun kritik, sampai akhirnya condong pada pendapat yang dianggapnya lebih kuat dari yang lain. Dari sini bisa dilihat bahwa al-Qurthubi adalah sosok mufassir sekaligus faqih yang netral, objektif serta memiliki kapasitas keilmuan yang begitu mumpuni.
Itulah tiga sisi menarik yang bisa dikupas dari al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi. Hal terpenting, dalam ranah keilmuan, yang harus diteladani darinya adalah kepribadiannya sebagai seorang pengkaji yang memposisikan dirinya untuk tetap netral, objektif serta menguasai objek keilmuan yang dikaji. Wallahu a’lam.