BerandaTokoh TafsirTafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

“Mengenal al-Jashash dan Ahkam al-Quran” akan menjadi bagian pertama dari serial “Tafsir Fiqh” yang difokuskan untuk mengulas kitab tafsir bercorak fiqh beserta biografi pengarangnya. Harapan dari tulisan berseri ini ialah sebagai pemantik bagi kajian-kajian lanjutan yang berfokus pada eksplorasi karya tafsir.

Al-Jashash memiliki nama lengkap Abu Bakr Ahmad ibn Ali al-Razi. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 305 H. Panggilan al-Jashash sendiri ia dapatkan dari profesinya yang biasa bekerja dengan jash (plester semen atau juga diartikan sejenis kapur), sehingga tidak bisa diketahui pasti apa profesi yang ia tekuni.

Baghdad menjadi tempat penting dalam perjalanan intelektualnya. Di kota kelahirannya inilah ia berguru pada banyak ulama dunia dan mengembangkan wawasannya. Di antara guru-guru al-Jashash yang diketahui (paling masyhur) ialah Abi Ishaq al-Zujjaj dan Abi Hasan al-Kurkhi.

Dalam menjalani kehidupan, al-Jashash memilih jalan zuhud yang diajarkan al-Kurkhi kepadanya. Sikap zuhud yang diajarkan oleh al-Kurkhi ialah zuhud yang benar-benar menjauhi urusan duniawi seperti halnya jabatan. Hal ini bisa dilihat tatkala al-Jashash menolak semua pinangan yang datang padanya untuk menjadi seorang Qadhi atau hakim.

Baca Juga: Nashiruddin Al-Baidhawi: Sang Hakim Pengarang Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil

Al-Jashash meninggalkan banyak karya ilmiah yang didominasi oleh hasil penelaahannya atas berbagai karya ulama yang ia baca. Karya terbesarnya ialah kitab tafsirnya—yang akan diulas secara ringkas setelah ini—Ahkam al­-Quran. Adapun karya-karyanya yang lain ialah Syarh Mukhtashar al-Kurkhi, Syarh Mukhtashar al-Thahawi, Syarh al-Jami’ al-Kabir lil Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, Ushul Fiqh dan fi Adab al-Qadha’.

Al-Jashash wafat pada tahun 370 H di kota kelahirannya, Baghdad. Atas karya-karyanya, maka pantas jika Ia dianggap sebagai sebagai ulama terbaik dunia di zamannya. Ia juga dinilai sebagai salah satu Imam dari madzhab Hanafi berkat pandangan-pandangannya yang memperkuat posisi dari madzhab Hanafi.

Mengulas Kitab Ahkam al-Quran lil Jashash

Ahkam al-Quran menjadi salah satu kitab tafsir fiqh monumental yang dinilai penting khususnya bagi madzhab Hanafi. Mengingat bahwa al-Jashash sendiri merupakan salah satu Imam madzhabnya. Kitab ini juga dijadikan oleh muqallid maupun muttabi’ madzhab ini sebagai salah satu rujukan utama dalam tafsir serta media untuk mempublikasikan pikiran-pikiran dari madzhab mereka.

Kitab ini ditulis dengan metode tahlili (membahas satu persatu ayat berdasarkan susunan mushafi). Namun menariknya, penjelasan yang dihadirkan diuraikan layaknya penjelasan yang ada dalam kitab fiqh yakni dengan menggunakan bab per bab dengan judul tertentu untuk membagi masing-masing masalah yang dijelaskan. Maka nampak dalam penjelasan tafsirnya urutan-urutan masalah yang dibahas.

Sebagai contoh dalam penafsiran Q.S. al-Fatihah [1]: 1, ia membagi pembahasan mengenai basmalah ke dalam sembilan bab pembahasan. Mulai dari sisi lughahnya (semantik) hingga sisi fiqhnya (misal: hukum bacaannya dalam shalat). Metode berpikir ala fiqh yang mendetail dan disertai berbagai argumentasi akan sangat terasa saat membaca kitab ini.

Namun menurut Adz-Dzahabi, metode berpikir ala fiqh yang digunakan oleh al-Jashash justru menyebabkannya terlalu melenceng dalam masalah fiqh dan perdebatannya sehingga kitabnya terkesan seperti kitab fiqh perbandingan madzhab. Hal itu juga yang menyebabkannya kadang tidak berkomentar apapun terhadap ayat-ayat yang tidak mengandung hukum fiqh di dalamnya.

Al-Jashash juga dikenal sangat fanatik terhadap madzhabnya. Ia selalu membenarkan pendapat madzhabnya dalam setiap persoalan fiqh yang dibahas. Ia juga tidak segan-segan menyerang pendapat-pendapatnya yang menyelisihi madzhabnya, bahkan Imam al-Syafi’i pun tidak luput dari perkataan pahitnya. Salah satunya saat ia mengomentari pandangan Imam Syafi’i tentang tartib wudhu, “ini adalah pendapat yang dipakai Syafi’i yang ia dapatkan dari ijma’ salaf dan fuqaha”. Argumen ini seakan mengeluarkan imam Syafi’i dari kategori ulama yang layak berfatwa.

Baca Juga: Mengenal Imam An-Naisaburi dan Kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan

Dari sisi teologis didapati bahwa ada kecendrungan bahwa al-Jashash loyal pada madzhab Muktazilah dan ini bisa dilihat dari penafsirannya atas Q.S. al-Baqarah [2]: 22-23 di mana ia mengatakan bahwa mata manusia tidak bisa memandang Allah sebab itu akan menyebabkan kekurangan pada Dzat-Nya. Serta pada Q.S. Qiyamah [75]: 22-23 di mana ia mengatakan bahwa intidzhar/ penantian di sana bukanlah penantian akan yaum al-talaq (hari di saat manusia bertemu dan melihat Rabbnya), namun penantian akan balasan atas amal perbuatannya.

Dalam kajian ilmu Kalam memang didapati informasi bahwa sebagian besar dari kalangan Muktazilah menjadikan madzhab Hanafi sebagai madzhab fiqhnya. Ini didasarkan pada kesamaan keduanya dalam porsi penggunaan akal. Namun terlepas dari urusan teologisnya, hal menarik lainnya ialah pada ketiadaan dimensi sufistik dalam penafsiran al-Jashash padahal ia hidup dalam nuansa kehidupan ala sufi yang didapatkan dari gurunya al-Kurkhi. Apakah Ia memang memproyeksikan kitab tafsirnya sebagai panduan fiqh ala madzhab Hanafi saja? Wallahu A’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU