Di antara metode penafsiran Alquran yang dipakai oleh para ulama adalah metode penafsiran alquran bil quran. Tafsor yang menggunakan metode ini biasanya dikategorikan dalam tafsir bil ma’tsur. Selain menafsirkan dengan sesama ayat Alquran, tafsir ini juga menggunakan as-sunnah an-nabawiyah, pendapat sahabat, juga tabi’in.
Model tafsir seperti yang telah disebut bisa dijumpai pada beberapa kitab tafsir, seperti Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi Alquran karangan Ibn Jarir al-Thabari; ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal ad-Din as-Suyuthi; Adhwa’ al-Bayan fi Idhah Alquran bi Alquran susunan Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakani asy-Syinqithi; dan kitab-kitab tafsir lainnya.
Bagi sebagian ulama, menafsirkan ayat Alquran dengan merujuk pada ayat Alquran yang lain dikatakan sebagai cara penafsiran Alquran yang paling utama. Alasannya, karena Alquran itu sendiri adalah rujukan paling tepat dalam penafsiran, selain as-Sunnah an-Nabawiyah yang juga berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Alquran.
Di samping itu, idealnya, orang yang berbicara tentang suatu hal, sudah pasti dia mengetahui maksud dari apa yang dibicarakannya tersebut. Begitu pula Allah sebagai pemilik firman-firman dalam Alquran, sudah pasti dan tidak ada keraguan jika Ia mengetahui segala sesuatu apapun itu, termasuk makna Kalam-kalam-Nya, sehingga tidak ada satupun yang lebih mengetahui makna Kalam Allah, kecuali Allah sendiri, beitu juga dengan tujuan dan maupun maqasid-nya.
Karakter ayat Alquran juga berbeda-beda. Ada kalanya ayat yang masih umum penjelasannya (mujmal), yang ternyata rincian penjelasannya ditemukan di ayat lain (mubayyin). Ada juga suatu ayat yang konteksnya umum (‘am) namun menjadi khusus (khas) di ayat yang lain. Ada pula ayat yang ringkas redaksinya (ijaz), lalu diberikan detail penjelasannya di ayat lain (ithnab).
Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya Alquran saling menjelaskan antar ayatnya hingga membentuk satu kesatuan yang holistik dalam penafsiran. Bahkan, Allah telah menegaskan bahwa Alquran adalah penjelas bagi segala sesuatu, tidak terkecuali ia juga penjelas bagi dirinya;
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ ٨٩
Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. (Q.S. an-Nahl: 89)
Baca Juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab
Tafsir Hidayatul Qur’an
Salah satu ulama muda Nusantara yang telah selesai menyusun kitab tafsir dengan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an adalah Dr. KH. Afifuddin Dimyathi, Lc., MA., atau yang lebih akrab dipanggil Gus Awis. Dalam kurun waktu kurang lebih sekitar 18 bulan, beliau telah berhasil menyelesaikan salah satu karya terbaiknya dalam tafsir Alquran. Karya tersebut kemudian beliau beri nama “Tafsir Hidayatul Quran Fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an”.
Tafsir ini merupakan tafsir Alquran lengkap 30 juz yang disusun secara tartib mushafi dengan metode penafsiran al-Qur’an bi al-Qur’an, dan disusun apik dalam 4 jilid menggunakan bahasa Arab. Jilid pertama dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-An’am. Jilid kedua dari surah al-A’raf sampai surah Maryam. Jilid ketiga mulai dari surah Taha sampai surah Shad. Sedangkan jilid ke empat dimulai dari surah az-Zumar hingga surah an-Nas.
Pemilihan nama Hidayatul Quran -sebagaimana disampaikan Gus Awis dalam muqoddimah– merupakan bentuk tabarruk pada nama pesantren yang beliau asuh di Jombang, Jawa Timur. Nama pesantren ini adalah pemberian dari KH. Mufid Mas’ud. KH. Mufid Mas’ud sendiri, merupakan guru beliau sekaligus pendiri pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Nama “Hidayatul Quran” yang berarti ‘Petunjuk Alquran’, juga selaras dengan tujuan beliau untuk menyajikan sebuah kitab tafsir yang penjelasan ayatnya dijelaskan oleh ayat lain. Artinya, ayat Alquran dijelaskan oleh Alquran itu sendiri yang notabene adalah hudan/petunjuk.
Melalui muqaddimah-nya, Gus Awis sebagai muallif banyak memberi penekanan bahwa tafsir Hidayatul Quran ditulis dengan gaya yang ringan dan mudah, sehingga dapat dipahami sekaligus dirasakan manfaatnya oleh seluruh kalangan. Di samping membantu para huffadz maupun akademisi dalam menyelami keindahan Alquran, muallif juga menginginkan tafsir ini nantinya dapat dikaji oleh kalangan santri dan masyarakat awam di pengajian-pengajian pesantren maupun majelis ta’lim lainnya. Motivasi inilah yang menjadikan tafsir Hidayatul Quran disusun sedemikian rupa agar mudah “dingajikan” sekaligus menebar banyak kemanfaatan.
Baca Juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”
Model penafsiran dengan ‘bandongan’
Dari segi penulisan dan penyajian, tafsir Hidayatul Quran cenderung menerapkan metode ‘bandongan’ dalam pemaparan isinya. Metode ‘bandongan’ merupakan salah satu metode pembelajaran yang masih eksis bertahan di pondok-pondok pesantren khususnya di Indonesia, di samping metode sorogan.
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata ‘bandongan’ mempunyai arti pembelajaran yang dilakukan dalam bentuk kelas tertentu. Sedangkan secara istilah, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia”, ‘bandongan’ adalah pembelajaran yang diikuti 5 orang atau lebih dengan cara menyimak apa yang dibaca guru atau kyai dari setiap kosa kata dalam kitab dengan keterangan dalam bahasa daerah tertentu.
Kegiatan pembelajaran metode bandongan ini hanya berpusat pada kyai saja, sedangkan santri hanya duduk mengelilinginya sambil mendengar dan menerima penjelasan dari kyai tanpa ada kesempatan untuk bertanya. Dalam metode ini, materi ngaji langsung dijelaskan oleh sang kyai, ini akan meminimalisir kesalahan dalam memahami kitab. Bandongan juga akan mudah menciptakan pemahaman para santri, karena sering diulang-ulang.
Pada tafsir Hidayatul Quran, cara yang digunakan muallif dalam penulisan dan penyajian tafsirnya sangat praktis dan menarik. Pada permulaan surah, beliau memulai dengan menyebut nama surahnya, lalu menjelaskan makiyyah atau madaniyah nya, kemudian menyebutkan jumlah ayat di dalamnya berdasarkan pendapat mayoritas ulama dan para mufassir muktabar. Selanjutnya, pengarang mulai menyebutkan ayat secara utuh dan disusul dengan penjelasan tafsirnya.
Ciri khasnya, setiap sebelum menyebutkan tafsir ayatnya, Gus Awis selalu mengawali dengan tulisan ‘wa al-ma’na’. Hal ini tidak asing kita jumpai ketika ikut ngaji bandongan. Para kyai dan guru yang selesai membacakan isi penggalan sebuah kitab, beliau-beliau akan langsung menjelaskan maknanya. Bahkan beberapa di antaranya tak jarang menggunakan kata tegese (maksudnya ‘adalah’) ketika ingin menyampaikan maksud ibarah dalam kitab. Oleh karenanya, ketika membaca tafsir ini, kita seolah-olah sedang ngaji ‘bandongan’ dengan cara mendengar penjelasan muallif langsung dan ikut maknani tiap ayat yang dibacakan, walaupun hanya dalam bentuk tulisan.
Aspek lain yang membuat nuansa ‘bandongan’ semakin terasa adalah absennya beberapa penafsiran ayat. Dalam beberapa ayat, muallif kadang hanya menyebutkan ayat saja tanpa memberi penafsiran. Beliau sendiri mengakui bahwa hal ini merupakan bentuk keterbatasan beliau dalam menemukan tafsir ayat tersebut dari ayat-ayat lain.
Hal ini juga familier sekali bagi kita yang pernah mengikuti metode ngaji ‘bandongan’. Para guru dan kyai juga melakukan pembacaan ibarah dalam kitab tanpa diberikan makna dan penjelasan. Hal demikian bisa jadi karena dua hal. Pertama, mereka hanya membacakan isi kitab tanpa memberikan penjelasan, dengan tujuan agar cepat hatamnya. Metode ‘bandongan’ seperti ini dekat dengan metode ngaji pasaran. Kedua, karena tidak diketaui pasti makna aslinya.
Para guru ataupun kyai dalam memberikan penjelasan tidak pernah memaksakan apa yang tidak mereka ketahui, sehingga, ketika mendapati kalimat yang pemahamannya belum pasti, mereka ini akan lebih memilih untuk tawaqquf dan tidak memaksakan memberi penjelasan. Namun, hal demikian jarang sekali terjadi karena mayoritas para guru dan kyai yang memberikan pengajian, sudah sangat mendalam ilmunya. Begitu pula absennya penafsiran beberapa ayat dalam tafsir ini oleh muallif. Ketiadaan tafsiran ayat tersebut memang ada, tapi sangat sedikit jumlahnya.
Baca Juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia
Penjelasan tafsir yang mudah
Dari segi bentuk penjelasan, tafsir Hidayatul Quran juga tidak kalah praktis dan menarik. Dengan gaya bahasa dan diksi kata yang jelas dan sangat mudah dipahami, tafsir ini menampilkan kesan Alquran yang mudah dan menyenangkan untuk di-tadabbur-i. Alquran beserta tafsirnya, tidak lagi terlihat begitu rumit dan jelimet. Apalagi penjelasan ayatnya dijelaskan oleh ayat lain yang kemudian menjadi kesinambungan antar ayat.
Pada ayat-ayat yang memuat hukum fiqih, muallif juga tidak terlalu panjang lebar membahas ketentuan hukum hingga perdebatan ulama di dalamnya. Muallif cukup menyebutkan makna ayat secara simpel, atau terkadang dengan menyertakan komentar beberapa ulama, dengan tetap berpaku mendatangkan ayat-ayat lain yang menafsirkan ayat tersebut. Inilah salah satu ciri khas tafsir Hidayatul Quran yang membedakannya dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya. Meski sama-sama menggunakan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
Ada kalanya muallif juga memfokuskan pemahaman ayat yang masih umum dengan ayat lain yang punya pemahaman lebih khusus. Di lain tempat, muallif juga memberi batasan pada ayat yang masih mutlak maknanya dengan menggunakan ayat lain yang maknanya sudah dibatasi. Tak jarang juga, muallif memberi detail penjelasan pada ayat yang masih mubham penjelasannya melalui ayat lain.
Selain itu, apabila terdapat naskh hukum dalam sebuah ayat, muallif juga menampilkan riwayat-riwayat yang menjelaskan naskh hukum ayat tersebut dengan hukum di ayat lain secara ringkas tanpa bertele-tele.
Baca Juga: Serial Diskusi Tafsir Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis
Penafsiran yang holistis
Terkadang muallif juga menafsirkan ayat yang ringkas dengan mendatangkan ayat lain yang lebih luas dan lebih rinci maknanya. Misalnya ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 164:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ ١٦٤
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.
Ayat tersebut diperinci satu persatu oleh muallif dengan mendatangkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan pembahasan. Pada penciptaan langit, muallif menjelaskannya dengan surah Qaf ayat 8-6 dan surah Al-Mulk ayat 5-3. Pada penciptaan bumi, diperinci lagi dengan surah al-Mulk ayat 15. Pergantian siang dan malam juga diperinci dengan surah al-Furqon ayat 62, Yunus ayat 5 dan al-Qashas ayat 72-71. Begitu pula seterusnya tentang fenomena alam lain yang disebutkan di ayat tersebut, sehingga sebagai pembaca, layaknya ngaji bandongan, pembaca sedang dijelaskan oleh muallif tentang rincian suatu ayat, sekaligus mengetahui ayat lain yang sepadan sebagai penjelas ayat.
Pengumpulan ayat dengan tema yang sama, juga menunjukkan sisi holistis tafsir Hidayatul Quran dalam menafsirkan suatu ayat. Sama halnya ketika menyebutkan rincian kisah dalam Alquran, muallif menyisipkan ayat-ayat yang membahas kisah tersebut, sehingga dapat menyelesaikan detail cerita secara utuh dan indah.
Misalnya, kisah permohonan ampun dari Nabi Ibrahim a.s untuk bapaknya yang diawali surah Maryam ayat 47, lalu dijelaskan runtutan ceritanya dari ayat-ayat lain, yaitu surah asy-Syu’ara ayat 86, al- Mumtahanah ayat 4, dan terakhir surah at-Taubah ayat 114.
Jika terdapat ayat dengan redaksi maupun makna yang sama atau ayat-ayat yang seakan-akan bertentangan, muallif juga tidak lupa untuk menyebutkan dan atau mengkompromikannya. Hal ini tentu memberikan kemudahan bagi para pembaca, apalagi bagi para penghafal Alquran yang mengalami kesulitan menghafal ayat-ayat Alquran dengan redaksi yang mirip, sekaligus dapat mempelajari penafsiran ayat-ayatnya.
Sementara itu, mengenai proses penyusunan Tafsir Hidayatul Quran, hal ini benar-benar membutuhkan usaha yang besar dan bacaan yang luas. Dalam rangka mendatangkan ayat lain untuk menyimpulkan makna yang tepat dan akurat untuk sebuah ayat, Gus Awis telah merujuk ke beberapa kitab yang muktabar, baik kitab tafsir, kitab hadis, maupun kitab lain yang menunjang penafsiran al-Qur’an bi al-Qur’an.
Baca Juga: Ketika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang
Rujukan tafsir Hidayatul Quran
Di antara kitab tafsir yang sering beliau rujuk sekaligus menjadi inspirasi dalam penulisan tafsirnya adalah tafsir Imam As-Syinqithi, yang berjudul Adhwa’ al-Bayan Fi Idhah al-Quran Bil Quran. Beliau juga sering mengutip pendapat Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al–Adzhim. Terdapat pula rujukan dari Tafsir al-Wasith karya Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Razi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurtubi, Ahkam Alquran karya Imam al-Jashash, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an karya Imam at-Thabari, Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili, Mahasin At-Takwil karya Syekh Muhammad Qasim bin Sa’id Al-Qosimi, al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari, at-Tahrir Wa at-Tanwir karya Ibnu Asyur, Tafsir ar-Raghib al-Asfahani karya Imam Al-Asfahani, dan masih banyak lagi rujukan tafsir yang beliau gunakan.
Selain dari kitab-kitab tafsir, muallif juga menyebutkan hadis-hadis untuk menambah penjelasan suatu ayat. Hadis-hadis ini beliau kutip dari kitab-kitab hadis yang muktabar, di antaranya ada Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan kitab hadis lainnya. Hadis-hadis yang beliau gunakan dalam kitabnya ini juga semakin memperkuat status metode tafsir kitab ini yang berupa tafsir bi al-ma’tsur.
Selain itu, dari aspek bahasa, muallif terkadang memberi arti kata secara langsung. Hal ini disematkan oleh beliau untuk memperjelas arti kata, atau bahkan untuk mempertegas kata tertentu. Di lain tempat, beliau juga menambahkan penjelasan dari kamus-kamus Alquran, salah satunya dari kitab al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an karya Imam Al-Asfahani.
Nuansa madzhab tafsir Hidayatul Qur’an
Secara akidah, Tafsir Hidayatul Quran dapat dikategorikan sebagai tafsir dengan madzhab Asy’ari. Hal ini terlihat jelas dari metode tafwidh yang digunakan muallif dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Tafwidh adalah menyerahkan atau mengembalikan makna sesungguhnya kepada Allah swt. tanpa menafsirkan lebih jauh, disertai keyakinan bahwa makna zahir ayat tidak dimaksudkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Hal ini dapat dilihat pada penafsiran muallif tentang al-ahruf al-muqatta’ah (huruf-huruf di awal surah seperti Alif Lam Mim, Nun, dan lain-lain), makna “istawa” di surah al-Baqarah ayat 29, dan makna “wajhullah” di surah al-Baqarah ayat 115. Pada ketiga penafsiran ini, Gus Awis memilih untuk tidak menafsirkan lebih jauh serta cenderung menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah swt.
Ke-Asy’ariyah-an beliau ini dilatarbelakangi oleh nasab dan perjalanan studi beliau. Dari sisi nasab, beliau sudah sangat masyhur dikenal sebagai dzuriah dari keluarga yang nuansa ahlu sunnah wa al-jamaah yang begitu kental.
Dari segi perjalanan studi, beliau merupakan lulusan pondok pesantren Pandanaran. Di tingkat universitas, beliau lulusan Al-Azhar, Mesir dan Universitas Khartoum, Sudan. Kesemua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga yang sejalan dalam bermadzhab Asy’ari. Bahkan, kini beliau menjabat sebagai Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 2022-2027. Oleh karena itu, pemikiran maupun penafsirannya juga tidak terlepas dari jiwa Nahdlatul Ulama yang selalu menjunjung akidah ahlussunnah wal jama’ah.
Begitu pula secara fikih, Tafsir Hidayatul Quran bisa digolongkan tafsir yang bermadzhab Syafi’i. Hal ini terlihat -misalnya- ketika muallif menafsirkan ayat (بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ) dengan az-zauj atau suami, lalu mengutip penjelasan dari Imam Ilkiya al-Harrasi dalam tafsirnya Ahkam al-Qur’an yang dikenal bermadzhab Syafi’i. Meskipun demikian, muallif juga tidak fanatik dalam penafsirannya, karena di beberapa tempat juga mengutip tafsir-tafsir lain dari mazhab fiqih lainnya, seperti Ahkam al-Qur’an milik Imam Al-Jashshash yang bermadzhab Hanafi.
Keunggulan dari segi pemaparan tafsir yang mudah, ringkas, dan menarik, membuat Tafsir Hidayatul Quran juga menjadi salah satu master piece untuk dibaca oleh para pengkaji Alquran, khususunya generasi milenial.
Kitab ini sangat sesuai dengan karakter mereka yang menginginkan semuanya serba cepat, praktis dan tidak bertele-tele. Dengan keterampilan dan kemampuan bahasa Arab yang sangat brilian, Gus Awis mampu menyusun tafsir ini dengan Bahasa Arab fushah yang lugas namun tetap sangat mudah untuk dipahami mereka.
bagi pengkaji Alquran yang kemampuan bahasanya masih tergolong cukup, sangat memungkinkan untuk membacanya secara langsung atau bahkan untuk mengajarkannya kepada orang lain karena penjelasannya yang mudah. Oleh karenanya, menjadi benar jika muallif juga menyebut Tafsir Hidayatul Quran dalam kategori tafsir ijmali, yang menguraikan makna secara ringkas dan global sehingga tidak membosankan untuk dibaca dan dipelajari, terutama bagi kaum milenial.
Tafsir Hidayatul Quran juga dapat menjadi referensi bagi kaum milenial dalam mamahami wajah Islam sebagai agama yang cinta kedamaian. Banyak tersirat pesan perdamaian dan moderasi beragama yang disampaikan oleh muallif ketika menafsirkan ayat-ayat yang sedang tranding topic di kalangan milenial.
Misalnya isu tentang “Islam Kaffah” di surah al-Baqarah ayat 208. Ayat ini belakangan pernah dipahami secara srampangan sebagai ajakan untuk mendirikan khilafah islamiyah. Padahal maksud dari ayat ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh Gus Awis- adalah mengajak orang-orang beriman untuk masuk ke dalam agama Islam secara totalitas, yaitu dengan totalitas menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya, menjaga kerukunan dan menghindari permusuhan, serta saling mencintai antar umat muslim.
Pada akhirnya, tafsir yang mulai ditulis pada hari Senin 4 Sya’ban 1443 H. / 7 Maret 2022 M. dan selesai pada hari Kamis 30 Muharram 1445 H. / 17 Agustus 2023 M. ini merupakan tafsir yang penting dalam melengkapi khazanah tafsir, khususnya tafsir nusantara.
Penggunaan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an dalam penjelasan makna ayat memiliki keistimewaan tersendiri. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh KH. Miftachul Akhyar Abdul Ghani, selaku Rais ‘Aam PBNU masa khidmat 2022-2027, ketika memberikan kalimat pengantar di awal Tafsir Hidayatul Quran. Menurut beliau, selain menempatkan Alquran sebagai rujukan paling utama, menafsirkan makna ayat dengan ayat lain sama halnya seperti memahami dan men-tadabbur-i Alquran itu sendiri.
Tafsir Hidayatul Quran juga sangat direkomendasikan untuk dibaca dan dipelajari oleh pegiat ilmu secara umum dan pegiat tafsir secara khusus, serta bagi kaum muslim yang ingin memahami Alquran dengan cara yang mudah dan ringan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, ahli tafsir dan ilmu alquran sekaligus mantan Dekan Pascasarjana Universitas Al-Azhar Mesir dalam kalimat pengantar kitab.
Memang, kitab ini bukan satu-satunya tafsir yang menggunakan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Namun, dengan gaya penulisan dan penjelasan yang ringkas, tidak jelimet, serta mudah dipahami, Gus Awis berhasil menghadirkan kitab tafsir sebagai alternatif jitu bagi kaum milenial dalam memahami Alquran dengan pesan-pesan moderasi di dalamnya. Harapannya, jika terdapat isu-isu sentimen di masyarakat yang membawa ayat-ayat Alquran, kaum milenial dapat merujuk penafsiran ayat tersebut secara langsung melalui tafsir Hidayatul Quran.
Semoga Allah swt. membalas semua jerih payah Gus Awis dalam usaha yang mulia ini, serta mengalirkan semua pahala dari para santri, pembaca, pengkaji dan penelaahnya kepada beliau. Amin.