Modernitas, dengan sains-teknologi sebagai ciri besarnya, telah membawa perubahan kultural hebat terutama perangai rasional manusia. Praktis manusia makin tajam dalam mempertanyakan dogma-dogma mistis dan agama yang—menurut ilmuan seperti Ricard Dawkins—kian usang. Dalam denyut kultur seperti ini, Sayyid Husein Fadhlullah menjadi oase: beliau mufassir kelahiran Najaf yang memberikan wajah pada Islam, terutama ajaran Alquran, dengan rasionalitas sebagai paradigma. Sayyid Husein menulis tafsir Min Wahyil Quran tidak hanya untuk menjawab problem modern, tetapi juga memberikan latar pendekatan rasional sehingga lebih argumentatif.
Sayyid Husein, selain menunjukkan perangai ilmiah dalam memahami ajaran agama, juga memberikan banyak nuansa pergerakan pada ajaran Al-Quran. Artinya, visi-misi Al-quran hadir dalam rangka menjawab persoalan sosial, seperti ketertindasan kaum pinggiran, kesetaraan hak manusia, keadilan hukum, dan sejenisnya. Karena kecenderungan itu, tidak berlebihan jika Sayyid Husein disebut mufassir yang menjauhi kepentingan-kepentingan subjektif.
Posisi Sayyid Husein sebagai ulama dikenal melalui pergerakan dakwah satu masjid ke masjid lain, mendirikan tempat pendidikan, dan terlibat revolusi Islam-Iran. Materi yang diajarkan pada umat fokus mengupas isu modern melalui Alquran dan hadis, termasuk edukasi politik. Hal itu dilakukan agar masyarakat sadar tentang posisi mereka dan ikut terlibat dalam kultur modernitas.
Baca juga: Dalil Al-Quran Mengenai Tradisi Bermaaf-Maafan di Hari Raya Idul Fitri
Perjalanan panjang Sayyid Husein, baik dari sisi intelektual dan politik, yang menunjukkan kedalaman ilmunya itu, menyematkan gelar Marja’ sebagai nama sebutan kehormatan. Belakangan pemahamannya atas tafsir Alquran tertuang dalam karya masterpiece-nya, Min Wahyil Quran. Karya yang ditulis di bawah pandangan bahwa Alquran itu tetap dan tak berubah, namun pemahaman dan penafsiran atas Alquran patut untuk diperbarui seiring perkembangan zaman.
Baca juga: Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103
Sejarah Kepenulisan Kitab Tafsir Min Wahyil Quran
Tafsir Min Wahyil Quran digarap dalam situasi yang sangat genting, di bawah kerasnya perpolitikan Lebanon, di mana pada masa itu Lebanon dihujani konflik, baik konflik internal (antar saudara) maupun eksternal (invasi Israel dan AS). Latar belakang itulah yang memberi dorongan kepada Sayyid Husein untuk merespon sekaligus menyampaikan pandangannya terhadap kondisi sosial-politik yang sedang terjadi di tanah Lebanon dengan tujuan agar masyarakat turut menjadi bagian dari modernitas yang berpegang pada Alquran dan Hadis. Dan, kondisi demikian-lah yang memengaruhi pembacaan Sayyid Husein dalam tafsirnya.
Dijelaskan dalam mukaddimah tafsirnya, bahwa tidak ada suatu maksud untuk menghadirkan sesuatu yang baru dalam tradisi tafsir, Sayyid Husein hanya memberikan angin segar dengan menciptakan pengetahuan Qurani dan peradaban Islami dengan berdasar pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sehingga Alquran hidup dan bergerak dalam kehidupan manusia. Misi yang ia bawa adalah tafsir tidak hanya bisa dikonsumsi bagi kalangan intelektual saja, namun juga dekat bagi kalangan awam.
Pada mulanya, tafsir ini tidak ditulis dengan sengaja oleh pengarangnya layaknya kitab tafsir pada umumnya. Kitab ini merupakan hasil dari forum kajian tafsir Aquran yang berada di bawah asuhan Sayyid Husein. Materi yang disampaikan di hadapan pelajar muslim dari kaum intelektual (mutsaqqafin) didokumentasikan dengan cara direkam dan ditulis kemudian diserahkan kepada Sayyid Husein untuk diamati dan dikoreksi. Draft kitab tafsir ini mulai dirangkai ketika pengajian tafsir berlangsung di Masjid kota Nab’a, Lebanon. Kemudian dicetak pada tahun 1980 saat ia hijrah ke Bir al-Abad, Lebanon Selatan.
Dalam perkembangannya, tafsir ini mengalami dinamika terus-menerus hingga mengalami 3 kali cetakan dengan berbagai macam revisi. Mula-mula, tafsir ini terdiri dari 12 jilid, kemudian dicetak ulang dengan penambahan materi hingga menjadi 24 jilid. Pada cetakan berikutnya, terdapat penambahan materi pada halaman dan juz yang sebelumnya tidak dijelaskan di cetakan kedua. Penambahan itu berkisar pada juz 1-10.
Baca juga: Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103
Sistematika Penulisan Tafsir Min Wahyil Quran
Tafsir Min Wahyil Quran mengupas lengkap 30 juz yang ditulis dalam 24 jilid berdasarkan urutan surat (tartib al-suwar). Tafsir ini memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan hasil bacaannya. Pertama, membuka penafsiran dengan menyajikan keterangan identitas surat, yakni berupa nama surat, kategori surat (makkiyah atau madaniyah) dan jumlah ayat. Kemudian memberikan gambaran umum yang berkaitan dengan pokok dan ide gagasan yang terkandung dalam surat sebelum masuk ke penafsiran ayat per ayatnya.
Kedua, menjelaskan makna mufradat (ma’any al-mufradat) pada lafadz yang memerlukan penjelasan. Ketiga, menjelaskan asbabun nuzul pada ayat yang turun dengan sebab khusus. Keempat, menafsirkan setiap potongan kalimat pada suatu ayat dengan tema-tema tertentu sesuai kandungan ayat. Kelima, aktualisasi ayat Alquran dengan menghubungkan antara masa kini dan masa lampau.
Keenam, menampilkan karakter tarbawy (pendidikan) atau haraky (pergerakan) guna mencari inspirasi makna dengan tujuan menghidupkan ayat dalam kehidupan manusia. Di bagian ini, Sayyid Husein meyajikan aspek praktis dari ayat yang ditafsirkan. Seperti pada Q.S. al-Baqarah [2]: 3, perihal ayat beriman kepada yang ghaib, ia mengajak untuk bertafakur; bertadabur; memperhatikan fenomena alam dan sejarahnya, sebab dan rahasia di baliknya, serta mengetahui keagungan Allah darinya.
Metode dan Pendekatan Tafsir
Mengacu pada pembagian metode tafsir ala al-Farmawy, tafsir Min Wahyil Quran masuk dalam kategori tafsir tahlily. Demikian karena tafsir ini menguraikan secara rinci ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutan mushaf Usmani (tartib mushafi), sekaligus menyajikan kandungan ayat dari berbagai segi. Jika mengacu pada definisi Muhammad Ali iyazi dalam karyanya al-Mufassirun hayatihim wa manhajihim, tafsir ini ber-manhaj haraki (metode pergerakan). Suatu metode tafsir tahlily (terperinci), dimana seorang mufassir melakukan penafsiran dengan bertumpu pada naungan penjelasan maksud Allah yang tertuang dalam Al-quran.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: Tiga Prinsip Utama dalam Bergaul
Sedangkan, pendekatan yang ia terapkan adalah kontekstual yang sering ia sebut dalam tafsirnya dengan sebutan al-istiha’ (mencari inspirasi atau dalam tradisi tafsir dikenal dengan kontekstualisasi). Hal ini terlihat jelas ketika ia menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 190 dimana ia mengontekstualisasikan dengan keadaan umat Palestina yang diperangi rezim Israel. Ia memaparkan bahwa peperangan dan aksi anarkis dibenarkan bagi umat Islam hanya dengan alasan keadilan, seperti upaya pertahanan diri, pembelaan terhadap kaum tertindas, perang terhadap orang-orang yang mengusir tanah air sendiri serta terhadap orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Wallahu a’lam[]