BerandaTafsir TematikTafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ () خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ () اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ () الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan pena.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-4)

Setiap kosakata Alquran selalu menyimpan makna yang luas lagi dalam. Sebuah karya tafsir yang ditulis oleh manusia tidak akan mampu menjangkau keseluruhan makna atau merepresentasikan Alquran, apalagi hanya sekedar terjemah. Termasuk kosakata “Iqra” yang merupakan wahyu pertama yang Allah SWT turunkan kepada Nabi terakhir-Nya. Di sini lah pentingnya, selalu menanamkan kesadaran bahwa tafsir, apalagi terjemah, bukan lah Alquran itu sendiri, dan tentu saja tidak sama kedudukannya.

Mengenai luasnya samudera makna Alquran, Prof. Nasaruddin Umar dalam perkuliahan yang penulis ikuti, sering mencontohkannya dengan makna kalimat Iqra, yang menurutnya mempunyai empat lapis makna:

Pertama yaitu, how to read. Ini menyangkut pembacaan terhadap ayat-ayat Alquran secara baik dan benar. Meski tidak mengetahui artinya. Namun tetap mendapat pahala. Hal ini karena membaca Alquran mempunyai nilai ibadah tersendiri. Sebagaimana pengertian Alquran yang didefinisikan oleh para ulama:

كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ.

“(Alquran yaitu) kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW. Lafalnya mengandung mukjizat. Membacanya adalah ibadah. Diriwayatkan secara mutawatir. Dan tertulis dalam mushaf, mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas.” (al-Madkhal li Dirasat al-Quran, hlm 20).

Kedua yaitu, how to learn. Makna ini menyangkut pendalaman Alquran dengan mengetahui arti kosakata dan tafsir, bahkan takwilnya.

Ketiga yaitu, how to understand. Merupakan tingkat lanjutan dari lapis makna sebelumnya, yaitu bagaimana pengahayatan terhadap Alquran. Ini bersifat emosional dan spiritual, sehingga bukan hanya sang pembaca yang menafsiri dan mengajak Alquran berbicara, tapi Alquran lah yang membuka makna dirinya.

Keempat yaitu mukasyafah. Ini merupakan makna yang terakhir, berupa penyingkapan tabir-tabir dalam Alquran, sehingga bisa disibak bukan hanya makna yang tersurat, tapi juga makna-makna yang tersirat.

Dengan demikian, pembacaan umat Islam terhadap Alquran semestinya tidak hanya fokus kepada tahfiz atau tilawah saja, namun yang lebih penting daripada itu adalah memahami dan menggali makna substansi Alquran supaya sampai kepada tujuan Allah menurunkan Alquran, dan tuntunannya menjadi aplikatif dalam kehidupan serta membumi.

Peradaban Iqra dan Qalam; Membaca dan Menulis

Sebagaimana termaktub dalam ayat 1 dan 2 Surah al-‘Alaq, ada dua kata kunci yaitu “Iqra” yang menjadi dasar membaca dan “Qalam” yang menjadi dasar menulis. Ini menunjukkan pentingnya aktivitas penggabungan antara keduanya. Membaca sangat erat kaitannya dengan menulis.

Ini diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Prof Quraish Shihab, bahwa pasca turunnya kelima ayat dalam Surah al-‘Alaq, Allah kemudian menurunkan ayat, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qalam [68]: 1). Ini menunjukkan betapa eratnya kaitan antara “Iqra” dan “Qalam” dan betapa pentingnya menulis, di samping membaca. Kedua ayat ini turun beriringan, meski urutannya dalam mushaf tidak berdampingan.

Pemaknaan, penghayatan, dan aktualisasi “Iqra” yang digabungkan dengan “Qalam” ini lah yang telah mengantarkan umat Islam di masa lalu menuju puncak kejayaannya. Yaitu era di mana ilmu pengetahuan begitu dihargai dan riset serta penulisan digalakkan, melahirkan banyak maha karya, tanpa ada dikotomi dan pembatasan terhadap obyek materinya, seperti saat Allah memerintahkan “Iqra” yang juga umum tanpa menyebut obyeknya. Sehingga lahir para ilmuwan Islam yang generalis, tidak hanya mengetahui ilmu syariah atau bidang tertentu saja, tapi juga ahli dalam bidang-bidang lainnya.

Jika dua prasyarat ini direvitalisasi, bukan tidak mungkin umat Islam akan kembali menaiki puncak peradabannya, yaitu peradaban manusia yang berbasis Alquran. Wallahu a’lam bi muradih

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU