Dalam beberapa literatur ulum al-Qur’an, ulama menjelaskan tentang sebuah pertanyaan “Apakah Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an?”, kemudian mereka menjelaskan dengan dua pendapat yang berbeda. Pertama, Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an, yang dinisbatkan pada pendapat Ibnu Taimiyyah. Kedua, Rasulullah menafsirkan sebagian al-Qur’an yang dibutuhkan untuk ditafsirkan, pendapat ini dinisbatkan kepada Al-Khuwaybi dan al-Suyuti, Syamsuddin al-Khuwi dan yang lain. (Muḥammad ‘Umar al-Ḥājī, Mawsū’ah al-Tafsīr Qabla al-Tadwīn, 51.)
Permasalahan yang terdapat dalam penjelasan tersebut adalah klaim bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa Rasulullah SAW menafsirkan seluruh al-Qur’an. Apakah benar demikian? Mari kita bahas secara rinci.
Baca Juga: Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian III)
Tafsir Rasulullah atas al-Qur’an dalam kitab Muqaddimah karya Ibnu Taimiyyah
Redaksi yang terdapat dalam kitab muqaddimahnya berbunyi:
بَيَّنَ لأصحابه معاني القرآن كما بين لهم ألفاظه
“Beliau SAW menjelaskan kepada mereka makna-makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya.” (Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr, 35.)
Teks Ibnu Taimiyyah tersebut jika dipahami menurut ilmu sintaksis maka kata “ma’ani” berarti Jamak yang mengindikasikan “banyak makna”, sehingga jika kita pahami teks secara keseluruhan maka pemahamannya adalah “Rasulullah SAW menjelaskan kepada mereka makna-makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya.”
Klaim al-Suyūṭī dan al-Dhahabī terhadap Teks Ibnu Taimiyyah
Di sisi lain, pernyataan Ibnu Taimiyyah dipahami berbeda dengan makna teks aslinya. Hal ini disampaikan oleh ulama abad pertengahan yaitu Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan ulama abad modern yaitu Muḥammad Ḥusayn al-Dhahabī. Redaksi dari al-Suyūṭī :
وقد صرح ابن تيمية فيما تقدم وغيره بأن النبي صلى الله عليه وسلم بين لأصحابه تفسير جميع القرآن أو غالبه .
“Ibnu Taimiyyah secara tegas menyatakan bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat tafsir seluruh Al-Qur’an atau sebagian besarnya.” (al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, https://www.islamweb.net/ar/library/content/68/599/خاتمة, 2: 568)
Redaksi dari al-Dzahabi:
فمنهم مَن ذهب إلى القول بأن رسول الله ﷺ بيَّن لأصحابه كل معانى القرآن كما بيَّن لهم ألفاظه وعلى رأس هؤلاء ابن تيمية.
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat seluruh makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya dan yang paling utama dalam pendapat ini adalah Ibn Taimiyah.” (Muḥammad Ḥusayn al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1: 39)
Dari dua teks tersebut terdapat kata “kullun” dan “jami’un” yang membuat pemahaman bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat “Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada mereka semua makna Al-Qur’an”.
Baca Juga: Defamiliarisasi Shahrour: Upaya Merebut Kembali Teks Alquran
Kritik Faḍl Ḥasan ‘Abbās terhadap Klaim aal-Suyūṭī dan al-Dhahabī
Melalui penelitian yang dipaparkan Fadl ‘Abbas dalam kitabnya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī al-‘Aṣr al-Ḥadīth, 1: 134, dia meluruskan pendapat sebenarnya dari penjelasan Ibnu Taimiyyah. Berikut penjelasannya:
Menurut Fadl ‘Abbas, Ibn Taimiyah tidak pernah mengatakan bahwa Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an, dan dalam perkataannya yang telah dikutip sebelumnya juga tidak terdapat indikasi yang menunjukkan makna demikian.
Semua yang bisa dipahami dari ucapan ibnu Taimiyyah adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah benar-benar dipahami oleh para sahabat, baik secara langsung karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka -dan ini yang lebih dominan -atau setelah mendapat penjelasan dari Nabi SAW, dan ini jumlahnya sedikit dan jarang.
Bukti terbesar bahwa inilah maksud sebenarnya dari ucapan Ibn Taimiyah adalah apa yang dia sampaikan di tempat lain dalam muqaddimahnya:
“Jika ada seseorang bertanya: ‘Apa metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an?’ Maka jawabannya: Sesungguhnya metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Karena apa yang masih global di satu tempat, maka telah dijelaskan pada tempat lain. Dan apa yang disingkat di satu tempat, telah dirinci di tempat yang lain. Bahkan Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata: ‘Segala hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang beliau pahami dari Al-Qur’an.’ Maka ketika itu, jika engkau tidak menemukan tafsir dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, kembalilah kepada perkataan para sahabat. Karena merekalah yang paling mengetahui (Al-Qur’an), sebab mereka menyaksikan langsung turunnya Al-Qur’an dan keadaan-keadaan yang hanya mereka alami, serta karena mereka memiliki pemahaman yang dalam dan ilmu yang benar -terlebih lagi para ulama dan tokoh-tokoh besar mereka seperti keempat khalifah yang mendapat petunjuk, dan seperti ‘Abdullah bin Mas‘ud.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Fatawā, 13:364)
Maka dari itu, perkataan Ibn Taimiyah sangat jelas bahwa apabila tafsir Al-Qur’an tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi SAW, maka rujukan berikutnya adalah perkataan para sahabat. Bahkan juga bisa merujuk kepada para tabi’in.
Bahkan, dalil-dalil yang bisa dijadikan sandaran bagi orang yang berpendapat bahwa Nabi SAW telah menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an -jika memang ada orang yang berpendapat demikian, meskipun kata Fadl ‘Abbas tidak mengira ada yang benar-benar berpendapat seperti itu -maka menurutnya dalil-dalil tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan klaim tersebut.
Misalnya, firman Allah Ta‘ala pada surah An-Nahl ayat 44::
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”
Makna yang dipahami dari ayat tersebut adalah bahwa Nabi SAW menjelaskan bagian-bagian dari Al-Qur’an yang memang membutuhkan penjelasan, bukan keseluruhan Al-Qur’an, karena para sahabat adalah orang Arab murni yang telah terpengaruh oleh keindahan Al-Qur’an bahkan sebelum mereka masuk Islam -bahkan orang-orang kafir pun turut terpengaruh olehnya.
Baca Juga: Membaca Aktivitas Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW
Ayat yang disebutkan di atas, diperjelas lagi oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ اِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُوْا فِيْهِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ٦٤
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) melainkan agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An-Nahl: 64)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa penjelasan Nabi SAW berkaitan dengan hal-hal yang diperselisihkan dan yang memang dibutuhkan oleh para sahabat. (Faḍl Ḥasan ‘Abbās, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī al-‘Aṣr al-Ḥadīth, 136.)
Alhasil, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah tidak berpendapat “Rasulullah SAW menafsirkan seluruh isi al-Qur’an” karena teks yang disampaikan menggunakan bentuk jama’ “ma’ani” karena teks ini masih ihtimal menurut persepsi penulis. Namun, setelah ada penjelasan lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Faḍl Ḥasan ‘Abbās, maka keihtimalan tersebut menjadi jelas bahwa Ibnu Taimiyyah tidak berpendapat demikian. Allahu A’lam bi Muradihi.