Perkembangan penafsiran al-Qur’an dimulai sejak masa Islam awal, dimana Nabi Muhammad sebagai pemegang otoritas, hingga dewasa ini terus mengalami dinamika dan perkembangan yang disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah isyarat bathiniyah atau sering disebut dengan tafsir sufistik atau tafsir isyari. Salah satu tokoh tafsir yang memiliki corak tersebut yaitu Ibn Ajibah. Berikut contoh tafsir sufistik Ibn Ajibah
Az-Zarqani dalam Manāhil al-‘Irfān mendefinisikan tafsir isyari dengan usaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an bukan secara zahir, namun dengan isyarat tersembunyi yang menampakan pemeliharaan suluk dan tasawuf, serta memungkinkan untuk mengaplikasikan antara isyarat tersembunyi dan zahir. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Ajibah dalam al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1, 35).
Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi
Legalitas Isyarat Sebagai Tafsir Al-Quran
Dalam Manāhil al-‘Irfān (2, 81) disampaikan bahwa eksistensi tafsir sufistik yang beraliran isyari sebagai pendekatan dalam tafsir memang masih kontroversi, ada golongan yang menerima dan ada yang menolak meski demikian, legalitasnya telah diakui oleh ulama terdahulu dengan kriteria yang sangat ketat. Tujuan lahirnya aliran tafsir tersebut ialah sebagai pendidikan/pengembangan keyakinan melalui kalam Allah (Al-Qur’an).
Ibn Ajibah, mufasir aliran sufi menegaskan bahwa legalitas tafsir sufistik berdasarkan pada moralitas suluk, akhlak, maqamat, hasil (tsamrah) aktifitas bathiniyah, serta pendidikan kesufian secara sempurna. Dengan demikian, usaha menafsirkan dengan pendekatan isyari (sufi) hanya untuk membersihkan ruh dan jiwa seseorang, sekaligus menghidupkan hatinya dengan cahaya ma’rifatullah. Lebih lanjut tentang tafsir sufistik Ibn Ajibah, tergambar dalam penjelasan berikut
Pendapat Ibn Ajibah di atas secara tegas dan lugas digambarkan oleh beliau ketika menafsirkan Q.S Al-Nur [24]: 21-22 di dalam tafsirnya, al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُواتِ الشَّيْطانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُواتِ الشَّيْطانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَداً وَلكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (21) وَلا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبى وَالْمَساكِينَ وَالْمُهاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu selalu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang munkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui[21]. Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni?. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang [22]. (QS. An-Nur [24]: 21-22)
Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik
Konseptualisasi Kesucian Jiwa dalam QS. An-Nur [24]: 21-22
Tafsir sufistik Ibn Ajibah memaparkan bahwa secara global dua ayat tersebut berbicara terkait akhlak orang mukmin ketika mendengar berita bohong (hadits al-Ifki) dari orang-orang munafik. Selain itu, ada kewajiban untuk mendatangkan/berakhlak dengan apa yang telah disebutkan di dalam ayat tersebut. Wahbah Az-Zuhaili mencantumkan kedua ayat tersebut dengan 10 ayat sebelumnya, sekaligus memberi judul Qishatul Ifki (kisah berita bohong yang diarahkan sescara khusus kepada Aisyah).Tafsīr al-Munīr Lizuhailiy (18, 171-177).
Namun, di tangan Ibn ‘Ajibah ayat tersebut memberikan kesan sebagai proses menyucikan jiwa, meliputi: pertama, hendaknya seorang sālik (orang yang menempuh pemurnian jiwa) tidak menempuh jalan yang digunakan oleh setan, bahkan dalam hal ini wajib meninggalkannya. Karena jalan yang ditempuh oleh setan, di antaranya, kesombongan/keinginan kuat terhadap dunia dan sifat marah akan mencegah kebaikan, yang dimana tidak hanya merusakan jiwa, tetapi akan merusak hubungan sosial.
Larangan tersebut semakin kuat tatkala Allah melanjutkan redaksi ayat dengan وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُواتِ الشَّيْطانِ. Teks tersebut mempunyai makna taqrir (kepastian) dan mubalaghah (makna lebih/memperkuat). Larangan tersebut dikarenakan setan selalu mengerjakan perbuatan yang keji seperti pelit dan kikir; serta perbuatan yang munkar seperti sifat marah dan keinginan yang kuat kepada dunia.
Kesucian jiwa tidak hanya ditempuh melalui aktifitas vertikal –hubungan dengan Allah-, namun bisa dikerjakan dengan menjalin hubungan baik sesama makhluk hidup (horizontal). Kita dapat melihat bagaimana Ibn ‘Ajibah menafsirkan kata “al-Fahsya” dengan contoh kikir dan pelit.
Kedua, ke-tawadhu-an (rendah hati dan tidak sombong). Jalan kedua ini melihat dari hakikat seorang sālik yang tidak akan terlepas dari perlindungan, karunia, dan kemurahan Allah. Sifat yang harus dimiliki dalam poin ini ialah penghambaan yang serius, tidak merasa diri paling baik di antara yang lain; sehingga kesucian jiwa seorang sālik tidak akan melahirkan kesombongan dan tidak akan melihat dirinya lebih unggul dari pada yang lain, karena pada dasarnya apa pun yang terjadi di dunia merupakan kehendak dan kekuasaan Allah.
Oleh karena itu, apabila dihubungkan dengan Allah, maka kesucian jiwa merupakan kehendak Allah, baik jalan yang ditempuh melalui perantara dengan talaqqi bersama guru, atau tanpa perantara. Yang terpenting adalah semuanya bersumber dari Allah.
Ketiga, tidak boleh berjanji untuk tidak memerhatikan kerabat. Keempat, memaafkan dan berlapang dada. Dua poin terakhir ini termaktub dalam ayat 22. Ayat tersebut diturunkan ketika Abu Bakar as-Siddiq yang bersumpah tidak akan memberikan apa pun kepada saudaranya –Musthah ibn Usatsah- karena ia turut serta dalam kasus tuduhan berita bohong kepada Aisyah r.a. Turunnya ayat tersebut, sebagai teguran bahwa sikap yang lebih baik ialah memaafkan dan berlapang dada.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq
Adapun bagi seorang sufi, khususnya Ibn ‘Ajibah, ayat tersebut memberikan isyarat, penjelasan dan pendidikan dari Allah bagi seorang guru (Mursyid) supaya tidak meninggalkan sesama (murid) yang mempunyai keterbatasan/masalah dalam hal menuju Allah, dan selalu terbuka pintu maaf sekaligus mempunyai kepedulian lebih. Karena pada dasarnya orang yang mempunyai kecenderungan dan kesanggupan untuk memperhatikan sesama tidak akan mengasingkan dirinya untuk mendidik manusia menuju jalan ma’rifatullah.
Konsep kesucian jiwa (tazkityatun nafs) dalam tafsir sufistik Ibn Ajibah QS. An-Nur [24]: 21-22 ini tidak terlepas dari pokok-pokok ajaran tariqat yang ia anut yaitu Thariqat Syadziliyah. Meliputi, (1) taqwa kepada Allah secara konsisten, sabar, dan tabah; (2) berusaha mengikuti sunah-sunah Rasul; (3) mengosongkan hati dari selain Allah; (4) ridha kepada Allah (ikhlas, qana’ah, tidak rakus), menerima pemberian Allah; (5) mengembalikan semua urusan kepada Allah.
Disamping itu, apabila diperhatikan secara mendalam, konsep tersebut tidak hanya berorientasi pada hubungan dengan Allah (hablum min Allah), tetapi mencakup hubungan dengan sesama (hablum min al-Nas). Maka, tidak berlebihan untuk menuju kesucian jiwa harus diperoleh dengan kesholehan spiritual dan sosial. Wallahu a’lam.