Hidup di dunia paling mulia adalah menjadi orang baik dalam bergaul. Yakni, menjadi pribadi yang suka berbuat kebaikan dan mengajak kepada kebenaran. Maka, agar dapat melakukannya, manusia harus mau berusaha dan membuktikannya dengan perbuatan yang nyata. Sepakat dengan Kiai Sahal, seorang ulama asal Kajen Pati sekaligus pengusung Fikih Sosial dalam petuahnya bahwa diamnya seseorang saja sudah bernilai baik, lain halnya dengan utilitas yang membutuhkan perjuangan untuk mewujudkannya.
Baca juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177
Urgensi menjadi manusia yang baik dan bermanfaat adalah selain untuk mengurangi populasi orang-orang bodoh, juga memerangi kebodohan itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 199,
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ
Jadilah engkau (Muhammad) pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]: 199)
Ayat ini menjelaskan perintah Allah kepada utusan-Nya agar konsisten menggenggam tiga prinsip utama dalam bergaul yaitu murah hati, berseru kepada kebaikan serta menghindari kesia-siaan.
Pengarang Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an, Al-Baghawi menukil penuturan Ibnu Abbas bahwa Allah memberi perintah kepada Nabi saw agar lebih memilih memaafkan moral manusia. Mujahid senada dengan Ibnu Abbas dengan tambahan yakni memaafkan moral dan perilaku manusia tanpa memata-matai. Maksud memaafkan di sini adalah rasa tepa salira (tenggang rasa).
Diriwayatkan saat ayat ini turun, Nabi saw bertanya kepada Jibril as, “Apa maksudnya ayat ini?”, Jibril menjawab, “Aku tidak tahu sampai aku bertanya kepada Allah terlebih dahulu”, Kemudian Jibril kembali lagi dan berkata, “Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk menjalin dengan orang yang memutus hubungan denganmu, berilah sesuatu kepada mereka yang tidak menghormatimu, dan maafkanlah mereka yang telah menzalimimu”.
Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa
Dalam ibadah sosial, menjalin hubungan baik dalam bergaul tidak hanya kepada teman dan kerabat, juga diperuntukkan kepada orang yang memutus hubungan dengan kita, orang yang tidak mau hormat kepada kita bahkan mereka yang suka zalim kepada kita. Sebuah pelajaran bahwa keburukan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan yang sama apalagi dendam. Dengan prinsip ini, maka potensi hilangnya masalah dan rasa permusuhan akan terminimialisir, syukur kalau kemudian saling berdamai.
Ibnu Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Kalbi sepakat maksudnya adalah mengambil amnesti pajak, tepatnya sisa harta dari nafkah wajib keluarga. Kata “al-‘afwu” dalam ayat ini sama dengan ayat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 219, ayat ini turun sebelum zakat diwajibkan kemudian dinasakh.
Lanjut Al-Baghawi menafsiri “wa’mur bil ‘urf” dengan makruf, artinya semua sesuatu yang baik dan sesuai syariat. Sedangkan menurut Atha’ berarti mengucap laa ilaha illallah. Lalu “wa a’ridl ‘anil jahilin” yang dimaksud adalah Abu Jahal dan para komplotannya. Dikatakan bahwa jika ada orang bodoh menipumu maka jangan (membalasnya dengan) membandingkan dia dengan kebodohannya. Sesuai dalam potongan ayat dalam surah Al-Furqan ayat 63,
وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
… Dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”. (QS. Al-Furqan [23]: 63)
Ayat diatas maksudnya adalah salamul mutarakah, yang berarti salam damai. (Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an/2/260)
Dari sisi hadis, Abu Abdillah Al-Jadali meriwayatkan dari Aisyah yang berkata,
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجَدَلِيِّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: “لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا سَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ”
Nabi saw tidak pernah berkata buruk dan bukanlah orang yang keji, dan tidak berteriak-teriak di pasar. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, justru beliau mengampuni dan memaafkan. (HR. Ibnu Hibban) (Sahih Ibn Hibban/14/355)
Sedangkan menurut Al-Wahidi dalam tafsirnya, arti “al-‘afwu” adalah memberi tanpa membebani. Maksudnya adalah menerima moral mereka dengan mudah tanpa menginvestigasinya yang dapat memicu kemarahan. Lalu memerintahkan mereka agar berbuat yang baik-baik (makruf), yaitu suatu perbuatan yang setiap orang dapat membenarkannya dan dapat diterima hati. Ini adalah pernyataan Muqatil, Urwah, dan Adh-Dhahhak.
Lanjut Al-Wahidi menafsirkan “berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” yaitu menahan diri saat berhadapan dengan mereka dari kebodohan mereka. Qatadah mengatakan ayat ini mengandung akhlak yang Allah perintahkan kepada Nabi saw, melalui ayat ini pula Allah menunjukkan bahwa ayat ini mencakup seluruh kemuliaan akhlak.
Diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu Abbas berkata, ‘Uyaynah ibn Hishn singgah di rumah keponakannya, Al-Hurr ibn Qais. Karena keponakanannya tersebut merupakan salah satu orang yang mempunyai kedekatan dengan Khalifah Umar, maka Uyaynah meminta keponakannya agar memintakannya izin untuk bertemu dengan Umar. Lalu Umar mengizinkan. Masuklah Uyaynah seraya berkata, “Hati-hatilah, hai putra Al-Khattab, demi Allah, engkau tidak memberikan banyak pemberian pada kami dan tidak pula menetapkan hukum di antara kita dengan adil”.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?
Umar meresponsnya dengan marah sehingga hampir saja ia menjatuhkan hukuman padanya. Al-Hurr kemudian berkata, “Ya Amiral Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi-Nya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh“. Dan ‘Uyainah ini termasuk golongan orang-orang yang bodoh. Demi Allah, Umar tidak melewatkannya ketika Al-Hurr membacakan ayat tersebut. Umar adalah seorang yang amat mematuhi Kitabullah. (At-Tafsir Al-Wasith/2/437-438)
Al-Mawardi dalam tafsirnya menyebutkan, “Bagaimana bisa perintah untuk berpaling (dari orang-orang bodoh) bersamaan dengan perintah kewajiban ingkar kepada mereka?”. Dikatakan pula berpaling di sini adalah saat ada orang-orang bodoh yang suka menganggap remeh. Adapun ayat ini sebagai pesan kepada Nabi saw untuk memberi teladan kepada umatnya. (An-Nukat wa Al-‘Uyun/2/288)
Sepakat dengan Al-Mawardi, Ath-Thabari menambahkan dalam tafsirnya, perintah berpaling ditujukan kepada orang-orang bodoh yang zalim dan memusuhi, bukan orang bodoh yang awam terhadap kewajiban memenuhi hak-hak Allah. Tidak juga bermaksud berpaling untuk berdamai dengan orang kafir yang tidak meyakini keesaan Allah, sedangkan mereka dengan nyata telah memerangi umat islam. (Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an/13/332)
Wallahu a’lam.