Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya
Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

Harta merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting di antara kebutuhan lainnya. Orang-orang berlomba-lomba berusaha memperkaya diri dengan mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Akan tetapi, apakah hakikat rezeki hanya tentang memperoleh banyak harta?

Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an mengatakan bahwa rezeki yang diperoleh seseorang belum dapat sepenuhnya disebut rezeki sepanjang belum dimanfaatkan buat kehidupan.

Islam sangat mendorong pemanfaatan harta buat kehidupan yang lebih baik. Harta yang tersimpan, bagaimanapun banyaknya, belum dikatakan sebagai rezeki kita sepanjang tidak kita gunakan sesuai yang Islam ajarkan (hal. 131). Firman Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 254.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Menurut Jalaludin Al-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahalli dalam kitab Tafsir al-Jalalain, ayat di atas mengatakan bahwa rezeki yang dibelanjakan adalah zakatnya harta. Menunaikan zakatnya harta hanya berlaku sebelum datang hari di mana jual beli yang akrab memberi manfaat tidak ada lagi, yaitu hari kiamat. Dan orang-orang kafir adalah mereka yang tidak menempatkan kewajiban Allah pada tempatnya.

Senada dengan pendapat di atas, Abdullah Yusuf Ali dalam kitabnya The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary juga mengatakan bahwa ayat di atas memerintahkan kepada manusia untuk menafkahkan sebagian dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka. Menafkahkan yakni mengeluarkan sedekah atau mengerjakan pekerjaan yang baik dengan harta, tidak menimbunnya.

Dalam Islam, pekerjaan yang baik termasuk hal yang berfaedah untuk orang lain yang sedang memerlukan, baik ia tetangga atau orang yang jauh, atau berbuat baik kepada masyarakat, bahkan kepada seseorang yang telah mendapat karunia Tuhan. Akan tetapi, kebaikan itu harus sungguh-sungguh dan tidak boleh dicampur dengan motif-motif yang rendah, seperti mau berlagak, bangga atau berpura-pura, mendorong orang bermalas-malas atau mau mengadu domba. Karunia demikian tidak hanya bersifat kekayaan materi, tetapi juga bersifat kekayaan rohani.

Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an memandang bahwa lanjutan ayat ini tampaknya mengandaikan suatu masa nantinya orang tidak lagi membutuhkan harta. Bahkan pada saat itu, tidak ada usaha-usaha yang dilakukan manusia untuk mendapatkan harta.

Bisa jadi mereka telah memiliki semuanya dan mungkin pula karena mereka tidak lagi membutuhkannya. Tidak ada perdagangan pada saat itu. Tidak ada pula orang yang mau menerima sedekah atau pemberian, walau harta yang akan dikeluarkan tersebut amatlah besar dan bernilai. Oleh karena itu, sebelum masa yang “mengerikan” itu tiba, Al-Qur’an menganjurkan bersedekah (hal. 126).

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Dalam setiap harta ada hak orang lain

Islam sendiri berpendapat bahwa dalam kekayaan seseorang, terdapat sebagian hak bagi yang miskin dan yang membutuhkan. Sebagaimana firman Allah pada QS. Az-Zariyat ayat 19.

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah juga sependapat bahwa yang disebut rezeki adalah hasil atau simpanan jika manfaatnya kembali kepada seseorang dan dia dapat menikmati hasilnya, yaitu dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan-kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhannya.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya harta yang untuk anda hanyalah apa yang anda makan lalu anda habiskan, atau yang anda kenakan lalu rusak, atau yang anda sedekahkan lalu lestari.”

Masih menurut Khaldun, jika seseorang itu tidak mendapat manfaat darinya sama sekali untuk kemaslahatan-kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhannya, maka yang dinisbatkan kepadanya bukanlah disebut dengan rezeki. Sebagaimana orang yang memiliki harta dengan usaha dan kemampuannya, hal itu disebut dengan kasb (hasil usaha). Misalnya adalah harta warisan.

Harta yang dinisbatkan kepada orang yang meninggal disebut kasb (hasil usaha) dan tidak disebut rezeki karena orang tersebut tidak mendapat manfaatnya. Sedangkan kepada orang-orang yang mewarisi, apabila mereka dapat mengambil manfaatnya, maka disebut dengan rezeki. Demikianlah hakikat rezeki menurut Ahlu Sunnah.

Sedangkan menurut Mu’tazilah untuk dapat disebut rezeki diisyaratkan cara memilikinya harus dengan sah. Apa yang tidak boleh dimiliki menurut mereka tidak disebut dengan rezeki. Dengan demikian, mereka memandang barang-barang ghashaban (rampasan) dan semua yang haram tidak disebut dengan rezeki.

Perbedaan Ahlu Sunnah dan dengan Mu’tazilah dalam memandang apa yang disebut dengan rezeki hanya sebatas titik tekan. Ada yang memberi tekanan makna pada pemanfaatan dan ada pula pada usaha. Namun kembali kepada Al-Qur’an dalam konteks mencari hakikat rezeki, bukan saja pada caranya yang harus sesuai dengan aturan syari’at tetapi juga yang berkenaan dengan pemanfaatannya.

Manfaat itu sendiri merupakan kata lain dari maslahat. Artinya sesuatu disebut rezeki jika rezeki tersebut membawa kemaslahatan bagi diri pribadi (orang yang mengusahakannya) dan juga bagi orang lain.

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat rezeki bukan hanya tentang memperoleh banyak harta. Lebih dari itu, bagaimana harta hasil usaha ataupun simpanan kita dapat digunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Terutama dalam hal ini anjuran untuk bersedekah kepada orang-orang  yang berhak seperti orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian sebagaimana telah disebutkan pada QS. Az-Zariyat ayat 19 di atas. Wallahu’alam bishshawab.

Baca juga: Tujuh Etika Bisnis dan Marketing dalam Al-Qur’an yang Harus Dipahami Pebisnis