BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Sebagai Kitab Suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam, Al-Quran mengandung berbagai macam kata kunci tentang prinsip perdamaian dalam berkehidupan sekaligus mengandung prinsip mengantisipasi konflik dan kekerasan ‘yang dibenarkan’. Misalnya, ayat-ayat terkait perdamaian dan ayat-ayat tentang hukuman bagi orang kafir dan jihad dalam pengertian perang ‘yang dibenarkan’. Termasuk pesan perdamaian di balik ayat-ayat perang dalam surah Al-Hajj ayat 39-40

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan

Awal perang itu diizinkan, bukan diperintah!

Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hajj [22]: 39 :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”,

Dalam Jami’ al-Bayan, At-Tabari menafsirkan ayat di atas bahwa “Tuhan mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik sebab mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka”. Dengan senada, Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi dengan menyakiti beliau pula. Bagaimana respon Nabi kemudian? Nabi mengatakan “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”.

Penjelasan yang sama juga ditemukan dalam Mafatih al-Ghaib (juz 23 halaman 43) karya Ar-Razi, baik Az-Zamakhsyari maupun Ar-Razi menegaskan bahwa perang baru diizinkan dalam ayat yang turun setelah diturunkannya tujuh puluh ayat yang melarang hal ini. Ibn Zayd mengatakan bahwa kebolehan ini diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya memaafkan segala perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.

Tentu saja, ini adalah bukti bahwa ayat ini diturunkan setelah tidak ada lagi solusi untuk mengatasi kaum musyrik Mekkah yang telah melakukan begitu banyak tindak kekerasan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Upaya-upaya lain untuk menghindari perang seperti negosiasi, rekonsiliasi, sikap sabar, memaafkan, dan membiarkan kaum musyrik, telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap kejam dan sadis dalam menyerang kaum mukmin, seperti keadaan di mana kaum musyri tidak mengizinkan kaum mukmin memasuki Makah untuk berhaji.

Ayat-ayat dalam QS. Al Hajj [22]: 39 memiliki beberapa kata dan idiom yang secara jelas menunjukkan pada situasi tertentu yang menyebabkan diizinkannya berperang dan juga menunjukkan sesuatu yang bisa disebut sebagai ‘pesan utama’nya.  Penggalan ayat yang bisa diterjemahkan dengan “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”, ini mengandung dua kata yang harus dicermati dengan seksama yakni udzina dan zhulima agar seseorang bisa memahami ayat ini dengan tepat.

Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Kata udzina di atas menunjukkan bahwa perang hanya dibolehkan dalam pengertian bahwa mereka tidak harus menempuh jalan perang, kebolehan dan izin tergantung pada situasi khusus ketika jalan damai tidak memungkinkan. Pemahaman tentang li al-ladzina yuqatalu dan bi annahum zhulimu merujuk pada situasi penindasan, yang karenanya Nabi dan para sahabat diizinkan untuk berperang.

Perang itu untuk perdamaian, bukan penindasan

Sekarang, mari kita masuk pada ayat selanjutnya tentang penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan pesan perdamaian. Allah SWT dalam QS. Al-Hajj [22]: 40 berfirman :

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,”

Dalam ayat ini, Nabi beserta pengikutnya mulai diizinkan untuk berperang, harus dipahami dalam konteks historis dan tekstualnya. Berdasarkan basis konteks tersebut, seseorang dapat mengatakan bahwa pesan utama dari ayat-ayat ini ternyata bukan pergi berperang, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama serta perdamaian.

Dengan kata lain, perang justru bagian daripada alat untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Ini berarti bahwa perang haruslah dihindari jika masih ada jalan  non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Syahrur dalam kitabnya Taifif Manabi’ al-Irhab, Syahrur mengatakan bahwa jihad damai di jalan Allah boleh diikuti dengan peperangan hanya dalam situasi yang sangat diperlukan agar seluruh umat manusia mendapatkan kebebasan memilih, yang intinya adalah kebebasan beragama, berekspresi, menggunakan simbol keagamaan, keadilan dan kesetaraan.

Sebab itu, kita bisa memahami QS. Al-Hajj [22]: 39 memerintahkan kepada Nabi dan pengikutnya untuk tidak membunuh kaum kafir yang dalam keadaan tidak siap berperang dan mereka yang menyerah secara damai kepada kaum muslim. Nabi pernah bersabda  dalam riwayat Ibn ‘Abbas, “Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, dan mereka yang menyerah kepadamu dengan damai”.

Itu artinya, dengan larangan membunuh kaum yang lemah, jelas bahwa membunuh kaum kafir bukanlah tujuan utama dari perang. Bahkan saat perang pun, Nabi dan pengikutnya hanya dibolehkan untuk membunuh kaum kafir yang melakukan penindasan kepada kaum mukmin, mereka yang tidak menerima keragaman dan mereka semua yang tidak mau menegakkan perdamaian di muka bumi ini.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Prinsip penegakan perdamaian adalah salah satu bentuk pesan utama dari tidak diperbolehkannya berperang. Perang bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian. Sebab itu, selama manusia dapat mewujudkan perdamaian tanpa peperangan, maka tidak diperbolehkan melakukan peperangan.

Banyak dari umat Islam yang terlanjur dilabeli radikal dan teroris telah menyalahpahami ayat-ayat terkait dengan perang. Termasuk dalam memahami ayat-ayat ini, padahal jika kita mau mengntip sediking ke belakang ayat, kita dapat temukan pesan perdamaian di situ.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan Q.S. al-Hajj [22]: 39-40, kita perlu memahami konteks historis maupun tekstualnya, sehingga dapat menarik pesan utama yang lebih cocok dengan kondisi dan perkembangan zaman.

Sehingga, ayat yang pertama kali turun tentang diperbolehkannya melakukan peperangan adalah sebuah bentuk perintah yang sebenarnya tidak mengarah sama sekali ke ranah peperangan itu sendiri, akan tetapi sebuah nilai moral, yakni pesan perdamaian, penghapusan penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dalam suatu prinsip perdamaian yang harmoni. Wallahu A’lam

Abdur Rohman An Nakhrowi
Abdur Rohman An Nakhrowi
Mahasiswa Hukum Perbandingan Madzhab UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...