Kisah Nabi Shalih ‘alaihisalam dalam Surah Al-Mukminun merentang sepanjang sepuluh ayat, dari ayat 31 sampai ayat 41. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menyebut ada perbedaan pendapat soal kaum mana dan Nabi siapa yang dikisahkan. Ada yang memaknai sebagai kisah kaum ‘Ad, kaumnya Nabi Hud. Karena sebelumnya menceritakan tentang Nabi Nuh, yang secara runtut setelahnya berarti kisah Nabi Hud. Tetapi ada yang memaknai kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih.
Disebut kaum Tsamud karena melihat azab yang meluluhlantakkan segenap pendusta di penghujung kisah dalam Surah Al-Mukminun ayat 41. “Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak,…” (terjemahan QS. Al-Mukminun [23]: 41). Sedang kaum ‘Ad yang mendustakan Nabi Hud diterjang angin topan, sebagaimana kisah dalam Surat Al-Haqqah ayat 6-7, “Adapun kaum ‘Ad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus,…” (terjemahan QS. Al-Haqqah [69]: 6-7)
Walaupun dalam periode kehidupannya, setelah kaum ‘Ad binasa di kawasan Hadramaut karena azab yang menimpa mereka, Barulah muncul kehidupan yang bertumbuh kembang menjadi kabilah Tsamud, yang menurut Ibnu Katsir, mereka menetap di daerah antara negeri Hijaz dan Syam hingga Wadil Qura’.
Baca Juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud
Penyangkalan kaum Tsamud
Nabi Shalih sendiri merupakan bagian dari kaum Tsamud. Namun sewaktu ia berseru kepada mereka untuk menyembah Allah Swt, para pemuka kaum menyangkalnya begitu saja, seperti halnya dikisahkan Surah Al-Mukminun ayat 33.
وَقَالَ الْمَلأ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ
Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia, “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum”. (terjemahan QS. Al-Mukminun [23]: 33)
Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, menerangkan bahwa petinggi kaum Tsamud menyangsikan keesaan Allah dan mendustakan adanya perjumpaan di akhirat. Sementara Allah telah memberi kenikmatan dunia, dengan memperkaya penghidupan serta melimpahkan rezeki mereka. Hingga mereka angkuh dan sombong terhadap Tuhan mereka sendiri, sampai menjadikan mereka kafir (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an Juz 19, hal. 28).
Dalam pandangan Ibnu Asyur, ada keterhubungan antara kalimat wa kadzdzabu bi liqa’i al-akhirati (dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat) dan wa atrafnahum (dan yang telah Kami mewahkan). Relasi keduanya ini yang menyebabkan mereka mendustai ajakan Nabi Shalih.
Di mana pengingkaran mereka akan adanya perjumpaan di akhirat karena mereka menolak bila menimpa hukuman setelah mati. Dan kekayaan serta kenikmatan telah memperdaya mereka dengan penuh kesombongan, yang kemudian membiasakan mereka menjadi pemimpin, bukan sekedar pengikut.
Sebab itulah, mereka tidak menerima seruan Nabi Shalih untuk mewaspadai siksaan pada hari kebangkitan, sekaligus mengharap keselamatan dengan mengikuti perintahnya (al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 18, hal 52).
Baca Juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud
Sedari sini bisa dilihat bahwa mala’ menjadi aktor utama yang mengajak kaum Tsamud supaya berpaling dari Nabi Shalih. Di mana dalam kitab Lisan al-Arab (Ibnu Mandzur, tt) menyebut mala’ sebagai pemimpin, kalangan terhormat, para pemuka dan para tetua, yang menjadi rujukan segenap permasalahan bagi kaumnya. Dalam hal ini, mereka berarti para elit penguasa di kalangan kaum Tsamud.
Secara politik mereka mempunyai posisi serta pengaruh yang kuat di tengah-tengah kaum Tsamud, apalagi kekuasaan ekonomi juga dalam genggaman mala’ ini, yang mewujud dalam kehidupan penuh dengan gelimang pesona dunia hingga membuat mereka lalai. Relasi kuasa inilah yang menjadi kepentingan dominan untuk terus mereka pertahankan. Dengan tanpa henti mendustakan seruan Nabi Shalih untuk meng-Esakan Allah, yang mana hanya diikuti oleh orang-orang lemah lagi tertindas. Maka secara ekonomi-politik, tentu saja para penguasa yang kaya raya ini mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan misi perjuangan Nabi Shalih beserta pengikutnya. Wallahu a’lam