BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al Nahl Ayat 125: Metode Dakwah Rasulullah SAW

Tafsir Surah Al Nahl Ayat 125: Metode Dakwah Rasulullah SAW

Tafsiralquran.id – Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menyerukan kepada kebaikan (dakwah), agar senantiasa ajaran Islam dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan.  Namun, kesuksesan dakwah diantaranya sangat ditentukan oleh bagaimana dakwah itu dilaksanakan. Maka dari itu metode dakwah merupakan salah satu unsur dakwah yang memiliki peran penting dan strategis untuk keberhasilan dakwah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-Nahl, ayat 125 :

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 

Mayoritas Mufassirin menjelaskan bahwa maksud lafadz Sabili Rabbika adalah al-Islam atau al-Din. Tapi berbeda dengan Ibnu Ajibah yang memaknainya dengan “al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan”, ketiganya  merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dalam agama, sehingga perbedaan tersebut tidak berdampak pada esensi tujuan berdakwah.

Pada ayat tersebut juga disebutkan prinsip umum tentang metode dakwah Islam, yaitu dengan al-Hikmah, al-Mau’idzah al-Hasanah dan al-Mujadalah al-Ahsan.

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, makna al-Hikmah berarti perkataan jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan. Sedangkan makna al-Mauidzah al-Hasanah adalah nasehat dan pelajaran yang baik, serta perkataan yang santun. Dan al-Mujadalah al-Ahsan  adalah etika berdiskusi atau berdebat dengan cara yang santun, ekspresi wajah yang ramah, menggunakan argumentasi yang paling kuat dan pendahuluan yang sudah umum.

Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa al-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, dan berfaedah untuk penetapan akidah atau keyakinan. Sedangkan al-Mauidzah al-Hasanah adalah  petunjuk-petunjuk dan dalil-dalil yang dapat memuaskan. Dan makna al-Mujadalah al-Ahsan adalah berdiskusi dengan dalil-dalil yang benar (diterima).

Ibnu katsir memberi makna al-Hikmah  dengan al-Quran dan Hadits, makna al-Mauidzah al-Hasanah berupa teguran-teguran dan peristiwa-peristiwa yang dapat mengingatkan kepada manusia akan kekuasaan Allah. Dan al-Mujadalah al-Ahsan bermakna diskusi dengan wajah ramah, santun dan perkataan yang baik.

Dari beberapa pemaknaan ahli tafsir tersebut, dapat diambil kesimpulan dari masing-masing metode dakwah Islam. Pertama metode al-Hikmah, yakni penyeruan atau ajakan dengan cara yang bijak, filosofis, argumentatif, sesuai dengan risalah al-Nubuwah dan ajaran al-Quran. Kedua, metode al-Mauidzah al-Hasanah, yakni mengingatkan kepada yang lain berupa pelajaran-pelajaran, peringatan dan motivasi, dan perkataan yang lembut penuh kasih sayang, sehingga dapat memuaskan pendengarnya dan menyentuh sanubari. Ketiga, metode al-Mujadalah al-Ahsan, yakni upaya dakwah melalui bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan, santun, saling menghargai, dan tidak arogan.

Terkait pembagian metode dakwah tersebut, Ibnu Ajibah memberi komentar:

فالأولى:لدعوة خواص الأمة الطالبين للحق. والثانية: لدعوة عوامهم، والثالثة: لدعوة معاندهم

Artinya: “pertama (al-Hikamah) diperuntukkan orang-orang tertentu (mempunyai kapasitas keilmuan) yang mencari kebenaran, kedua (al-Mauidzah al-Hasanah) ditujukan kepada orang-orang awam, dan ketiga (al-Mujadalah al-Ahsan) ditujukan kepada orang yang keras kepala”.

As-Saya’rawi dalam tafsirnya memberikan gambaran dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits dikisahkan: Suatu ketika ada seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku berzina”. Mendengar perkataan tersebut Rasulullah tidak membentak dan menghardiknya, bahkan mendekati, mendidiknya dan dengan tutur kata lembut dan bijak.

Rasulullah kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang menohok sang pemuda.  “Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang lain?” tanya Rasulullah. Pemuda itu langsung menjawab “tidak wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. “Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka”.

Lalu Rasulullah melanjutkan dengan menuturkan satu-persatu dari kerabatnya. Rasulullah juga mendoakan pemuda tersebut agar dirahmati Allah swt., dosa-dosanya diampuni, hatinya disucikan, dan dijaga kemaluannya. Sehingga pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina. Wallahu A’lam.

M. Ali Mustaan
M. Ali Mustaan
Alumnus STAI Imam Syafii Cianjur, mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pecinta kajian-kajian keislaman dan kebahasaaraban, penerjemah lepas kitab-kitab kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU