Indonesia merupakan negara multikultural yang dihuni oleh penduduk dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama. Jika tidak memiliki jiwa nasionalisme yang mengakar, kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan perpecahan dan ketidakharmonisan di tengah-tengah masyarakat heterogen tersebut. Hal yang dikhawatirkan ketika persatuan di masyarakat tidak terjaga adalah goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Agar keutuhan dan persatuan tetap terjaga, masing-masing pribadi perlu menyikapi perbedaan-perbedan tersebut secara proporsional. Islam sangat mencela sikap rasis dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam hal ini, Alquran, telah memberikan rambu-rambu terkait sikap muslim saat berinteraksi dengan sesama warga negara di tengah-tengah keragaman tersebut.
Dalam Q.S. Alhujurat ayat 13, Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme dalam Alquran, Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 22
Menurut sahabat Ibnu Abbas r.a., ayat ini turun merespons sikap rasis sebagian orang Quraish terhadap sahabat Bilal bin Rabah. Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].
Kandungan Hikmah Surah Alhujurat Ayat 13
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas, terutama kaitannya dengan konteks negara Indonesia yang multikultural. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas menjelaskan tiga hal penting yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tiga hal tersebut adalah al-musawah (kesetaraan), al-ta’aruf (saling mengenal), dan al-taqwa (ketakwaan) [Tafsir al-Munir, juz 26, hlm. 259].
Allah Swt. menciptakan manusia dari asal yang sama, yaitu Nabi Adam a.s. sehingga semua manusia memiliki derajat yang sama dari aspek kemanusiaaan. Maka secara fitrah, manusia memiliki kedudukan serta hak dan kewajiban yang sama, baik di hadapan syariat maupun dalam kehidupan sosial. Nilai inilah yang dinilai menjadi dasar ideologi demokrasi oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili.
Baca juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13
Menurut Ibnu Asyur, salah satu karakteristik syariat Islam yang merupakan konsekuensi dari universalitas Islam itu sendiri adalah al-musawah (kesetaraan). Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan syariat tanpa memandang latar belakang suku, ras warna kulit, dan lain sebagainya [Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hlm. 106].
Nilai-nilai al-musawah (kesetaraan) ini juga telah disinggung oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau yang berbunyi:
النَّاسُ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
Manusia itu bagaikan gigi-gigi sisir (H.R. Al-Qadha’i).
Atau dalam redaksi lain
الناس مستوون كأسنان المشط ليس لأحد على أحد فضل إلا بتقوى الله
Manusia itu bagaikan gigi sisir; tidak ada keutamaan satu orang atas orang lain melainkan dengan ketakwaan (H.R. al-Dailami).
Selain itu, Allah menciptakan manusia dengan latar belakang suku dan ras yang berbeda-beda agar manusia bisa saling mengenal dan bersilaturahmi satu sama lain. Di Indonesia saja, masyarakatnya terdiri dari banyak suku, ras, dan etnis. Ada suku Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Dayak, dan masih banyak lagi. Dengan adanya perbedaan tersebut, masyarakat dituntut untuk saling mengenal dan memperluas jaringan komunikasi. Jangan sampai perbedan tersebut lantas menyebabkan timbulnya rasisme antargolongan atau bahkan perpecahan.
Menurut Imam al-Zamakhsyari, hikmah yang dapat diambil dari keragaman latar belakang manusia adalah agar manusia bisa saling mengenal satu sama lain. Seseorang akan mudah dikenal dan dibedakan dari orang lain ketika diketahui nasab atau etnisnya. Namun, perbedaan tersebut tidak ditujukan agar manusia berbangga-bangga dengan nasab dan keturunannya [al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, juz 4, hlm. 375].
Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Seorang muslim tidak boleh menganggap ras atau golongannya lebih baik daripada dan atau golongan yang lain. Karena penilaian baik dan buruk itu tidak bisa diukur berdasarkan ras atau golongan.
Maka dari itu, pelajaran ketiga yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah takwa dan amal saleh sebagai tolok ukur baik dan buruknya seseorang. Takwa lah yang menjadi neraca untuk mengukur kemuliaan seseorang di sisi Tuhan. Maka dari itu, orang yang paling mulia disisi Allah Swt. tidak diukur dari golongan, ras, atau kasta seseorang, melainkan dari tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt. [Tafsir Ibn al-Katsir, juz 7, hlm. 386].
Dalam Islam, yang menjadi barometer kemuliaan seseorang bukanlah paras wajah, warna kulit ataupun ras-golongan, melainkan tingkat keimanan dan amal saleh yang dilakukan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat paras dan harta kalian, melainkan Allah melihat hati dan amal kalian (H.R. Muslim).
Ala kulli hal, Q.S. Alhujurat ayat 13 ini mengajak umat Islam untuk menumbuhkan nilai-nilai persatuan, saling menghargai satu sama lain, serta mengupayakan keharmonisan antaragama, budaya, etnis, dan ras demi menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekian.