Takwa sering diartikan sebagai bentuk kepatuhan seorang hamba kepada Allah Swt. Arti takwa secara umum adalah melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa juga kerap kali dijadikan sebagai barometer kedekatan bagi seorang hamba dengan Allah Swt. atau dijadikan sebagai standar keimanan seorang hamba.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.
Dapat dilihat, secara umum ayat di atas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya. Lalu, apa makna takwa dengan sebenar-benarnya?
Wahbah Zuhailiy dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz (hlm. 64) menjelaskan arti takwa pada ayat di atas adalah untuk bersikap patuh kepada Allah Swt. dengan sepenuhnya, dengan cara menaati-Nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya dan tidak kufur, serta selalu ingat kepada-Nya tanpa sesaat pun lupa kepada-Nya.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa
Demikian juga disebutkan dengan redaksi yang serupa oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya. Ia menambahkan perkataan Imam Ibnu ‘Abbas yang mengatakan, “Maksud dari takwa dengan sebenar-benarnya adalah untuk tidak berlaku maksiat kepada Allah Swt. sekejap mata sekali pun”. (Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz 5, 238).
Sebagian mufasir mengatakan ketika surah Ali ‘Imran [3]: 102 turun, para sahabat bertanya akan hal itu. Siapa yang akan mampu melaksanakan ketakwaan dengan tingkatan sebenar-benarnya ketakwaan. Padahal ada maqalah yang mengatakan;
الإِنْسَانُ مَحَلُّ النِّسْيَان وَالخَطَإِ
Manusia adalah tempatnya keluputan dan kesalahan.
Perdebatan di dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102
Para mufasir berbeda pendapat perihal surah Ali ‘Imran [3]: 102. Sebagian mengatakan bahwa surah Ali ‘Imran [3]: 102 sudah dinaskh oleh surah Altaghabun [64]: 16, yang berbunyi:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!
Imam al-Qurthubī menjelaskan mengenai perdebatan tentang ayat ini, apakah ayat ini sudah dinaskh atau belum. Setidaknya ada 2 pendapat yang dirangkum pada pembahasan ini. Pertama, pendapat yang mengatakan surah Ali ‘Imran [3]: 102 dinaskh.
قَال مُقَاتِل: وَلَيْسَ فِي آلِ عِمْرَان مِنَ المَنْسُوخِ شَيْئٌ إِلَّا هَذِهِ الآية
Di dalam tafsir al-Qurthubī, Muqatil mengatakan, “Tidak ada satu pun ayat di dalam surah Ali ‘Imran yang dinaskh, kecuali ayat ini”, yakni surah Ali ‘Imran [3]: 102. (Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz. 5, 238).
Menurut Qatadah, as-Sayyid, ar-Rabi’ bin Anas, dan Ibn Zaid berpendapat bahwa surah Ali ‘Imran [3]: 102 dinaskh oleh surah Altaghabun [64]: 16 dan surah Albaqarah [2]: 286. (Al-Muharrar al-Wajiz, Juz. 2, 304) yang berbunyi:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.
Kedua, pendapat yang mengatakan surah Altaghabun [64]: 16 tidak menaskh melainkan sebagai bayan (penjelas).
وَقَدْ رَوَى عَلِيٌّ بنُ أَبِي طَلْحَة، عَن ابنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: ((يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ)) قَال: لَمْ تُنْسَخْ، وَلَكِن ((حَقَّ تُقٰىتِهٖ)) أَنْ تُجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ، وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَتَقُوْمُوا بِالقِسْطِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَأَبْنَائِكُمْ
‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., ia berkata, “Firman Allah يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ tidak dinaskh, akan tetapi makna حَقَّ تُقٰىتِهٖ yang terkandung pada ayat tersebut adalah bersunggung-sungguh dengan kesungguhan yang sebenar-benarnya. (Al-Jami’ al-Aḥkam al-Qur’an, Juz. 5, 238). الجهد juga sering diartikan sebagai keinginan gigih untuk mencapai sesuatu.
Kelompok jamaah ahli ilmu, sebagaimana dikutip dari Al-Muḥarrar al-Wajīz (Juz. 2, 304) karya Ibnu ‘Athiyyah, mengatakan, “Tidak ada naskh di dalam masalah ini. Antara Ali ‘Imran [3]: 102 dan Altaghabun [64]: 16sesuai. Tidak ada pertentangan”.
Kemudian, dalam Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an (Juz 5, 238) juga disebutkan bahwa ayat فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ menjadi bayan (penjelas) surah Ali ‘Imran [3]: 102. Pendapat inilah yang paling benar menurutnya.
Baca Juga: 3 Konsep Takwa dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 133-134
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, ayat Ali ‘Imran ini menjelaskan batas akhir dari dan puncak takwa yang sebenarnya. Sedangkan ayat Altaghabun berpesan agar tidak meninggalkan takwa sedikit pun, karena setiap orang pasti memiliki kemampuan untuk bertakwa, dan tentu saja kemampuan itu bertingkat-tingkat. Yang penting adalah bertakwa sepanjang kemampuan, sehingga jika puncak dari takwa yang dijelaskan di atas dapat diraih, maka itulah yang didambakan, tetapi bila tidak, maka Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. (Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 168)
Dengan demikian, melalui pemahaman ayat Ali ‘Imran ini, semua orang beriman dianjurkan berjalan pada jalan takwa. Semua diperintahkan berupaya menuju puncak, dan masing-masing dari mereka selama berada di jalan itu, akan memperoleh anugerah sesuai dengan usahanya. Surah Ali ‘Imran [3]: 102 adalah arah yang yang dituju, yakni mencapai tingkatan حَقَّ تُقٰىتِهٖ (sebenar-benarnya ketakwaan). Sedangkan Altaghabun [64]: 16 adalah jalan yang ditempuh menuju arah itu, yakni dengan kemampuan serta totalitas hamba menggapai arah yang dituju. Dengan demikian, kedua ayat tersebut tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi.
Pelajaran yang terkandung dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102
- Proteksi (penjagaan) diri
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Ali ‘Imran [3]: 102 adalah arah yang dituju, sedangkan Altaghabun [64]: 16 adalah jalan yang ditempuh. Sepatutnya seorang hamba mengerahkan sekuat tenaga, seluruh kemampuannya, totalitas, keinginan gigih dalam menjalankan ketakwaan kepada Allah Swt. sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.
Sekuat tenaga, berarti mengerahkan semua kemampuan untuk menjalankan seluruh perintah dan larangan-Nya. Seberat apapun rintangan hamba untuk menjalankan perintah Allah, tetap harus dilewati. Sebesar apa pun godaan melakukan keburukan, harus dihindari. Sebab keburukan itu tidak hanya datang dari eksternal diri manusia, akan tetapi keburukan itu bisa muncul dari internal manusia. Manusia memiliki potensi untuk melakukan kerusakan, kejahatan dan sebagainya. Maka dari itu, dengan memperoteksi diri dengan ketakwaan, seseorang bisa terhindar dari berbuat buruk dan berlaku kriminal.
Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran
- Jalan menuju husnul khatimah
وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.
Pada akhir ayat tersebut, Allah Swt. mengatakan, “Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”.
Ayat ini adalah ayat kinayah, yaitu ungkapan yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya, serta boleh juga menghendaki makna dari lafal tersebut. Artinya, Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya agar sesantiasa tetap dalam keadaan menjadi seorang muslim.
Imam Ibnu ‘Athiyyah mengatakan:
وَقَولُه تَعَالَى: ((وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ)) مَعنَاهُ: دُومُوا عَلَى الإِسْلَامِ حَتَّى يُوَافِيَكُم المَوْتُ وَأَنْتُم عَلَيْهِ
Makna dari firman Allah di atas adalah, “Tetaplah kamu dalam naungan Islam sampai kematian mendatangimu dan kamu dalam keadaan muslim”. (Al-Muharrar al-Wajiz, Juz. 2, 305)
Ketika hamba selama hidupnya tetap dalam keislamannya, tetap dalam ketakwaan kepada Allah Swt. maka ketika nanti maut datang menjemput, ia mati dalam keadaan muslim.
Wallahu ‘A’lamu Bishshawab.