Tafsir Surah Almaidah Ayat 31: Relasi Manusia dengan Alam

Tafsir Surah Almaidah ayat 31: relasi manusia dengan alam
Tafsir Surah Almaidah ayat 31: relasi manusia dengan alam

Dalam artikel yang berjudul “Islamic Ecotheology: Understanding The Concept of Khalīfah and The Ethical Responsibility of The Environment” yang diterbitkan oleh Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy (vol. 3, no. 1, hlm. 1), disebutkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah karena ada kesalahpahaman manusia dalam memandang alam. Oleh kebanyakan manusia, alam diperlakukan sebagai objek yang harus tunduk kepada manusia, apa pun keinginannya. Alam semesta dianggap berada satu tingkat di bawah manusia, sehingga menimbulkan sebuah legitimasi supremasi kekuasaan manusia atas makhluk lain di muka Bumi (antroposentrisme). Menepis anggapan keliru ini, tersirat dalam Surah Almaidah ayat 31 bahwa Allah Swt. pernah menjadikan alam sebagai mediator untuk mengajari manusia bagaimana cara memperlakukan manusia yang sudah tidak bernyawa. Oleh karena itu, sudah selayaknya alam sebagai sesama ciptaan Tuhan diposisikan setara dengan manusia.

فَبَعَثَ اللّٰهُ غُرَابًا يَّبْحَثُ فِى الْاَرْضِ لِيُرِيَهٗ كَيْفَ يُوَارِيْ سَوْءَةَ اَخِيْهِ ۗ قَالَ يٰوَيْلَتٰٓى اَعَجَزْتُ اَنْ اَكُوْنَ مِثْلَ هٰذَا الْغُرَابِ فَاُوَارِيَ سَوْءَةَ اَخِيْۚ  فَاَصْبَحَ مِنَ النّٰدِمِيْنَ ۛ

“Kemudian, Allah mengirim seekor burung gagak untuk menggali tanah supaya Dia memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana cara mengubur mayat saudaranya. (Qabil) berkata, “Celakalah aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini sehingga aku dapat mengubur mayat saudaraku?” Maka, jadilah dia termasuk orang-orang yang menyesal.”

Ayat ini merupakan bagian dari rangkaian kisah Surah Almaidah ayat 27 yang menjelaskan tentang perkelahian antara dua orang yang mengakibatkan salah satu di antara keduanya mati. Dalam keadaan kebingungan melihat lawannya mati, Allah Swt. mengirimkan burung gagak untuk mengajarinya menguburkan jasad tersebut. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa burung gagak yang dikirimkan oleh Allah Swt. ditujukan kepada dua orang dari kalangan Bani Israil yang saling membunuh.

Baca juga:Tafsir Surah Taha Ayat 55: Belajar dari Teologi Tanah

Pendapat tersebut disanggah oleh Imâm al-Thabarî, jika yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah dua orang dari Bani Israil, untuk apa Allah Swt. mengirimkan burung gagak tersebut karena orang-orang di masa itu sudah mengetahui tata cara penguburan jenazah. Menurut Imâm al-Thabarî, burung gagak tersebut ditujukan pada kasus pembunuhan Habil oleh saudaranya, Qabil. Dikarenakan mereka termasuk golongan awal manusia yang hidup di muka Bumi, dan di waktu yang bersamaan pembunuhan tersebut merupakan kasus pertama yang dilakukan oleh manusia, maka mereka belum mengetahui tata cara memperlakukan manusia yang meninggal dunia sehingga Allah Swt. mengirimkan burung gagak untuk mengajarinya (Tafsîr al-Thabarî, jilid 3 , hlm. 75).

Ketidaktahuan Qabil tentang tata cara memperlakukan mayat diperkuat dengan kata sau’ah (سَوْءَةَ) yang bermakna keburukan. Makna “keburukan” tersebut kemudian ditafsirkan dengan arti bau busuk dan kerusakan badan, yang berarti mengisyaratkan bahwa cukup lama Qabil kebingungan dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya, sampai-sampai badan saudaranya sudah rusak dan mengeluarkan bau tak sedap. Upaya buruk gagak yang menguburkan burung gagak yang dibunuhnya, kemudian mengilhami Qabil untuk menguburkan saudaranya yang terbunuh (Tafsir al-Mishbah, jilid 3, hlm. 31).

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Kejadian ini merupakan salah satu contoh dari apa yang disebut oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Iman yang Menyejarah (hlm. 62) sebagai proses dialog dan penafsiran manusia dengan alam untuk mengatasi problem kehidupan. Saat hewan dapat menjadi sumber inspirasi, pengetahuan, dan pengalaman bagi manusia (Tafsîr al-Manâr, jilid 5, hlm. 346).

Dari dialog tersebut lahirlah pemaknaan dan pembelajaran hidup untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan rohaniah umat manusia, sebagaimana halnya yang dicontohkan dalam kisah Qabil dan Habil. Hal tersebut tidak dapat diwujudkan jika manusia merasa superior atas alam dan merasa berhak mendominasinya secara membabi-buta. Wallahu a’lam.