Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan dunia, baik barat maupun timur, telah terjadi perdebatan tentang hal ihwal alam semesta. Pertanyaan bagaimana asal muasal dunia ini ada? Apakah bumi mengorbit pada matahari atau sebaliknya? Dan seterusnya. Perdebatan itu kemudian sampai pada pembahasan tentang asal mula “cahaya”, bagaimana hakikat cahaya itu. Dan pada ratusan tahun setelahnya, di masa kejayaan Islam, muncullah ilmuwan besar Islam bernama al-Ghazali.
Dalam bukunya, Misykat al-Anwar, al-Ghazali membahas secara detail mengenai cahaya, tingkatan-tingkatannya, dan sebagainya. Hakikatnya sebenarnya bertumpu pada yang Haq, yakni Allah Swt. Dia adalah hakikat cahaya. Dari pada itu, Alquran juga membahas tentang “nur“. Maka dalam artikel ini, dipaparkan beberapa pendapat mufasir terkait penafsiran surah Alnur [24]: 35.
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (1)
Ayat
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Pendapat Mufasir
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Secara bacaan atau qira’at, menurut para ulama, kata “نُورُ” dengan “نَوَّرَ” menggunakan tasydid. Dalam kaidah nahwu, kata itu berbentuk fi’il madhi yang bermakna lampau (telah terjadi). Jadi, Allah menciptakan cahaya seperti pada matahari, bulan, bintang dan lainnya sebagai penerang semesta. Sebagaimana juga cahaya dalam konteksnya adalah petunjuk Allah kepada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) dengan Alquran, Rasul dan agama-Nya. (Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 271)
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang dikenal dengan Imam Jalalain, menafsirkan beberapa kata penting dalam ayat tersebut. Pertama, dijelaskan bahwa kata “nur” itu adalah perwujudan dari matahari dan bulan sebagai penerang bagi langit dan bumi; pada siang dan malam hari. Kedua, dikatakan juga bahwa “nur” itu adalah penyifatan dari Allah, Zat yang mempunyai cahaya itu sendiri. Namun, sifat kecahayaan Allah diumpamakan kepada yang riil, yang tampak oleh mata. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain al-Muyassar, 354)
Langit dan bumi adalah bukti kekuasaan-Nya yang nyata, seperti yang tampak pada surah Albaqarah [2]: 257 yang artinya “Allah adalah Tuhan bagi mereka yang iman, Ia keluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang”. Sebagai cahaya itu sendiri, Allah akan menerangi siapa yang iman dan bertakwa. Mereka akan dilindungi dari sesatnya kegelapan (al-bathil) menuju kebenaran yang terang (al-haq).
“Nur” Juga Bermakna Cahaya Hidayah
Lalu, mengapa kata “nur” dinisbatkan pada langit dan bumi? Setidaknya az-Zamakhsyari menyebutkan ada dua alasan: Pertama, karena keduanya adalah simbol kemulyaan dan keagungan. Kedua, karena penduduknya (objek cahaya) mendapat sinar dari cahaya itu, ini seperti yang ada dalam keterangan Tafsir al-Kasysyaf. (az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, 731)
Hal itu juga sependapat dengan al-Maraghi dalam tafsirnya, namun lebih lanjut beliau menambahkan bahwa cahaya atau hidayah (petunjuk) itu berupa tanda-tanda yang ditampakkan dalam semesta alam dan Alquran yang diturunkan kepada utusan-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 107)
Baca Juga: Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35
Secara sederhana, cahaya bisa diartikan sebagai makna sebenarnya atau sebagai hidayah Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama benar jika merujuk pada matahari, misalnya. Setiap detik, matahari tiada henti untuk mengalirkan manfaatnya kepada bumi. Dan Allah menciptakannya memang untuk kemaslahatan makhluk ciptaannya; manusia, hewan, tumbuhan dll. Maka untuk mensyukuri segala nikmat yang diperoleh dari matahari, seharusnya semakin meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Ta’ala, sebagai Zat yang mencipta.
Wallahu a’lam.