Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

peran suami istri

Tafsirquran.id- Sudah jamak diketahui bahwa QS An-Nisa’ [4]: 34 ini memunculkan ragam penafsiran yang kontradiktif. Dalam perspektif mufassir klasik semisal al-Zamakhshari, al-Razi, Ibnu Katsir dan sebagainya mendudukkan ayat ini sebagai legitimasi pengunggulan laki-laki atas perempuan di ranah domestik maupun publik.

Di fragmen lain, ulama kontemporer sekaliber Yusuf Qardlawi dan Quraish Shihab mengarahkan ayat ini secara khusus berisi manual tentang relasi suami dan istri dalam menjalani mahligai rumah tangga. Selanjutnya, mereka menyatakan suami sebagai penanggungjawab utama dalam rumah tangga. Hal ini berlandaskan pemahaman terhadap ayat itu yang secara eksplisit menempatkan suami sebagai subjek yang memiliki kelebihan dan dapat menopang kebutuhan keluarga. Berikut ini teks ayatnya: 

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ  (34)

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (Q.S. al-Nisa [4]: 34)

Dari pemaknaan mufassir klasik kita dapat pahami bahwa mereka mengartikan secara literal kata al-rijaal dan al-nisa’ dengan laki-laki dalam cakupannya yang umum, sehingga memunculkan pemahaman laki-laki menjadi subjek yang memimpin, dan sebaliknya, perempuan selalu menjadi objek yang dipimpin. Mereka menggunakan hadis tentang pernyataan Nabi Saw. bahwa suatu negeri tidak akan dapat berjaya bila dipimpin oleh perempuan, untuk menguatkan penafsirannya. Begitu pula, mereka menggunakan nalar perspektif mereka bahwa laki-laki memiki akal yang lebih cerdas serta fisik yang lebih kuat ketimbang perempuan.

Berbeda dengan Quraish Shihab dan Yusuf Qardlawi yang lebih mengarahkan ayat ini pada relasi suami-istri. Dengan mengkorelasikan siyaqul ayat (konteks ayat) yang membahas persoalan nafkah dalam rumah tangga, mereka berkesimpulan bahwa diksi qawwaam di situ ditujukan pada kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Dan sebagai argumentasi tandingan mengenai hadis kepemimpinan perempuan di atas, Yusuf Qardlawi menerapkan hadis itu pada kondisi sosial ketika perempuan masih rendah peradabannya, seperti yang terjadi pada kekaisaran Romawi 9 H yang kalang kabut saat di pimpin Ratu Kisra, yang notabene menjadi sebab munculnya hadis tersebut.

Dua model penafsiran di atas pada gilirannya butuh untuk dikembangkan. Sebab berdasarkan kondisi aktual, penafsiran tersebut terasa tidak relevan, karena hari ini peran perempuan baik di ranah publik atau pun domestik tidak seluruhnya kurang signifikan daripada laki-laki. Salah satu cara adalah dengan mengilustrasikan setting historis relasi suami-istri di masa ayat itu turun dengan realitas saat ini dan menggali substansi dari ayat itu sendiri.

Ada Pergeseran kultur

Hussein Muhammad dalam Fiqh Perempuan menegaskan telah terjadi pergeseran kultur dalam sistem relasi suami-istri yang kemudian dapat menjadi dasar pentingnya melakukan rekonstruksi penafsiran QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas.

Dalam narasi sistem keluarga masa lalu, perempuan sebagai istri berada pada posisi kedua karena kuatnya kultur patriarki. Peran laki-laki sebagai suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap stabilitas rumah tangga. Sedangkan istri, otoritasnya berada dalam kuasa suaminya dan pada kondisi demikian kita dapat menyebut perempuan merupakan the second priority.

Perempuan berada pada titik nadir marginalisasi saat pra Islam. Ia ibarat barang yang bisa dijual, diwaris, ditawan, dan dibumi-hanguskan secara cuma-cuma. Lalu, datanglah Islam dengan menyampaikan ajaran yang mengangkat harkat perempuan secara perlahan dan tentunya menyesuaikan dengan kultur patriarki yang masih kental di masyarakat Arabia.

Pada titik ini, perempuan mendapat waris setengah dari bagian laki-laki. Dalam sektor penikahan, ada pembatasan poligami, perintah menjalin relasi baik, dan ketentuan nushuz yang ringan. Kesemua tatanan itu berlangsung selama kultur patriarki masih berjalan. Setidaknya hingga muncul tren gender equality di Abad 19 seperti yang disampaikan Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya.

Selanjutnya, kultur patriarki mulai tidak menemukan pijakannya baik secara teologis mau pun sosiologis. Kondisi ini ditengarai dengan progresivitas nalar ahli tafsir kontemporer untuk menggali maksud ayat berdasarkan esensi dan mengkompromikan dengan kenyataan sekarang, saat perempuan telah banyak berperan. Di lingkup keluarga perempuan menunjukkan perannya sebagai istri dan ibu yang baik, begitu pula di lingkup publik, mereka terbukti memiliki kapabilitas dan kredibilitas menjadi figur pemimpin, interpreuner, dan semisalnya.

Melihat kenyataan ini, QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas penting untuk ditafsirkan secara kontekstual, dengan mengambil substansi ayat lalu mengelaborasikannya dengan fakta yang ada sekarang.

Substansi ayat

Faqihuddin Abdul Qodir dalam Qira’ah Mubaadalahnya, menyebutkan bahwa substansi QS An-Nisa’ [4]: 34 di atas ialah siapa yang memiliki kapasitas lebih dalam hal finansial atau pun otoritas dalam mengatur relasi suami-istri, maka ia bertanggungjawab untuk mengemban amanat sebagai pemenuh kebutuhan finansial keluarga, dan pula mengatur keberlangsungan keluarga tersebut.

Pada saat yang sama, Faqih menyatakan ditampilkannya diksi ar-rijaal sebagai pemimpin memiliki makna yang kontekstual. Sebagaimana kita tahu sebelumnya, bahwa laki-laki pada kenyataannya memiliki otoritas lebih di masa ayat ini turun, sehingga laki-laki berkewajiban untuk menjadi pemimpin keluarga. Maka sebaliknya, tidak hanya laki-laki, perempuan pun bisa menjadi pengatur rumah tangga bila keadaan menuntut demikian.

Pemaknaan ar-rijaal dengan tidak eksklusif kepada laki-laki dapat pula kita temui dalam QS At-Taubah [9]: 108, QS An-Nur [24]: 37, dan QS Al-Ahzab [33]: 23. Pada tiga ayat itu kendatipun secara redaksi hanya menyapa laki-laki dengan disebutkannya diksi ar-rijaal, perempuan juga masuk di dalamnya. Sehingga, memperkuat otoritas perempuan untuk ikut andil dalam mengatur keberlangsungan rumah tangga. Diperkuat dengan konteks QS An-Nisa’ [4]: 34 yang berupa narasi ikhbar (memberi informasi), yang secara nalar ushul fiqh sekedar memberi informasi yang tidak mengindikasikan suatu ajaran.

Fleksibilitas Tanggungjawab

Mengaca dari kenyataan dan berpegang pada substansi ayat yang harus dipegang senantiasa, maka timbul pemaknaan baru terhadap QS An-Nisa [4]: 34 di atas. Ialah hak dan tanggungjawab suami dan istri sangatlah fleksibel dengan kondisi yang dialami masing-masing rumah tangga yang tentu saja berbeda. Laki-laki bertanggungjawab sebagai pemenuh kebutuhan dan penjaga stabilitas keluarga jika memang ia memiliki kapasitas itu dan istrinya sedang mengemban amanah reproduksi; kehamilan, masa menyusui, atau mendidik anak, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan produktif secara optimal.

Begitu pula, bila pihak istri memiliki kapasitas lebih daripada suami, maka adalah kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dan penjaga stabilitas keluarga. Ketentuan tersebut sangat fleksibel, dan harus tetap berpijak pada tiga tujuan pernikahan yang merupakan perjanjian kuat (mitsaqan ghalidzan). Tiga tujuan itu sebagaimana yang dirumuskan oleh Faqihuddin Abdul Qodir ialah; terjalin relasi yang baik, pemenuhan kebutuhan finansial dan seksual. Dalam mewujudkan tujuan itu, juga harus berlandaskan prinsip mushawarah (saling tukar pendapat), sehingga keputusan pun adil untuk kedua belah pihak. Wallahu a’lam []