Tulisan ini merupakan lanjutan dari bahasan sebelumnya tentang menyoal slogan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, khususnya tentang kualifikasi yang harus dimiliki role model (ustadz, kiyai atau ulama) yang akan melakukannya itu berat dan tidak mudah. Kali ini akan dibahas tentang bagaimana memahami role model (ustadz, kiyai atau ulama). Selain terkait sejauhmana pemahaman yang dimiliki oleh “role model” terkait Al-Qur’an dan Sunnah, pun dengan segala tujuan, kepentingan, dan tendensinya, ada faktor lain tentang bagaimana karakter keberagamaan masyarakat terbentuk. Faktor tersebut terkait pola komunikasi, atau lebih tepatnya mengenai bagaimana kemampuan “role model” tersebut dalam menyampaikan setiap pesan-pesan dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk tujuan tersebut kiranya menjadi penting untuk memperhatikan lebih jauh tentang yang ditawarkan Umberto Eco terkait semiotika komunikasi dalam Semiotics and Philosophy of Language, yang nampaknya juga selaras dengan kandungan dalam QS. Ibrahim [14]: 4.
Baca Juga: Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?
Umberto Eco dan Semiotika Komunikasi
Ia adalah Umberto Eco, seorang filosof, ahli di bidang semiotika, kritikus sastra, sekaligus novelis berkebangsaan Italia. Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Piedmont, Italia Utara, dan wafat pada 19 Februari 2016. Dalam bidang karir pedidikannya, Umberto Eco tercatat telah menyelesaikan S1, S2, dan S3-nya di bidang filosofi dan sastra di University of Turin.
Secara sederhana, semiotika komunikasi yang ditawarkan Umberto Eco merupakan sebuah proses perpindahan sinyal dari sebuah sumber melalui pengirim atau saluran menuju sebuah penerima atau tujuan. Ia pada dasarnya bersifat pragmatis, yang sangat tergantung dengan bagaimana sebuah praktek dijalankan dengan melihat situasi yang ada.
Setidaknya terdapat delapan poin penting yang harus diperhatikan dalam semiotika jenis ini. Kedelapan poin tersebut meliputi sumber, pengirim, sinyal, saluran, sinyal, penerima, pesan, tujuan. Perhatian terhadap kedelapan komponen ini, pada akhirnya, akan sangat berpengaruh pada hasil yang sedang dikomunikasikan.
Singkatnya, dalam semiotika jenis ini, Umberto Eco mensyaratkan kepada para aktor publik, juga dapat disebut ’role model’, yang dalam konteks ini disebut oleh pendakwah, mengetahui target pembaca, audiens, jamaah merupakan satu hal yang penting. Ia harus masuk dengan menggunakan kode bahasa, budaya, dan sebagainya agar pada akhirnya pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat.
Baca Juga: Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes
Lisan tidak hanya berarti bahasa
Hal yang sama, yang juga memerintahkan untuk memahami bahasa dan pemahaman masyarakat, secara rapi tercatat di dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam QS. Ibrahim [14]: 4. Narasi yang dihadirkan dalam ayat ini kurang lebih berbunyi:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
”Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.
Terkait hal ini, Yusuf Ali, sebagaimana dikutip Nurcholis Majid dalam Islam Universal, menyebut bahwa yang dimaksud bahasa tidak hanya terbatas pada aspek linguistik-nya saja. Bahasa dalam pengertian Yusuf Ali juga merujuk kepada arti kultural, pun dengan bagaimana pola berfikir. Argumentasi yang demikian muncul dari pengetahuannya pada hal yang mendasar, bahwa diturunkannya Kitab Suci Al-Qur’an memiliki tujuan yakni rahmatan lil ’alamin. Terang lagi menerangkan. Dan tentu tidak memihak.
Untuk menyampaikan tujuan yang dimiliki Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Saw. dengan menggunakan bahasa yang berlaku di kalangan masyarakat, yakni Bahasa Arab. Namun demikian, seiring dengan meninggalnya Nabi Saw. juga disertai dengan menyebarnya Islam yang menjangkau masyarakat yang heterogen, hal ini juga menuntut untuk hadirnya penjelasan lanjutan Al-Qur’an dari kalangan pendakwah (baca: mufassir) dengan menyesuaikan apa yang menjadi standar dalam masyarakat.
Pengertian-pengertian yang demikian, dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an serupa dengan ”Tafsir Kontekstual”. Sahiron Syamsuddin, misalnya, dalam Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an dengan pendekatan Ma’na-cum-Maghza.
Di sini, ia menghendaki untuk memahami dua latar sekaligus sebelum pada akhirnya menentukan pesan yang paling mendekati kebenaran Al-Qur’an. Dua latar ini meliputi masa lalu—di dalamnya terkait sejarah, bahasa, dan konteks di mana Al-Qur’an diturunkan—dan masa kini, juga termasuk di dalamnya konteks yang berlaku di masyarakat.
Ketidakpahaman, ketidakmampuan, pun dengan keengganan para pendakawah untuk memahami bahasa, budaya, dan cara berpikir masyarakat justru dapat menghambat pesan sejati dalam Al-Qur’an. Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya, konsekuensi paling logis dari yang disebutkan sebelumnya berujung pada ketidakpahaman, bahkan yang paling mengerikan memunculkan karakter keberagamaan yang ”marah”. Wallahu’alam.