BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Mengapa Menuntut Ilmu Setara dengan Jihad?

Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Mengapa Menuntut Ilmu Setara dengan Jihad?

Menuntut ilmu dan mempelajarinya adalah seutama-utamanya jihad. Inilah jihad terbesar dari sekian bentuk term jihad yang ada. Dalam Ta’lim Muta’alim dijelaskan, “satu orang yang berilmu lagi wara’ itu lebih ditakuti syaitan ketimbang seribu orang ahli ibadah tanpa dilandasi ilmu” (fa inna faqihan wa hidan mutawarri’an asyaddu ala syaithani min alfi ‘abidi). Jihad menuntut ilmu sangat penting sampai-sampai Allah swt melukiskannya dalam firman-Nya surat al-Anbiya’ ayat 7:

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 7)

Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 7

Pada penafsiran ayat ini, saya akan memfokuskan pada redaksi kedua yaitu fas-alu ahl al-dzikri in kuntum la ta’lamun, terutama kalimat ahl al-dzikri.

Al-Tabary dalam Jami’ul Bayan menafsirkan ayat tersebut dengan menukil riwayat berikut, “diceritakan Basyar, Yazid, Sa’id dari Qatadah, berkata: “fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamun” makna ahl dzikri di sini adalah ahl kitab taurat dan injil” sebagaimana perkataan Abu Ja’far, “Aku telah melihatnya berkata, “mereka mengabarkan bahwa para rasul adalah orang laki-laki yang memakan makanan dan berjalan di pasar.” Dikatakan ahl dzikir yaitu Ahl al-Quran”.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Senada dengan al-Tabary, Al-Qurtuby juga menafsirkannya demikian. Bahwa ahl dzikri yaitu mereka para ahl taurat dan injil yang beriman kepada Nabi saw. Ibn Zaid berkata, “makna al-dzikri adalah mereka para ahl al-Quran. Jabir al-Ja’fy mengatakan ayat ini turun dimaksudkan kepada ahl dzikr yaitu ahl al-Quran.

Masih tentang al-Qurtuby, ia menampilkan satu fenomena sosial yaitu para ulama seringkali berbeda pendapat dalam fatwanya. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk menggali hukum atau katakanlah orang awam, sebaiknya mengikuti pendapat (taklid) kepada ulama dan tidak memperbolehkan membuat fatwa sendiri tanpa dilandasi pengetahuan yang mendalam, termasuk juga tentang kehalalan dan keharaman sesuatu.

Lebih dari itu, penafsiran bercorak sufistik juga disumbangkan Al-Qusyairi yakni khitab (obyek yang dimaksud atau tujuan) ayat ini ditujukan kepada seluruh umat, tidak terbatas kaum tertentu. Ahl dzikri dalam konteks ini adalah ulama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Selain itu, mereka yang paham betul seluk-beluk keilmuan baik agama maupun sains atau boleh dibilang pakar di bidang keilmuannya.

Baca juga: Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

Agak berlainan dengan yang lain, bahwa ahl dzikri yaitu mereka para ahli Al-Quran plus ulama khash lagi ma’rifat. Merekalah termasuk ahl dzikri yang disebut dalam ayat ini, demikian penuturan Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan. Tak mau kalah, al-Razi dalam Tafsir al-Kabir-nya memaknai ahl dzikri yaitu mereka ahl al-kitab yang mengetahui kerasulan Rasul saw.

Jihad Menuntut Ilmu

Mempelajari dan menuntut ilmu merupakan bagian dari jihad. Bahkan bentuk jihad ini mendapat legitimasi dari Al-Quran dan al-Hadits.

من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله هوحتى يرجع

“Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (H.R. Tirmidzi).

Hadits di atas bermakna bagi mereka yang tengah menuntut ilmu, maka status whatsapp-nya on the way surga alias dalam naungan ridha-Nya. Sungguh begitu berartinya jihad dengan ilmu. Di Al-Quran juga terdapat isyarat bahwa kesungguhan dalam melaksanakan kebaikan, termasuk menuntut ilmu termasuk bagian dari jihad sebagaimana dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan-Ku) benar-benar dan pasti akan aku tunjukkan kepada mereka jalan-jalan-Ku”.

Tidak hanya itu, Al-Ghazali melukiskan bahwa jihad atau perjuangan membela agama tanpa didasari ilmu sehingga dilakukan cara-cara yang salah justru mendatangkan kerusakan yang sangat besar bagi agama Islam,

وضرر الشرع ممن ينصره لا بطريقه أكثر من ضرره ممن يطعن فيه بطريقه وهو كما قيل عدووعاقل خير من صديق جاهل

“Bahaya bagi agama yang ditimbulkan dari para pembelanya yang menggunakan cara-cara yang salah lebih besar dibandingkan bahaya yang datang dari pencela agama yang menggunakan cara-cara benar. Ini seperti yang dikatakan, “Musuh yang berakal lebih baik ketimbang teman yang bodoh”.

Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam Zad al-Ma’ad justru menempatkan jihad menuntut ilmu sebagai tingkatan pertama jihad melawan hawa nafsu. Bahkan mayoritas ulama, bepergian untuk menuntut ilmu lebih utama ketimbang memanggul senjata atau terlibat peperangan, sebagaimana diturukan Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim,

ليعلم أن سفر العلم لا يخلوا عن التعب لأن طلب العلم أمر عظيم وهو أفضل من الغزاوة عند أكثر العلماء والأجر على قدر التعب والنصب

“ketahuilah bahwa nyantri (menuntut ilmu) tidak terlepas dari kesulitan, sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang agung, ia lebih utama daripada berperang menurut mayoritas ulama, di mana pahala sebanding dengan tingkatan kesulitan dan ketekunan”.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

Karenanya, sangat tidak elok apabila sebagian golongan menganggap menuntut ilmu bukanlah bagian dari jihad, kata sahabat Abu Darda’ mereka itu termasuk golongan yang kurang akal dan pikirannya,

من رأى أن الغدو إلى طلب العلم ليس بجهاد فقد نقص في رأيه وعقله

“Barang siapa yang meyakini bahwa berangkat pagi untuk menuntut ilmu bukanlah bagian dari jihad, berarti akal dan pikirannya kurang”.

Dengan demikian, jihad menuntut ilmu menempati posisi yang sangat sentral dalam nomenklatur peradaban. Di era disrupsi dan pandemi, ilmu amatlah dibutuhkan, ilmu keagamaan dalam menyikapi Covid-19, ilmu kesehatan tentang vaksin misalnya, ilmu sains terkait mitigasi bencana, menjaga alam dan menemukan peradaban baru, semua itu sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan menopang kehidupan manusia. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU