BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Dalam sejarah peradaban umat manusia, sering kita temukan peristiwa peperangan. Hal ini memang sulit dipungkiri karena watak manusia yang berjiwa kompetitif dan hasrat untuk berkuasa. Padahal jika kita cermati, Kemenangan terbesar Islam justru terjadi tanpa peperangan, malainkan perdamaian. Ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah sebuah kunci kemenangan.

Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Tafsir Surat Al-Fath ayat 1-3

Kemenangan terbesar yang diraih umat Islam ini diabadikan dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3, yakni:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat”

Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Quran, mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang makna al-fath. Setidaknya ada 3 interpretasi terhadap kata al-fath. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud al-fath ialah peristiwa bai’atur ridwan. Yang kedua berpendapat bahwa yang al-fath ialah peristiwa fathu makkah, sedang yang ketiga ialah saat diadakannya perjanjian Hudaibiyyah.

Adapun as-Suyuthi dalam Durul Mantsur juga menukil beberapa riwayat yang menjelaskan arti al-fath pada ayat pertama tersebut. Namun selain ia mengutip pendapat yang sama dengan al-Qurthubi, as-Suyuthi juga mencantumkan riwayat dari Ibnu Mundzir bahwa yang dimaksud pada ayat pertama ialah peristiwa penaklukan Khaibar.

Baca juga: Perintah untuk Berdamai dalam Perspektif Al Quran

Sebab penurunan ayat

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quranul ‘Adzim, menyatakan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini ialah sewaktu Rasulullah SAW kembali dari Hudaibiyyah pada tahun ke-6 H. Sebelumnya Rasullulah SAW hendak menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh bersama para pengikutnya. Namun kaum kafir Quraisy mengira perjalanan tersebut dalam rangka penyerangan kota Makkah.

Karena itu, Kaum Quraisy mengadakan perjanjian dengan Rasulullah SAW yang kemudian dikenal dengan perjanjian Hudaibiyyah.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Perjanjian Hudaibiyyah

Perjanjian ini merupakan suatu kesepakatan yang melahirkan dampak sangat besar bagi umat Islam. Meskipun isi perjanjiannya tidak menguntungkan bagi para sahabat pada waktu itu. Dalam Tarikh Daulatul Arabiyyah, Abdul Aziz Salim menyebutkan, selain perjanjian untuk mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun, salah satu perjanjian yang dianggap merugikan umat Islam ialah;

“Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan”

Perjanjian ini sangat menyakiti perasaan para sahabat hingga sahabat Umar ra sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. namun Rasulullah SAW tetap mengikuti perjanjian tersebut dan memerintahkan kepada seluruh rombongannya untuk kembali ke Madinah. Ia juga menginstruksikan untuk menunda ibadah umrah.

Hingga di tengah perjalanan kembali ke madinah, turunlah surah al-fath ayat 1 sampai 3. Wahyu ini menjadi kabar paling menggembirakan yang diterima Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kabar tersebut menjadi pelipur lara dari gagalnya ibadah umrah dan perjanjian Hudaibiyyah yang pada saat itu merugikan sahabat. Tidak lama setelah peristiwa itu (sekitar dua tahun), umat Islam berhasil menduduki kota Makkah atau yang kita ketahui sebagai peristiwa Fathu Makkah.

Baca juga: Konsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi

Dari peristiwa tersebut sebenarnya sudah bisa kita lihat bahwa mangangkat senjata dan menumpahkan darah tidak bisa serta merta dilekatkan pada sejarah peradaban Islam. Justru harusnya, kita semakin memahami bahwa kemenagan terbesar bukan diraih melalui peperangan. Melainkan dengan perdamaian sehingga tidak ada yang perlu ditumpahkan darahnya. Wallahu a’lam []

Muhammad Anas Fakhruddin
Muhammad Anas Fakhruddin
Sarjana Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU