BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Isra’ Ayat 70: Kemuliaan Bani Adam dalam Al-Quran

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 70: Kemuliaan Bani Adam dalam Al-Quran

Manusia dengan segala pemikiran dan perilakunya merupakan sebuah subjek (sekaligus objek) yang selalu menarik untuk dikaji. Begitu halnya dalam Al-Quran, selain lafadz insan, an-nas, ins juga basyar, manusia sering disebut dengan dzurriyat Adam atau Bani Adam.

Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan material dan organik, kemudian ia menunjukan eksistensinya dalam aktivitas di kehidupan jasmaniyah. Meskipun demikian, manusia juga memiliki kesamaan dengan binatang, yakni dalam ranah kesadaran indrawi dan nafsu. Akan tetapi adanya sisi kehidupan spiritual dan intelektual, menjadikannya tetap berbeda dengan hewan. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai hayawan an-natiq (hewan yang berfikir).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Tafsir QS Al-Isra’ ayat 70: Allah memuliakan manusia

Berbagai keistimewaan yang dimiliki manusia semata-mata karena rahmat Allah yang begitu luas. Dalam Al-Quran pun disebutkan bahwa Allahlah yang memuliakan Bani Adam dan itu tertuang dalam firman-Nya yang berbunyi:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”

Dalam Mafatih al-Ghaib, ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud حَمَلْنَاهُمْ memiliki makna bahwa Allah mengangkat dan membawa manusia melewati daratan dan lautan dengan artian bahwa Allah telah menundukan keduanya untuk kebaikan manusia agar mereka bisa menikmati dan memanfaatkan potensi yang ada di daratan juga lautan.

Berbeda dengan Ibn ‘Asyur, dalam at-Tahrir wat Tanwir dijelaskan bahwa kata hamala ia artikan dengan maksud bahwa Allah telah mengilhami manusia untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daratan dan lautan. Baik dengan sumber daya yang tersedia ataupun berbagai mode transportasi yang bisa dijalankan di atas keduanya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Nabi Muhammad Saw Adalah Suri Tauladan Bagi Manusia

Pada lafad وَرَزَقْنَاهُمْ dijelaskan oleh ibn Manzur dalam lisan al-‘Arab bahwa itu merupakan suatu pemberian yang hanya datang dari Allah. Sedangkan secara wujudnya, rezki terbagi menjadi dua yakni yang dzahir (tampak) dan yang batin (abstrak) sehingga bentuk rezki tidak hanya terikat pada jasmani (kesehatan, kekuatan), namun juga pada hati dan rohani (ketenangan, pemahaman dan sebagainya).

Sedangkan الطَّيِّبَاتِ sendiri merupakan bentuk negasi dari kata al-Khabits yang bemakna suatu yang buruk, sehingga bisa diartikan dengan segala kebaikan dari kenikmatan. Baik yang diusahakan manusia secara mandiri maupun yang tanpa melalui usaha.

Adapun pada kata تَفْضِيلًا sebenarnya hampir sama dengan al-takrim yakni sama-sama kemuliaan/keutamaan yang datang dari Allah. Namun al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani mencoba membedakan dua kata tersebut. Menurutnya al-Takrim ialah suatu bentuk kemuliaan dari-Nya yang membedakan manusia dengan makhluk lain, baik kemampuan dari segi fisik dan mental.

Sedangkan al-Tafdil ialah kemuliaan yang diberikan kepada manusia berupa potensi yang diberikan guna mengelola dan mengeksplorasi anugerah yang telah diberikan Allah swt. Sederhanya, menurut al-Alusi al-takrim ialah pemberian, sedangkan al-Tafdil ialah kemampuan untuk mengelola pemberian tersebut.

Empat kemuliaan manusia

Ayat ini mengandung beberapa keistimewaan yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. untuk lebih mudahnya maka setidaknya kemuliaan itu bisa terbagi dalam empat hal

Pertama, (sungguh Kami telah muliakan bani Adam). Ini menggambarkan makna yang cukup dalam tentang kemuliaan manusia karena diawali لَقَدْ yang berfungsi sebagai penguat keyakinan. az-Zamakhsyari sendiri dalam Tafsir al-Kasyaf mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Allah memuliakan manusia dengan kemampuan khusus. Kemampuan tersebut seperti bisa membedakan perkara yang baik dan buruk, memaksimalkan panca indera, hingga mampu mengatur segala urusan dunia. Inilah kemuliaan yang tidak dimiliki makhluk lain.

Kedua, ( dan telah Kami bawa mereka di darat dan laut). Ini juga sebagai implementasi dari kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia. riwayat ibn ‘Abbas yang kemudian dikutip oleh ar-Razi mengatakan bahwa Allah membawa manusia untuk melintasi keduanya dengan ragam kendaraan. Saat di daratan, manusia bisa menggunakan kuda, unta dan sebagainya (transportasi masa sekarang). Sedangkan saat di lautan, manusia dengan potensinya bisa membuat perahu dan kapal.

Baca juga: Keseimbangan Hidup Manusia Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Qasas Ayat 77

Kalimat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Allah telah menundukan apa yang ada di darat dan laut (segala sumber daya) semata-mata untuk keperluan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Ketiga, (dan Kami rezekikan mereka dengan yang baik). Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa rezki ini bisa dalam bentuk dzahir maupun batin. Bisa dalam bentuk makanan, pakaian, kesehatan hingga ketenangan.

Keempat, (dan Kami istimewakan mereka atas kebanyakan makhluk lain). Dijelaskan bila kalimat ini seakan-akan mengulangi yang pertama, namun bagi al-Alusi, kalimat pertama menginfokan tentang kemuliaan yang diberikan Allah swt dalam berbagai sarana, sedangkan pada kalimat ini Allah menekankan pada keunggulan manusia untuk melangsungkan kehidupan dengan memanfaatkan sarana-sarana kemuliaan tersebut.

Semua kemuliaan sejatinya kembali kepada Allah

Semua kemuliaan dan keistimewaan yang telah Allah berikan kepada manusia memang sudah sejatinya kembali kepada Allah al-Karim, Dzat yang Maha Mulia. Maksudnya ialah dengan anugerah yang telah diberikan-Nya, sudah seyogianya manusia memanfaatkan karunia itu dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Adanya nikmat sehat bisa digunakan untuk menunaikan ibadah. Adanya rezki yang berlimpah selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga disedekahkan dalam rangka menjalakan perintah-Nya.

Secara keseluruhan, ayat tersebut berimplikasi pada seruan untuk senantiasa bersyukur. Mengoptimalkan segala kemuliaan dan anugerah yang telah Allah berikan dengan baik merupakan cara bersyukur yang paling utama. Seperti halnya yang disebutkan dalam Tafsir al-Maraghi bahwa pada ayat tersebut manusia diperintahkan bersyukur dan selalu mengEsakan Allah swt. Wallahu a’lam[]

Muhammad Anas Fakhruddin
Muhammad Anas Fakhruddin
Sarjana Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun,...