Sebagai Dzat yang menciptakan, memberikan ilmu, dan mengatur seluruh alam raya, tentunya Allah mengetahui segala hal yang telah dan akan terjadi di alam raya ini. Semua yang diketahui manusia, sudah pasti diketahui lebih dahulu oleh Allah swt., karena yang menciptakan tentu lebih dahulu (qadim) dari yang diciptakan. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang diketahui Allah swt., belum tentu dapat dipahami–atau sekadar diketahui–oleh makhluk-Nya.
Ketika seseorang membicarakan tentang keluasan ilmu Allah swt., tak jarang kita mendengar sebuah gambaran bahwa, luasnya ilmu Allah itu tidak akan bisa habis meskipun dituliskan dengan tinta yang kuantitasnya sebanyak seluruh lautan. Bahkan meski telah didatangkan berulang kali tinta sebanyak lautan itu, tidak akan cukup untuk menuliskan seluruh ilmu Allah Swt.
Gambaran tersebut sejatinya merupakan gambaran yang diberikan oleh Allah sendiri, yang terdokumentasikan dalam Q.S. Al-Kahfi [18] ayat 109. Berikut adalah kutipan ayat yang dimaksud keluasan ilmu Allah swt;
قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادࣰا لِّكَلِمَـٰتِ رَبِّی لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـٰتُ رَبِّی وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدࣰا
Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” [Surat Al-Kahfi (18): 109]
Baca juga: Alasan Penting Harus Ada yang Memperdalam Ilmu Agama Menurut Al Quran
Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang menganggap bahwa mereka telah mendapatkan ilmu yang sangat banyak dengan sampainya kitab Taurat kepada mereka. Disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, awalnya ialah ketika orang-orang Yahudi mendengar Q.S. Al-Isra’ [17] ayat 85, yang artinya: “Sedangkan kalian diberi pengetahuan hanya sedikit.”
Tatkala mereka mendengar ayat yang menyebutkan bahwa ilmu mereka masih sedikit, salah seorang dari kaum Yahudi menjawab, “Kami telah mendapatkan ilmu yang sangat banyak, yaitu dengan diberikannya kitab Taurat kepada kami. Dan barang siapa telah diberi kitab Taurat, maka ia telah mendapatkan banyak kebaikan.” Setelah itu diturunkanlah surat Al-Kahfi ayat 109, sebagai penegasan bahwa ilmu yang mereka peroleh masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan ilmu yang Allah miliki.
Syekh Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib memberikan penjelasan bahwa, memang benar jika dikatakan dalam kitab Taurat terdapat hikmah yang sangat banyak. Akan tetapi hikmah yang sangat banyak itu pun masih belum sebanding dengan ilmu Allah Swt. Sehingga hikmah di dalamnya seakan hanya setetes dari keseluruhan samudera ilmu yang dimiliki Allah swt.
Setelah mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tidakkah kita bertanya-tanya tentang maksud “kalimatu rabbi” atau “kalimat Allah” dalam ayat tersebut? Karena ayat-ayat Allah ini sangat luas, baik mencakup ayat qauliyah juga ayat kauniyah. Terkait hal ini, Syekh Ibnu ‘Asyur telah menjelaskannya dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
Baca juga: Keutamaan Ilmu Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Mujadilah [58] Ayat 11
Menurut beliau, kalimat Allah yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu Allah swt. Baik yang telah diwahyukan Allah kepada para utusan-Nya dan untuk disampaikan kepada umatnya, maupun yang tidak disampaikan. Karena Allah mampu memberikan seluruh pengetahuan (ilmu), maka yang diberikan itu menjadi sesuatu yang mungkin diketahui (ma’lum). Kemudian setelah diketahui, ilmu tersebut disebut sebagai kalimat.
Dalam benak manusia, air laut laut merupakan gambaran dari sesuatu yang sangat banyak. Sesuatu yang sangat banyak itu ialah wujud dari keagungan pemiliknya, yaitu Allah swt. Akan tetapi sekali pun lautan dikatakan sangat banyak, tentu belum seberapa jika dibandingkan dengan ilmu Allah.
Bagaimana bisa dianggap belum seberapa? Karena air di seluruh lautan itu bisa habis, bahkan meskipun didatangkan lagi, sedangkan ilmu Allah tidak ada habisnya. Penjelasan lebih dalam terkait hal ini dapat dirujuk dalam Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya Imam al-Baidhawi, maupun Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Syekh Fakhruddin ar-Razi. Wallahu A’lam.