BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiRagam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan...

Ragam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan Pendidikan

Lafaz rabb (رَبّ) dalam Q.S. al-Fatihah(1): 2 menjadi salah satu term pembahasan utama dalam kajian Tafsir Tarbawi. Kata rabb (رَبّ) sangat erat hubungannya dengan istilah tarbiyyah apabila dirunut dengan menggunakan pendekatan ilmu Sharf. Alasan mendasar inilah yang menjadikan kajian atas Q.S. al-Fatihah ayat 2 menjadi salah satu kajian yang tidak bisa dilepaskan dari Tafsir Tarbawi.

Maka melihat ragam penafsiran Surah al-Fatihah ayat 2 oleh para mufasir secara umum maupun mufasir yang concern di bidang Tafsir Tarbawi akan menjadi suatu kajian yang menarik. Sebab selain menyimak pemaknaan para mufassir terkait kata rabb (رَبّ) serta implikasinya terhadap makna Tuhan sebagai rabb al-‘alamin, pembaca juga dapat melihat hubungan ayat tersebut dalam upaya memperluas wacana Tafsir Tarbawi.

Rabb (رَبّ): Satu Kata Ragam Makna

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam

Penafsiran atas ayat ini dibuka dengan penafsiran dari Ibn Abbas—seorang mufasir kenamaan di era Sahabat yang mendapat doa khusus dari Nabi Saw. Ia menjelaskan frasa rabb al-‘alamin lebih pada orientasi Tauhid sebagaimana penjelasannya berikut ini,

رب كل ذي روح دب على وجه الأرض ومن أهل السماء ويقال سيد الجن والإنس ويقال خالق الخلق ورزاقهم ومحولهم منحال إلى حال

Rabb al-‘alamin bermakna Rabb segala sesuatu yang memiliki ruh yang berjalan di muka bumi ini serta penduduk langit. Rabb al-‘alamin juga disebut sebagai sayyid al-jin wa al-ins serta khaliq al-khalq, pemberi rizki semuanya dan mengatur keadaan mereka dari satu keadaan ke keadaan yang lain”.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

Penafsiran Ibn Abbas tidak memiliki tendensi untuk mengorientasikan penafsiran rabb dengan tarbiyah. Ia lebih condong memperluas makna rabb dalam konteks kalimat rabb al-‘alamin dalam ranah Tauhid. Hal ini juga diikuti oleh Ibn Katsir yang menambahkan keterangan bahwa lafadz rabb hanya boleh dipakai untuk/oleh Allah Swt. saja.

Lain halnya dengan al-Baidhawi yang dalam karya tafsirnya memberikan orientasi baru atas makna rabb. Berikut ini penafsirannya,

الرب في الأصل مصدر بمعنى التربية وهي تبليغ الشيئ إلى كماله شيئا فشيئا

Rabb merupakan bentuk masdar yang bermakna tarbiyyah (pendidikan, pemeliharaan, dll) yaitu sebuah aktivitas mengantarkan sesuatu kepada bentuk sempurnanya secara step by step”.

Penjelasan al-Baidhawi ini diikuti oleh al-Zamakhsyari serta Ibn ‘Ajibah yang semuanya berangkat dari menyepadankan makna rabb dan tarbiyah. Orientasi makna tarbawi juga dapat dilihat dalam pendapat al-Sa’di serta Quraish Shihab yang menafsirkan rabb dengan menyepadankan maknanya dengan bentuk pelaku (isim fa’il)—murabbi—yang bermakna pendidik atau pemelihara.

Para mufassir yang telah disebutkan penafsirannya tersebut merupakan mufassir yang tidak concern dalam ranah Tafsir Tarbawi. Namun dalam redaksi penafsirannya, sebagian mufasir belum memperlihatkan keterkaitan rabb dengan aktivitas tarbiyyah  dan sebagian lainnya sudah.

Jika dianalisa, maka ragam penafsiran tersebut didapati dari metode penafsiran yang diaplikasikan oleh masing-masing mufassir. Di mana mufassir yang tidak memperhatikan aspek semantik dari kata rabb cenderung mengorientasikan penafsirannya dalam ranah Tauhid, sedangkan yang mencoba mengolah sisi semantik dari kata rabb akan terlihat memberikan nuansa tarbawi dalam penafsirannya.

Lalu bagaimana dengan mufassir yang concern dalam ranah Tafsir Tarbawi? Dari mana mereka berangkat dalam penafsirannya sehingga mampu memberi nuansa tarbawi dalam penafsirannya? Simak penafsiran beberapa mufassir tarbawi kenamaan Indonesia berikut ini.

Dalam diskursus ini, nama Abuddin Nata dengan karyanya Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan mungkin menjadi salah satu referensi otoritatif sejauh ini. Dengan karyanya tersebut—yang booming di tahun 2002, ia berhasil memberikan wacana baru bagi ranah kajian tafsir.

Nata menafsirkan Q.S. al-Fatihah(1): 2 dengan murni berangkat dari horisonnya sebagai pendidik. Ia memaknai kata rabb (رَبّ) sebagai pemilik yang mendidik yaitu subjek yang mempengaruhi objek yang didiknya dan memikirkan keadaannya. Dari definisi tersebut, Nata membagi pendidikan yang dilakukan oleh Allah menjadi dua macam model.

Pertama, Allah melakukan pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisik makhluknya yang terlihat pada pengembangan jasad atau fisik sehingga mencapai kedewasaan. Kedua, pendidikan terhadap potensi kejiwaaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia sehingga dengan itu semua manusia dapat mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.

Penafsiran Abuddin Nata tersebut dalam hemat analisa penulis setidaknya memberikan tiga poin yang menarik: 1) Nata memaknai kata rabb (رَبّ) sebagai “pemilik yang mendidik” yang terkesan mengkompromikan pendapat yang berorientasi tauhid dan tarbawi; 2) Nata mengembangkan makna rabb al-‘alamin ke dalam dua orientasi tarbiyyah atau pendidikan, pemeliharaan atau pembinaan yaitu jasmani dan rohani; 3) penafsiran Nata berpotensi untuk dikontekstualisasikan sebagai sebuah sistem pendidikan ideal saat ini.

Jika membandingkan ragam penafsiran para mufassir umum dan mufassir tarbawi, maka akan dijumpai perbedaan yang cukup mencolok. Sebab mufassir umum tidak berupaya untuk mengembangkan nuansa tarbawi dan bahkan ada yang tidak memberikan atensi pada orientasi tarbawi, sedangkan mufassir tarbawi akan berupaya mengembangkan makna dalam upaya memperluas wacana Tafsir Tarbawi.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Maka kesimpulan yang dapat diambil dan perlu dipahami bahwa setiap mufassir selalu berangkat dari sebuah kepentingan. Hassan Hanafi dalam karyanya Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development mengemukakan pendapat risetnya bahwa,

“Setiap penafsiran, baik yang menggunakan pendekatan riwayat (bil ma’tsur) maupun rasional (bil ra’yi) selalu berangkar dari kepentingan. Tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif, absolut dan universal”.

Penekanan atas pemahaman ini diperlukan untuk memberikan sebuah underlined point bahwa keragaman dalam penafsiran adalah hal lumrah. Hal ini penulis rumuskan dengan kaidah: li kull mufassir ra’y, wa li kull ra’yih manahijuh (setiap mufassir memiliki pemikirannya masing-masing dan setiap pemikirannya memiliki metode-metode tersendiri). Wallahu a’lam bish shawab.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU