BerandaUlumul QuranKolom PakarTafsir Tartib Nuzul: Bayan al-Ma’ani Karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy

Tafsir Tartib Nuzul: Bayan al-Ma’ani Karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy

Tafsir tartib nuzul adalah tafsir yang disajikan tidak dengan mengikuti urutan surat dalam mushaf melainkan sesuai dengan urutan—yang diyakini penulisnya berdasar sumber-sumber riwayat—kronologis turunnya surat. Singkatnya, tafsir ini mengikuti tartib nuzul bukan tartib mushaf.

Saya menemukan sekurangnya empat tafsir model ini, yaitu Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy (Irak: 1880-1978), Al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah (Suriah: 1887-1984), Ma’arij al-Tafakkur karya Abdurrahman Hasan Habanka al-Maidani (Suriah: 1927-2004), dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya Muhammad ‘Abid al-Jabiri (Maroko: 1935-2010). Selain empat tafsir ini, jika ada yang menemukannya, silakan tambahkan. Dengan hati senang saya akan “memburu”-nya.

Dari kalangan orientalis, Régis Blachère (1900-1973) pada tahun 1950 menerjemahkan al-Qur`an ke bahasa Perancis lalu menyusun terjemahannya itu berdasar tartib nuzul. Tartib nuzul yang dijadikan pegangan Blachère adalah tartib nuzul rumusan Theodor Nöldeke. Tetapi tujuh tahun kemudian Blachère melihat-ulang terjemahannya itu lalu menyusunnya kembali berdasar tartib mushaf.

Baca Juga: Alquran, Kalam Allah, dan Perkataan Nabi (Bagian I)

Artikel ini dan beberapa artikel ke depan akan membincang empat tafsir berdasar tartib nuzul tersebut. Kita mulai dari yang penulisnya paling senior secara tahun kelahiran, yakni Bayan al-Ma’ani. Sang Penulis, Abdul Qadir Mulla Huwaisy, memulai tafsirnya dengan “Khuthbah al-Kitab”. Pada bagian ini Huwaisy antara lain mengatakan bahwa al-Qur`an memang dibukukan dan disusun surat-surat serta ayat-ayatnya dalam mushaf seperti yang ada di tangan kita hari ini sesuai dengan “keinginan” Allah atas perintah Rasul-Nya serta petunjuk dari malaikat Jibril.

Ketika para sahabat bermusyawarah untuk menyalin al-Qur`an dalam format tersebut, Imam Ali mengusulkan ayat-ayat dan surat-suratnya disusun berdasar tartib nuzul. Tentu saja usul ini bukan lantaran Imam Ali menganggap kesepakatan mereka keliru, bukan pula karena beliau tidak tahu bahwa kesepakatan itu bersifat tauqifi yang tidak berlaku ijtihad di dalamnya, melainkan beliau ingin khalayak umum tahu sejarah turunnya al-Qur`an; tempat-tempatnya, waktu-waktunya, cara-cara diturunkannya, sebab-sebabnya, aneka peristiwa dan kejadian yang mengelilinginya, mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, mana yang umum dan mana yang khusus, mana yang muthlaq dan mana yang muqayyad, serta mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Imam Ali ingin khalayak umum tahu tentang semua itu sejak awal tanpa harus melakukan penelitian atau bertanya pada ahlinya (jilid 1: 3). Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, mushaf (koleksi pribadi) Imam Ali memang disusun berdasar tartib nuzul.

Khalifah Utsman ra. dan para sahabat tidak mengambil usul Imam Ali karena surat-surat dan ayat-ayat memang sudah tersusun dan terkumpulkan seperti susunan yang kita baca di mushaf-mushaf sekarang ini. Dan, seperti telah dikatakan, susunan itu bersifat tauqifi, bukan taufiqi (ijtihadi). Namun demikian, Huwaisy menegaskan bahwa menafsirkan al-Qur`an dengan mengikuti urutan nuzul seperti usulan Imam Ali, akan banyak faidah dan manfaatnya. Harus dibedakan antara tartib nuzul dan tilawah (bacaan). Yang pertama adalah kronologis historis urutan turun surat, sedang yang kedua membaca teks yang sudah disusun tidak berdasar kronologis historis melainkan atas sebuah petunjuk yang bersifat tauqifi.

Dalam tafsir konvensional, sebut saja demikian untuk membedakannya dari tafsir tartib nuzul, para mufasir harus sedemikian rupa menunjukkan sabab-sabab nuzul secara berulang-ulang, sebab antara urutannya dalam mushaf dan urutannya secara nuzul terdapat jarak yang mengharuskan para mufassir mengulangnya, dan hal ini menjadikan tafsir mereka tebal. Ini, kata Huwaisy, merupakan salah satu pemicu perbedaan pendapat seputar sabab nuzul dan nasikh-mansukh serta sejauh mana keduanya dapat dipedomani atau ditinggalkan dalam kerja tafsir.

Menurut pengakuan Huwaisy, waktu itu belum ada satu pun mufasir yang berani menyajikan tafsirnya mengikuti tartib nuzul seperti yang pernah diusulkan Imam Ali. Padahal tafsir model tartib nuzuli, diyakini Huwaisy, dapat “menyelamatkan” para pembaca dari hiruk-pikuk perbedaan pendapat seputar sabab nuzul, mengenalkan mereka tata-cara nuzul, menunjukkan mereka sebab-sebab nuzulnya, dan menawarkan kelezatan makna-makna ayat dalam narasi yang singkat namun padat. Semua itu, yakin Huwaisy, dikemas dalam format yang mudah, ringan, singkat, sepi dari perdebatan, lebih aman dari kekeliruan dan kesalahan.

Dengan “lantang” Huwaisy berkata, “Biar saya yang akan melakukan hal itu (tafsir tartib nuzul). Secara syarak tidak ada penghalang untuk tujuan itu. Dengan melakukannya, saya melihat diri sendiri sebagai seorang pengikut (saran Imam Ali), bukan seorang penyimpang. Saya berharap, apa yang saya lakukan ini menjadi sunnah hasanah. Saya bulatkan tekad seraya tawakal kepada Allah Zat Yang tidak pernah menyia-nyiakan orang yang berharap pada-Nya. Sepenuhnya berangkat dari jiwa terdalam dan niat tersuci, saya akan mengerjakan tafsir dengan model tersebut. Saya melihat tafsir tersebut mengandung banyak faidah yang besar yang dapat menenangkan hati pembaca, insyaallah. Di dalamnya saya akan menjelaskan surat yang pertama turun sampai ayat tertentu, lalu kapan lanjutan dari surat tersebut turun kembali, sebab turunnya, lamanya turun, surat yang turun setelahnya, konteks sejarah setiap surat, tempat turunnya, waktu turunnya, kisah-kisahnya, berita-beritanya, perumpamaan-perumpamaannya, hukum-hukum yang dikandungnya, ayat-ayat yang diulang, sebab pengulangannya, ayat-ayat yang serupa dalam hal kata-kata dan makna…” (jilid 1: 3-4).

Huwaisy juga menambahkan hadis dan riwayat serta pepatah-pepatah yang memiliki korelasi dengan ayat sehingga dapat digunakan oleh para penceramah agama tanpa harus membuka banyak buku. Huwaisy membagi tafsirnya menjadi tiga juz. Dua juz pertama berisi surat-surat makiyah, satu juz terakhir berisi surat-surat madaniyah.

Baca Juga: Tafsir, Kerja Penafsiran dan Dua Kerja Utama Seorang Penafsir

Setelah “Khuthbah al-Kitab”, sebelum benar-benar memulai tafsirnya, Huwaisy terlebih dahulu memberi “Muqaddimah” yang berisi 12 mathlab (topik) terkait tafsir dan ulum al-Qur`an. 12 topik itu: 1) Dasar-dasar tafsir; 2) yang dibutuhkan oleh mufasir; 3) kebutuhan akan tafsir; 4) tipologi mufasir; 5) tafsir dan takwil; 6) keutamaan al-Qur`an dan menghafalnya; 7) metode al-Qur`an dalam menetapkan hukum, tujuan-tujuan luhur al-Qur`an, dan karakteristik masing-masing dari makiyah dan madaniyahnya; 8) Nuzul al-Qur`an, tata caranya, serta urutan surat dan ayat-ayatnya; 9) pengumpulan al-Qur`an, penyalinan dan susunannya yang bersifat tauqifi; 10) nasikh-mansukh, qira’at dan makna sab’ah ahruf; 11) apakah al-Qur`an makhluk serta bagaimana hubungannya dengan kitab-kitab samawi lainnya, dan 12) tentang wahyu, cara turunnya, dan makna mimpi yang benar (dalam proses wahyu).

Seperti terlihat, 12 topik ini hampir seluruhnya merupakan topik-topik dalam Mata Kuliah Ulum al-Qur`an di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Maka, para pengampu Mata Kuliah Ulum al-Qur`an ada baiknya menjadikan tafsir Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy ini sebagai salah satu rujukan dalam mengajar.

Abad Badruzaman
Abad Badruzaman
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU