Pertentangan merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan sosial ketika ada pihak yang membawa unsur-unsur yang berbeda dengan budaya lama. Di Jazirah Arab konon pertentangan muncul saat Nabi Muhammad menyampaikan risalahnya kepada kaum kafir Quraisy.
Peristiwa kontravensi tersebut juga tercatat di beberapa ayat Alquran, yang oleh para ulama disebut sebagai ayat-ayat tahaddī (tantangan) sebagai bagian dari i’jāz al-Qur’ān (mukjizat Alquran). Misalnya disebutkan dalam Q.S. Almuddatstsir [74]: 11-25;
“Biarkanlah aku bertindak terhadap orang yang aku telah menciptakannya sendirian (11) Dan aku jadikan baginya harta benda yang banyak, (12) dan anak-anak yang selalu bersama Dia, (13) dan Ku lapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya, (14) kemudian Dia ingin sekali supaya aku menambahnya. (15) sekali-kali tidak (akan aku tambah), karena Sesungguhnya Dia menentang ayat-ayat Kami (Alquran). (16) aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. (17) Sesungguhnya Dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), (18) Maka celakalah dia! bagaimana Dia menetapkan?, (19) kemudian celakalah dia! Bagaimanakah Dia menetapkan?, (20) kemudian Dia memikirkan, (21) sesudah itu Dia bermasam muka dan merengut, (22) kemudian Dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, (23) lalu Dia berkata: “(Alquran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), (24) ini tidak lain hanyalah Perkataan manusia”
Al-Suyūṭī dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menjelaskan sebab turunya ayat di atas;
“Suatu hari al-Mughirah menyiapkan jamuan makan untuk para pembesar Quraisy. Ketika mereka tengah menikmati hidangan, al-Mughirah bertanya: Nama atau gelar apa yang pantas kita sebutkan untuk Muhammad? Salah seorang di antara mereka menyahut: Kita sebut dia ahli sihir! Sementara yang lain berkomentar: Muhammad bukanlah ahli sihir, dia seorang paranormal (kahin). Salah seorang di antara mereka lalu mengusulkan untuk menamai sang rasul sebagai orang gila, sementara ada usulan juga untuk menyebutnya seorang penyair. Muhammad bukanlah sang paranormal, karena mantra-mantra paranormal – sajak maupun iramanya – berbeda dengan apa yang diucapkan dan dibacakan Muhammad, sahut al-Mughirah. Walid berkata: Demi Tuhan, kata-kata Muhammad memiliki kerendahan, sajak-sajaknya amat puitis dan sarat makna! Walid pun menegaskan bahwa semua gelar yang telah disebutkan mengenai Muhammad tidak ada yang tepat. Kemudian dia mengusulkan agar tetap menyebut Muhammad sebagai tukang sihir. Hal ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan Muhammad bisa diimbangi kalangan mereka.”
Penelitian mengenai ayat-ayat tahaddī telah banyak dilakukan, baik oleh sarjana muslim maupun non muslim. Salah satu penelitian menarik mengenai hal ini dilakukan oleh Matthias Radscheit dalam karyanya yang berjudul Die koranische Herausforderung: die taḥaddī-Verse im Rahmen der Polemikpassagen des Korans (1996).
Radscheit mengkonsentrasikan tulisannya pada jawaban pertanyaan mengenai asal-usul makna ayat-ayat tahaddī. Dia mengelompokkan ayat-ayat tahaddi tersebut dalam enam kelompok yang terlibat, yakni: orang-orang musyrik, orang-orang munafik, kalangan Kristiani, Yahudi, Ahli Kitab, dan orang-orang kafir.
Baca juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Alquran
Pembelaan Nabi dan Tantangan Alquran
Pada masa-masa awal penyampaian risalah Nabi Muhammad, beliau dituduh oleh orang kafir Quraisy sebagai orang gila. Hal ini tercermin dalam Q.S. Alqalam: 1-6:
“Nūn, demi kalam dan apa yang mereka tulis, (1) berkat nikmat Tuhanmu kamu (Nabi Muhammad) bukanlah orang gila. (2) Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. (3) Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (4) Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat, (5) siapa di antara kamu yang gila (6)”
Pernyataan Alquran mengenai kalimat, “Engkau bukanlah orang gila” merupakan bantahan terhadap tuduhan ataupun “serangan” orang yang tidak beriman yang menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila dan risalah yang disebarkannya (Alquran) hanyalah cerita-cerita dahulu kala. Hal yang sama juga terdapat dalam Q.S. 68: 51; 15: 6; 37: 36; dan 44: 14.
Proses islamisasi yang dilakukan Nabi Muhammad penuh dengan tantangan yang bercampur dengan ejekan dan hinaan. Ketika proses awal dilakukan Nabi secara terang-terangan terhadap kafir Quraisy, Nabi mendapat serangan tajam berupa celaan dan pengingkaran kebenaran kalam Tuhan.
Allah pun tidak tinggal diam dalam menjawab serangan tersebut. Ketika jawaban tersebut dilontarkan oleh Nabi, orang kafir Quraisy tetap menolak kebenaran risalah yang dibawanya. Hingga Alquran menantang mereka untuk membuat semisalnya.
Tantangan Alquran untuk membuat semisalnya tidak hanya ditujukan pada kafir Quraisy, melainkan juga semua makhluk, termasuk jin. Dalam kitab al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān karya ‘Āli al-Ṣābūnī, beliau membagi tantangan tersebut menjadi dua, yakni al-Tahaddi al-‘Ām dan al-Tahaddi al-Khaṣ.
Tantangan Alquran yang bersifat ‘amm (umum) ditujukan pada seluruh manusia dan jin, hal ini tertera pada Q.S. Alisra’ ayat 88:
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
Sedangkan untuk tantangan yang bersifat khusus ditujukan kepada orang kafir Quraisy, seperti tantangan membuat semisal Alquran sepuluh surah saja;
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surah-surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Q.S. Hud: 13.
Wallahu a’lam.
Baca juga: Surah Alan‘am 107-108: Pentingnya Etika Dakwah bagi Pendakwah