BerandaKhazanah Al-QuranTantangan pembelajaran Al-Quran Masa Kini Menurut M. Quraish Shihab

Tantangan pembelajaran Al-Quran Masa Kini Menurut M. Quraish Shihab

Di era modern, tantangan pembelajaran Al-Quran kian beraneka ragam. Tantangan itu, menurut Quraish Shihab, menyangkut pemahaman seseorang tentang Al-Quran dan menyangkut cara kita mengajarkan Al-Quran kepada masyarakat. Memang, Allah menghendaki perbedaan pemahaman dalam cara kita menafsirkan Al-Quran. Sudah banyak beratus-ratus dan berjilid-jilid kitab tafsir dan turunannya yang mengulas atau mengkaji Al-Quran sebagai pedoman umat Islam dalam beragama.

Akan tetapi, penafsiran Al-Quran tidaklah stagnan melainkan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena Perubahan adalah keniscayaan alam semesta. Hal tersebut senada dengan sebuah ungkapan yang menyebutkan, seperti yang dikutip Quraish Shihab dan Husein Muhammad, “al-‘alam mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadits, yuntij al-‘alamu hadits” (alam semesta adalah eksistensi yang berubah, setiap yang berubah adalah baru, alam adalah baru. Dan kata ‘alam bermakna segala selain Tuhan).

Kaidah di atas membuktikan bahwa sebenarnya ada wujud Tuhan yang melalui hukum-hukumnya (sunnatullah) terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat bahkan dalam segala wujud. Tidak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri, yang tidak berubah adalah Yang Abadi, demikian kata Quraish Shihab dalam Youtube Quraish Shihab.

Kata al-‘abad dalam bahasa Al-Quran, menurut Shihab, adalah yang tidak berpemulaan dan tidak berakhir. Selainnya itu, berpemulaan dan juga berakhir, apapun dan siapapun dia pasti mengalami fase tersebut. Yang tidak berubah adalah kalamullah (firman Allah), akan tetapi penafsirannya selalu berubah dan berkembang seiring peradaban manusia. Karena itu, Al-Quran selalu memerintahkan kepada setiap orang untuk memikirkan dan mempelajari Al-Quran sebagai bagian daripada memahami ajaran Islam itu sendiri.

Kitab tafsir yang terus kita kaji sekarang, lanjut Shihab, pun tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu yang mengitarinya. Andai kata, mereka para mufassir tersebut hidup di masa kini tentu akan melakukan reupgrading agar kandungan Al-Quran senantiasa kontekstual bagi kehidupan manusia. Hingga Abbas al-‘Aqaid menulis, “seandainya sahabat nabi hidup pada masa sekarang atau berlanjut kehidupannya hingga masa kini, maka pasti pendapat-pendapatnya yang lama akan diubahnya sesuai dengan konteks perkembangan zaman”.

Persoalannya adalah bagaimana cara kita mengarifi sekian banyak pemahaman atas Al-Quran? Zaki Najib Mahmud yang dikutip Quraish Shihab dalam bukunya, Wawasan Al-Quran, menyatakan bahwa sekarang ini kita menghadapi pemikiran yang baru dan dikemukakan oleh orang yang baru. Ia menggarisbawahi setidaknya ada beberapa kategori menyikapi sekian pemahaman, yaitu ada yang baru tetapi sudah dikembangkan oleh orang yang lama sehingga penafsiran tersebut tetap relevan sampai sekarang. Dan ada yang lama dan masih dikemukakan saat ini, serta ingin dipertahankan sampai saat ini.

Dalam hal ini, Quraish Shihab menegaskan kita tidak ingin mengubah teks-teks Al-Quran tetapi kita berkewajiban mengubah penafsirannya sesuaai dengan perkembangan masa kini tanpa melanggar ketentuan-ketentuan agama. Di sinilah letak kesulitannya, kata Shihab. Bagaimana kita bisa memajukan/ menawarkan penafsiran yang baru yang menurut pandangan kita tidak melenceng dari garis-garis Al-Quran di satu sisi, namun kita ingin memelihara turats, apa yg dihasilkan oleh ulama-ulama kita masa lalu dengan melakukan penyeleksian di sisi yang lain. Shihab memberi batasan, kalau itu baik dan bahkan lebih baik, maka ambillah. Tetapi kalau tidak, berlaku kaidah “al-muhafadzah ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil aslah” (melestarikan sesuatu yang lama dan mengadopsi sesuatu yang baru yang lebih baik).

Setidaknya ada empat prinsip dalam konteks mempelajari Al-Quran menurut Quraish Shihab, yaitu Pertama, kita harus sadar bahwa tidak boleh ada suatu penafsiran yang bertentangan dengan ushuluddin (dasar pokok agama Islam). Kedua, tidak boleh ada penafsiran yang bertentangan dengan bahasa yang digunakan pada masa turunnya Al-Quran serta tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati.

Quraish Shihab mencontohkan kata sayyarah. Sayyarah artinya mobil, namun kata ini tidak digunakan untuk makna mobil oleh Al-Quran. Kalau seseorang menggunakan makna tersebut dalam penafsiran Al-Quran, maka kita tolak. Sebab, ada kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati, misalnya ada yang dinamai muannas majazi. Muannas majazi ada yang menafsirkan bahwa yang lebih dulu diciptakan Tuhan adalah perempuan dengan merujuk pada Q.S. An-Nisa [4]: 1.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 1)

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa tidak diciptakan melalui proses evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus seorang diri, lalu diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan secara sains. Selanjutnya, barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya.

Contoh lain dari muannas majazi adalah wahidatin (وَّاحِدَةٍ). Jadi kalau begitu, dia diciptakan dari perempuan dulu karena wa khalaqa minha zaujaha itu zauj, laki-laki. Tentu hal itu bertentangan dengan kaidah kebahasan. Selain itu, menurut Shihab, ada kata-kata di dalam Al-Quran yang bisa mengandung dua makna, yaitu ada makna yang memang berbeda dan yang bisa digabung keduanya. Jika ada makna yang bisa digabung itu dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaaan, maka diperbolehkan. Lain halnya dengan makna yang memang tidak bisa digabung dan dua-duanya dibenarkan secara kaidah kebahasaan, maka kita diperbolehkan memilih, tapi jangan mempersalahkan yang lain sebab ia tetap sesuai dengan kaidah kebahasaan.

Ambil contoh Surat Al-Baqarah ayat 282,

وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ

Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)

Dalam hal ini, kita fokus pada redaksi wa la yudharra katibun wala syahid. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memaknai dengan dua makna; janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Kedua makna ini menurut kaidah kebahasaan dibenarkan karena yudharra asal katanya adalah bisa yudharrir dan yudharrar. Kalau kita baca yudharrir katibun, maka menjadi fa’il (subjek) yang berarti janganlah seorang penulis atau saksi merugikan mereka yang bertransaksi, atau melakukan hutang-piutang. Di sini larangan tertuju pada notaris, penulis dan saksi-saksi.

Namun, jika kita baca yudharrar katibun, maka ia menjadi naibul fa’il, yang bermakna janganlah yang melakukan transaksi memberi mudharrat kepada penulis/ saksi. Dalam hal ini, makna kedua-duanya bisa diterima, dan kita tidak perlu bertengkar soal itu, begitu kata Quraish Shihab. Menurutnya, sebagian problematika kita sekarang adalah menolak penafsiran yang masih bisa diterima karena dia hanya memahami satu penafsiran.

Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa sebenarnya dalam konteks pembelajaran tafsir, kita harus lebih menekankan pada pengajaran tentang kaidah-kaidah tafsir daripada berkutat pada pengajaran tentang kandungan tafsir sebab kandungan tafsir bisa berubah dan bisa jadi sudah out of date di masa sekarang. Tidak hanya menukil yang lama, namun bisa mengajukan penafsiran yang baru dengan tetap tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan dan kebutuhan masa kini.

Salah satu yang ditekankan dalam pembelajaran Al-Quran adalah at-tadabur at-tilawah, berusaha memahami, membaca dan mengikutinya dengan pengamalan, itulah makna tilawan. Menurut Shihab, qiraah itu hanya membaca, artinya dari satu teks ke teks yang lain maupun tanpa teks. Tetapi, kalau dibarengi dengan pengamalan, utlu ma uhiya ilaika min rabbik, itu jauh lebih baik. Dalam konteks ini, akhlak harus mencerminkan tuntunan Al-Quran. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU