Sebagai uswah hasanah, sosok Baginda Nabi tidak hanya menjadi teladan dalam beribadah dan berinteraksi dengan masyarakat. Beliau juga contoh terbaik untuk umat manusia dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Bagi beliau, kemuliaan martabat seseorang dinilai dari bagaimana tindak tanduknya terhadap pasangan. Dalam suatu hadis riwayat Ibnu ‘Abbas ra. tertera:
خَيْرُكُم خَيرُكم لِأهلِهِ وأنا خَيرُكم لأهلي
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah yang paling baik terhadap pasangan. Dan aku yang terbaik terhadap pasangan di antara kalian.” (Sunan Ibn Majah, 636)
Melalui hadis tersebut, Rasulullah juga menuntun umatnya sekaligus mencontohkan dalam kehidupan rumah tangganya sendiri untuk berperilaku baik dengan pasangan. Di tengah budaya dan tradisi amoral dalam tatanan keluarga masyarakat Jahiliyah, sikap yang diajarkan Nabi menjadi cara untuk merekonstruksi tatanan tersebut.
Setia
Kesetiaan Rasulullah terhadap istrinya dibuktikan oleh mahligai pernikahan yang beliau arungi bersama Sayyidah Khadijah ra. Betapa kuat komitmen Baginda Nabi, bahkan seusai ditinggal wafat istri tercinta. Dikisahkan dalam Sirah Nabawiyyah, hari-hari setelah ditinggal Khadijah menjadi titik nadir kehidupan Nabi, karena selain ditinggal sosok pendukung utama dalam segala kiprah Nabi, di tahun yang sama beliau juga kehilangan sosok pelindung dalam hidupnya, yaitu Ali bin Abi Thalib. Tahun itu disebut dengan ‘am al-huzni (tahun duka cita dalam hidup Nabi), terjadi selang tiga tahun sebelum peristiwa hijrah. Belasan tahun Rasulullah hidup menduda di tengah teror suku Quraish yang datang silih berganti. (Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam, 165-166).
Lalu, bagaimana dengan praktik poligami Rasulullah? Tentu persoalan ini harus didudukkan dalam konteks relasi rumah tangga setempat. Begitu pula, perlu ditelusuri motif yang melatari Nabi melakukannya. Keputusan untuk memiliki banyak istri hanya karena dorongan nafsu atau sebagai simbol kehormatan sama sekali tidak pantas datang dari diri Nabi saw.
Poligami sudah menjadi tradisi masyarakat di berbagai belahan dunia jauh sebelum Islam datang, termasuk jazirah Arab. Menurut para mufasir, kaum Jahiliah biasa menikah bahkan sampai dengan raturan perempuan. Di era dakwah nabi-nabi terdahulu pun poligami juga dipraktikkan, bahkan hingga ribuan istri. Quraish Shihab menyebutkan nabi yang berpoligami dengan jumlah istri banyak antara lain Nabi Daud as., yang memiliki 100 istri dan Nabi Sulaiman as., yang memiliki 1000 wanita. (al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran; Quraish Shihab, Islam yang Disalahpahami, 36-37)
Baca juga: Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami
Di sisi lain, latar belakang Nabi berpoligami bukanlah atas dasar keingingan subjektif. Motif beliau untuk memutuskan menikah lagi selalu berupa kepentingan bersama, meliputi kesejahteraan anak yatim dan janda (seperti dalam pernikahan dengan Ummu Salamah ra.), menghindari riddah secara paksa (seperti dalam pernikahan dengan Saudah ra.), dan kepentingan lain yang bersifat darurat. Kesejahteraan janda dinilai sebagai hal serius tak lain lantaran mayoritas perempuan belum berdaya waktu itu, sehingga ketika ditinggal wali atau suami, perempuan tidak memiliki sumber perlindungan dan finansial yang mumpuni.
Dengan demikian, kesetiaan Nabi tidak dapat dibenturkan dengan poligami yang beliau praktikkan dan merupakan kekhususan baginya. Beliau sosok suami setia. Andai tidak, tidaklah mungkin beliau menduda sedemikian lamanya, padahal usia beliau masih muda. Apalagi beliau dikenal sebagai sosok berparas rupawan, seorang Nabi, pemimpin, manusia paling mulia.
Lemah lembut
Rasulullah selalu melandasi interaksi dengan istri dengan kasih sayang. Beliau tidak pernah melakukan tindak kekerasan, sekalipun saat hubungan keluarga sedang tidak harmonis. Sikap lemah lebut saat menghadapi konflik rumah tangga antara lain dinarasikan dalam suatu hadis riwayat Nu’man bin Basyir.
Suatu ketika, saat Abu Bakar ra. Berkunjung ke kediaman Baginda Nabi, dia mendapati suara Aisyah yang melengking saat berdebat dengan Nabi. Dia pun bergegas menempeleng Aisyah, karena sudah lancang terhadap Nabi.
لا أراك ترفعين صوتك على رسول الله
“Kamu tidak pantas berteriak kepada Rasulullah!” Abu Bakar membentak ‘Aisyah sesaat sebelum dia hendak menempeleng putrinya itu.
Sebelum berhasil melukai putrinya, dengan sigap Baginda Nabi menghalangi Abu Bakar, sehingga dia keluar dengan amarah yang masih menguasainya.
كيف رأيتني أنقذتك من الرجل
“Lihatlah! Saya sudah menyelamatkanmu dari pukulan laki-laki itu, kan?” ucap Baginda Nabi kepada ‘Aisyah.
Setelah itu, ‘Aisyah dan Nabi pun berdamai. (Musnad Imam Ahmad, nomor 18685 dan 18712)
Sikap Nabi saw. dalam menangani konflik rumah tangga mesti ditiru. Beliau anti kekerasan. Sekalipun rumah tangga sedang dicoba oleh berbagai masalah, Baginda Nabi selalu mengedepankan sikap lemah lembut. Istrinya pun mengakui Nabi tidak pernah memukul perempuan. Hal ini sebagaimana kesaksian ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. tidak pernah satu kalipun memukul perempuan baik dia istri ataupun pembantu. (Sahih Muslim, nomor 6195)
Baca juga: Rasulullah Adalah Karunia Ilahi, Maka Berbahagialah atas Kelahirannya!
Teladan Baginda Nabi dalam menjalin relasi dengan pasangan adalah implementasi sempurna dari tuntunan Alquran untuk berelasi baik dengan pasangan (mu’asyarah bi al-ma’ruf: Q.S. Annisa [4]: 19). Selain tercermin melalui sikap lemah lembut, teladan bermuasyarah juga beliau contohkan antara lain dengan selalu memenuhi hak dengan adil dan berbicara yang menyenangkan, sejalan dengan gambaran mu’asyarah bi al-ma’ruf yang dijelaskan para mufasir. (al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an)
Sikap setia dan lemah lembut yang diajarkan Nabi adalah wujud bagaimana Islam mengatur penganutnya menjalin relasi dengan pasangan. Islam sebagaimana yang disampaikan dan dicontohkan Nabi tidak mengajak untuk melakukan tindak kekerasan dan penyimpangan dalam relasi suami-istri. Justru, Islam menuntun untuk berelasi baik dengan pasangan, sebagaimana fitrah Islam: agama yang sarat kasih dan sayang. Wallahu a’lam[]