Q.S. al-Baqarah [2]: 30 digadang-gadang sebagai dalil atas tuntunan mendirikan khilafah oleh sebagian kelompok Islam. Mereka beranggapan bahwa kata “khalifah” memiliki tendensi untuk dimaknai sebagai pemimpin politik dan mengisyaratkan lahirnya sebuah bangunan politik yang disebut khilafah. Argumentasi kelompok pendukung khilafah ini tidak serta merta diterima begitu saja dan justru mendapati banyak kritik. Salah satu kritik mengenai persoalan ini disampaikan oleh TGB Zainul Majdi yang mengulas makna khalifah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
TGB Zainul Majdi menegaskan bahwa makna khalifah tidak memuat tendensi politis sehingga tidak tepat jika dimaknai bahwa Allah mengangkat Nabi Adam as. sebagai pemimpin politik. Kata “khalifah” dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30 menurutnya mengandung makna simbolik bahwa manusia (Nabi Adam as. dan anak cucunya) diberikan amanah kepemimpinan di atas bumi yaitu menjaga nilai-nilai yang baik tetap hidup serta mengelola dan memaksimalkan potensi bumi agar senantiasa memberi kemashlahatan bagi yang hidup di dalamnya.
Ia memberikan penjelasan tambahan bahwa banyaknya penafsiran terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 30 oleh para Ulama menyebabkan berlakunya kaidah Ushul Fiqh, idza tatharraqa ilaihi al-ihtimal saqatha bihi al-istidlal (jika suatu ayat memiliki banyak kemungkinan penafsiran maka upaya menjadikannya dalil (tunggal) pun gugur). “jadi ketika suatu ayat sudah beragam penafsirannya maka saqatha bihi al-istidlal, tidak bisa sendirian dijadikan dalil”. Tegasnya.
Dalam konteks kenegaraan (sebab Q.S. al-Baqarah [2]: 30 banyak disetir dalam diskursus politik kenegaraan), TGB Zainul Majdi mengutip pendapat Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah mengenai tugas seorang pemimpin politik. Imam al-Mawardi menyebut ada sepuluh tugas yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin negara.
Baca Juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran
TGB Zainul Majdi pun menyimpulkan bahwa penyebutan sepuluh tugas itu mengisyaratkan bahwa siapapun pemangku tampuk kepemimpinan dan bagaimanapun bentuk pemerintahannya selama mampu memenuhi kesepuluh tugas itu maka sudah dianggap sesuai dengan tuntunan agama.
Jika ditelaah dari uraiannya mengenai “khalifah”, maka bisa dicermati bahwa TGB Zainul Majdi menginginkan fenomena politisasi ayat tidak terus-menerus terjadi. Ia juga mengharapkan agar umat Islam tidak simplikatif (menggampangkan) dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab al-Qur’an yahtamil al-wujuh yakni memuat ragam penafsiran yang bisa dieksplorasi oleh pengkajinya, maka klaim pembenaran tunggal terhadap suatu penafsiran apalagi didasarkan kepentingan politis tidaklah dibenarkan. Wallahu a’lam.