Theodor Nöldeke adalah seorang sarjana asal Jerman yang menggeluti studi Perjanjian Lama, bahasa Semit, sastra Arab, Persia, dan Siria. Nöldeke menerjemahkan beberapa karya penting sastra oriental dan selama hidupnya dianggap sebagai seorang orientalis penting. Dia menulis banyak penelitian (termasuk tentang Al-Qur’an) dan menyumbangkan artikelnya ke Encyclopedia Britannica.
Kehidupan Theodor Nöldeke dimulai saat ia dilahirkan di kota Harburg pada tanggal 2 Maret 1836 M. Ia tumbuh di keluarga yang berpendidikan, sehingga sejak kecil ia sudah mengenyam pendidikan secara ketat melalui bimbingan ayahnya di kota Lingen. Dari sinilah Noldeke mempersiapkan diri untuk memasuki pendidikan tinggi.
Pada tahun 1853, Noldeke diterima sebagai Mahasiswa Universitas Gottinngen untuk belajar sastra bahasa Semit, yakni Arab, Ibrani dan Suryani kepada salah seorang sahabat ayahnya bernama H. Ewald. Kemudian pada tahun 1864-1872 ia belajar bahasa Sansekerta dari Benfay hingga diteruskan sampai Universitas Kiel.
Pada tahun 1856, Noldeke memperoleh gelar doktor melalui karya tentang Sejarah Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mendapatkan gelar doktor, pada sekitar tahun 1856-1857, Noldeke pergi ke Wina (Viena) untuk mempelajari beberapa manuskrip di perpustakaan kota tersebut.
Noldeke merupakan salah tokoh orientalis yang mendedikasikan seluruh hidupnya dalam mengkaji ketimuran. Dengan penguasaan terhadap bahasa Semit, ia telah banyak meneliti dunia timur. Noldeke juga merupakan seorang orientalis yang memiliki umur panjang, yakni 94 tahun. Bahkan, ia dikatakan sebagai tokoh orientalis Jerman yang paling panjang umurnya (Dirasah al-Mustasyriqin Hawl Sihah al-Syi’ir al-Jahili).
Theodor Nöldeke lalu meneruskan pengembaraannya ke Lieden, Belanda pada musim gugur tahun 1857 hingga musim semi tahun 1858. Di Lieden ia mempelajari manuskrip-manuskrip Arab dari beberapa tokoh pemikir seperti Dozy, Juynboll, Matthys de Vries dan Kuenen, serta de Goeje, de Yong dan Engelmann. Dari Lieden, Noldeke pergi menuju Berlin untuk meneliti beberapa manuskrip termasuk manuskrip bahasa Turki selama 1,5 tahun (hingga 2 September 1860).
Selanjutnya Noldeke berangkat menuju Italia untuk tujuan serupa, yakni mempelajari manuskrip. Sekembalinya dari Italia pada Desember tahun 1860, dia mendapat tugas sebagai pegawai di perpustakaan Göttingen University. Kemudian pada tahun 1861 ia mulai menjadi staf pengajar di universitas tersebut. Tiga tahun berikutnya ia menjadi profesor luar biasa.
Pada tahun 1858, Noldeke memenangi Academie des Inscription et Belles-Lettres di Prancis melalui karyanya tentang sejarah Al-Qur’an. Pada kesempatan yang sama, dua kolega Noldeke, yaitu Aloys Sprenger (1813-1893) dan Michele Amari (1806-1889) juga memperoleh penghargaan tersebut. Karya ini kemudian disempurnakan dan diterbitkan dengan judul Geschichte des Qorans di kota Göttingen.
Dalam pengembaraannya, Noldeke telah melewati beberapa kota besar di Eropa hingga ke Roma Italia. Namun, satu hal yang agak mengherankan, ia tidak pernah mau menjelajahi negara- negara Arab, meskipun ia meneliti manuskrip-manuskrip Arab. Menurut beberapa kalangan, ia sebenarnya mengalami masalah terkait kesehatannya sejak keci sehingga ia tidak mungkin bepergian ke tempat yang rawan (Dirasah al-Mustasyriqin Hawl Sihah al-Syi’ir al-Jahili).
Noldeke menghabiskan masa tuanya sebagai pengajar di Universitas Strassburg hingga pensiun. Kemudian pada umur 84 tahun, ia pindah ke tempat tinggal anaknya, kota Karlsruhe, tempat di mana ia menghabiskan masa-masa akhir hidupnya selama sepuluh tahun. Noldeke meninggal pada 25 Desember 1930 meninggalkan 10 putra dan putri dari hasil pernikahannya sejak tahun 1864.
Pandangan Theodor Nöldeke Mengenai Al-Qur’an
Dalam banyak tulisannya, Theodor Nöldeke ingin membuktikan bahwa apa yang selama ini diyakini umat Islam salah. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak orisinal, Muhammad bukanlah seorang yang ummi, melainkan ia sangat akrab dengan seni menulis yang saat itu dianggap sebagai bukti orang yang berilmu. Berkat itulah ia mampu menduplikasi ajaran Kristen dan Yahudi (The History of Qur’an: 3).
Melalui pendekatan filologi, Noldeke memberikan kesimpulan yang berbeda dari pandangan pada umumnya tentang predikat ummī bagi Muhammad. Menurutnya, tidak benar anggapan umum bahwa kata ummī dipahami sebagai kebalikan dari “orang yang bisa membaca dan menulis.” Yang benar adalah ummī lebih layak dipahami sebagai kebalikan dari “orang yang mengenal kitab suci.”
Theodor Nöldeke berkata:
“Setelah kami menelaah secara saksama terhadap seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, kami mendapatkan kesimpulan bahwa kata ﺍﻻﻣﻲ adalah kebalikan dari ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻫﻞ ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kata ummī bukan sebagai kebalikan dari “orang yang bisa menulis,” tetapi sebagai kebalikan dari “orang-orang yang mengetahui kitab suci.”
Pandangan Nöldeke tentang pengertian ummī di atas diamini oleh Muhammad Abid al-Jabiri. Kata ummī adalah kebalikan dari “ahl al-kitāb” (kaum Yahudi dan Nasrani). “Ummiyyūn” ditujukan bagi orang-orang Arab yang tidak paham terhadap kitab Taurat dan Injil, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni surah al-Baqarah ayat 78, surah Āli ‘Imran ayat 20 dan 75 serta surah al-Jumu’ah ayat 2.
Karena alasan inilah, al-Jabiri kemudian menolak kata ummī dipahami sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis (Madkhal ilā al-Qur`ān al-Karīm). Berbeda dari pendapat di atas, al-Syātibī lebih memahami term ummī sebagai sifat keawaman seseorang atau kelompok terhadap ilmu-ilmu kaum terdahulu, termasuk awam dalam bidang tulis menulis dan ilmu hitung (al-Muwāfaqāt fī Usul al-Syarī’ah).
Nöldeke menyimpulkan bahwa dalam penulisan Al-Qur’an, Muhammad memiliki dua karakteristik dalam mengimpor ajaran dari kitab Yahudi dan Kristen; Pertama, ia menuliskan kedua ajaran tersebut menjadi Al-Qur’an menurut pemahamannya yang terbatas, karena ia tidak bisa melihat kitab-kitab tersebut secara literal. Kedua, dalam menulis Al-Qur’an, Muhammad tidak memasukkan ideologi luar tertentu karena ia bermaksud untuk menciptakan ideologinya sendiri.
Contoh kongkretnya adalah dengan adanya Ka’bah dan seruan untuk haji. Noldeke mengatakan bahwa di dalamnya terdapat unsur-unsur kepercayaan pagan yang merupakan kepercayaan bangsa Arab ketika itu dan mempunyai sumber orisinal dari ajaran Ibrahim. Muhammad mengadopsi ini, namun mengubahnya secara total dan menyesuaikannya dengan cerita-cerita Yahudi sebanyak yang ia ingat (The History of Qur’an: 14).
Dalam bukunya yang lain, yaitu yang tercantum dalam Encyclopedia Britannica, Noldeke dengan lantang menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam Al-Qur’an ini disebabkan karena ketidaktahuan Muhammad mengenai sejarah awal dan pemahamannya tentang agama Yahudi. Akibatnya, banyak muncul informasi yang “keliru” tentang umat-umat terdahulu.
Pemikiran yang disampaikan Noldeke ini sebenarnya merupakan sebuah pengembangan dari pemikir sebelumnya yaitu Abraham Geiger, yang mengatakan bahwa Al-Qur’an terpengaruh oleh agama Yahudi, pada hal, pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, yang kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral, dan ketiga, tentang pandangan terhadap kehidupan.
Terlepas dari pandangan kontroversi Nöldeke terhadap nabi Muhammad saw dan Al-Qur’an, kajian historisnya telah membuka kesadaran sarjana muslim modern untuk lebih memperhatikan kesejarahan Al-Qur’an, bukan hanya diskursus teologis tentang pewahyuan Al-Qur’an. Berkat itu pula, lalu muncullah berbagai karya sejarah Al-Qur’an di kalangan umat Islam seperti Abu Bakar Aceh asal Indonesia. Wallahu a’lam.