Tidak Hanya Khamar, Pengharaman Riba dalam Al-Quran Juga Bertahap

Pengharaman Riba
Pengharaman Riba

Penerapan hukum Islam dari awal, sejak masa Nabi dilakukan secara bertahap. Istilah ini dikenal dengan tadarruj. Syeikh Mustafa Az-Zuhaili dalam At-Tadarruj fi at-Tasyri’ wa Tathbiq fi Syari’ah Al-Islamiyah, hal. 27 menyampaikan bahwa praktik tadarruj itu dimaksudkan untuk dua hal; pertama yaitu pembiasaan secara bertahap, mulai dari yang dekat ke yang jauh, dari yang ringan ke yang berat, dari yang mudah ke yang sulit; kedua yaitu menetapkan peraturan atau hukum yang awalnya hanya bersifat kebiasaan menjadi menjadi hukum atau peraturan yang mengikat.

Tahapan pengharaman khamar merupakan salah satu contoh penerapan model tadarruj yang sangat popular. Dan ternyata tidak hanya khamar yang berlaku demikian, pengharaman riba pun juga begitu, dilarang secara bertahap.

Tahapan pengharaman riba

Menurut As-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, jilid I, hal. 389, tahap-tahap pengharaman riba sama dengan tahapan Al-Quran tentang khamr. Pada tahap pertama hanya sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba, sebagaimana tertera dalam surah Ar-Rum ayat 39,

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum [30]: 39)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat

Ayat pertama tentang riba ini merupakan ayat Makkiyah, turun ketika Nabi di Makkah yang notabene fokus dakwahnya tentang ajakan tauhid, mengesakan Allah, bukan tentang hukum atau yang lainnya. Keterangan Ibn Abbas tentang pengertian riba pada ayat ini juga bisa diambil dasar bahwa memang praktik riba pada masa ini memang tidak sama dengan masa Nabi di Madinah, apalagi masa sekarang.

Dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Ibn Abbas memberi pengertian riba dalam ayat tersebut sebagai tradisi pemberian hadiah kepada orang-orang yang mengharap imbalan lebih. Praktik riba yang ‘hanya’ seperti ini pada awalnya yang kemudian membuat Al-Qurtubi dan Ibn al-Arabi menyebutnya dengan ‘riba halal’, sedang Ibnu Katsir menamainya dengan ‘riba mubah’.

Tahap kedua kemudian disusul oleh ayat tentang keharaman riba, meski dalam bentuk talwih (memberi isyarat), bukan sharih (jelas). Ini tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 161,

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nisa [4]: 161)

Pemaknaan dan praktik riba kemudian berubah pada tahap yang kedua ini. Ayat yang kedua ini merupakan ayat Madaniyah. Praktik riba dilukiskan dalam Tafsir Ibnu Athiyyah dengan berhutang satu dirham harus dibayar dua dirham. Tuntutan untuk membayar lebih ini termasuk cara batil dalam memakan harta seseorang. Inilah yang kemudian menjadi alasan pelarangan riba.

Selanjutnya, pada tahap ketiga, Al-Quran secara eksplisit (sharih) menyatakan keharaman riba, tetapi tidak secara keseluruhan, hanya riba fahisy saja yang diharamkan. Ini dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 130,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.​” (QS. Ali Imran [3]: 130)

Di ayat ini, At-Tabari dalam tafsirnya menukil riwayat dari Atha’ bahwa seseorang dari Bani Tsaqif berhutang ke salah seorang dari Bani Al-Mughirah, ketika sudah jatuh tempo, Bani Al-Mughirah tadi meminta tambahan karena yang berhutang tadi mengakhirkan bayarannya. Sampe di sini riba berarti bukan hadiah yang diberikan secara suka rela, tapi pemberian terpaksa oleh seseorang karena keterlambatannya dalam membayar hutang.

Oleh karena unsur dzalim, menyakiti dan menyengsarakan pihak yang berhutang ini berkali lipat, ia belum bisa membayar di saat yang sama malah bebannya sengaja ditambah, karena usnur ini maka riba secara jelas dilarang.

Pada tahap terakhir, riba diharamkan secara keseluruhan, apapaun bentuk dan namanya. Tahapan terakhir ini ada dalam surah Al-Baqarah ayat 278,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.​ Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). ” (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279)

Sebagaimana penutup, ayat terakhir pengharaman riba ini semakin memperjelas dan mempertegas larangan riba. Di ayat ini disampaikan bahwa tradisi riba itu tidak boleh untuk diteruskan, harus stop. Hutang-hutang yang masih belum dibayar dilarang untuk dimintai kelebihannya. Pada tahap ini Allah tidak sekadar melarang, tetapi juga memberikan ancaman pada siapapun yang masih melanjutkan praktik riba, yaitu berperang dengan Allah dan RasulNya.

Baca Juga: Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar

Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas. Antara lain Al-Quran dalam menerapkan aturan-aturannya masih memperhatikan tradisi, sekalipun tradisi itu tidak baik. Ia kemudian merubahnya pelan-pelan, tujuannya tidak lain agar orang-orang bisa terbiasa dan tidak terasa berat untuk menghadapi aturan yang baru. Ini yang kemudian disebut dengan metode tadarruj (bertahap).

Selain itu, dari segi keilmuan Al-Quran, status ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah ini menjadi salah satu faktor penting yang tidak bisa dilewati dalam mempelajari dan memahami ayat Al-Quran, khususnya ketika membahas ayat-ayat hukum. Wallahu a’lam