Para ulama sepakat bahwa setiap agama, termasuk Islam dalam hal ini, mempunyai tiga aspek, yaitu aspek intelektual, ritual dan sosial. Islam mengajarkan bahwa ketiga aspek tersebut berjalin kelindan satu dengan yang lain. Oleh karenanya, Alquran memerintahkan kepada umat Islam untuk selalu merenungi, mentadarus dan mentadabburi bentangan tak terbatas akan kandungan ayat-ayat Alquran. Di antara ayat yang mengisyaratkan hal ini adalah surah Ibrahim [14]: 24-25,
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Tidakkah engkau memerhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah thayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit, dan menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan untuk manusia agar mereka mengambil pelajaran. (Ibrahim [14]: 24-25)
Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim
Intelektualitas
Aspek pertama yaitu intelektualitas, dalam hal ini dikaitkan dengan keimanan atau keyakinan, bahwa di balik redaksi ayat Alquran menyimpan segudang isyarat bagi mereka yang mau berpikir. Dalam konteks ini, ayat di atas (Ibrahim [14]: 24-25) mencerminkan hal tersebut. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa para mufasir berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan pohon yang baik dan kalimat yang baik dalam ayat tersebut.
Ibnu Katsir, misalnya, berdasarkan riwayat dari al-Bukhari mengartikan pohon yang baik tersebut adalah pohon kurma. ‘Abdullah bin Umar berkata bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulullah Saw. kemudian beliau bersabda, “Beritahulah aku sebuah pohon yang serupa dengan seorang muslim, memberikan buahnya pada setiap musim”. ‘Abdullah bin Umar berkata, “Terlintas dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku pun segan berbicara”.
Ketika Rasulullah Saw. tidak mendengar jawaban dari para hadirin, beliau bersabda, “Pohon itu adalah pohon kurma”. Pasca pertemuan itu, aku (kata Abdullah bin Umar) berkata kepada ayahku (Umar bin Khattab), “Hai ayahku, Demi Allah telah terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma”, beliau menjawab, “Mengapa engkau tidak menyampaikannya?”, Aku menjawab, “Aku melihat tidak seorang pun yang berbicara, maka aku pun segan berbicara”. Umar berkata, “Seandainya engkau menyampaikan, maka sungguh itu lebih kusukai dari ini dan itu”.
Ulama yang lain, lanjut Shihab, menyatakan bahwa tidak penting pohon apakah itu, yang jelas ayat ini menyebut perumpamaan tentang tauhid dalam Islam. Agama ini menyatukan berbagai macam aspek dalam kehidupan manusia. Kesatuan tersebut tak boleh dipisahkan. Sebab kalau dipisahkan, akan mengurangi kesempurnaan iman seseorang. Di antara kesatuan tersebut ialah dunia dan akhirat, kesatuan kemanusiaan, kepribadian manusia dan lain-lain.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial dan memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupannya sebagaimana terdokumentasikan dalam sabda-Nya, kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi.
Baca Juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya
Ritual/Ibadah Rutin
Aspek kedua adalah aspek ritual. Yang paling gamblang adalah perintah salat. Betapa banyak perintah ‘dirikanlah salat’ (wa aqimus shalah), dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu wajib didirikan umat Islam sebagai bentuk ketaatan menjalankan perintahnya.
Meskipun salat (baca: salat wajib lima waktu) adalah ibadah rutin sehari-hari umat Islam, namun perintah salat tidak dapat dipandang sebelah mata. Bahkan, keistimewaan salat menjadi tolok ukur bagi penentu kualitas ibadah seseorang. Jika salatnya baik, maka seluruh amal ibadahnya dinilai baik, begitupun sebaliknya.
Imam al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil fi Asrar al-Ta’wil mengungkapkan bahwa perintah salat pada surah Albaqarah [2]: 43, adalah salat lima waktu. Dan zakat bisa bermakna taharah, yakni mampu menyucikan harta dan diri seseorang dari penyakit hati. Di sinilah ritualitas salat yang tidak sekadar ibadah ritual, namun ternyata juga menyimpan aspek esoteris (bathiniyah) yang harus ditadabburi oleh umat Islam.
Baca Juga: Memetik Hikmat Salat Sebagai Kontrol Sosial
Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat menjalani kehidupan tanpa bantuan pihak lain (zoon politicon). Dalam sabda Nabi Saw. disebutkan, kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi (setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya). Penggunaan kata ra’in dalam hadits tersebut, sangat tepat mendefinisikan sosok pemimpin.
Ra’in adalah penggambaran sosok bocah angon (baca: penggembala). Dalam angon (gembala), sebagaimana penjelasan Emha Ainun Nadjib, ada kalanya ia berada di depan umatnya seperti ketika menuntun kuda, ada kalanya ia di belakang rakyatnya seperti ketika menggiring domba atau bebek. Kadangkala ia harus di samping seperti ketika mengajak bermain kucing. Setiap posisi harus bisa dilakoni dan harus mengetahui kapan harus memberi komando di depan, kapan harus mengawasi dari belakang, dan kapan pula harus mendampingi seperti teman seiring.
Karena itu, pemimpin juga harus memiliki kesantunan dalam segala hal, termasuk dalam persoalan lisan. Menjadi pemimpin harus lolos kualifikasi qaulan layyina. Qaulan layyina adalah perkataan yang lemah lembut (Taha [20]: 44). Agaknya kita patut menilik kisah Nabi Musa a.s dengan Fir’aun. Sekalipun Fir’aun adalah raja yang sangat zalim, Allah Swt. tetap menyeru kepada Nabi Musa a.s untuk berkata lemah lembut, ia idak perlu keras terhadap Fir’aun, dan dituntun untuk menggunakan kata-kata yang lemah lembut.
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اَلْجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
Rasulullah Saw. pernah ditanya perihal sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga. Ia menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. (H.R. Abu Hurairah).
Hadis tersebut mencerminkan adanya tanggung jawab sosial. Qaulan layyina (berkata yang lemah lembut) sebagaimana dalam ayat Alquran menunjukkan bahwa Alquran juga mengandung aspek sosial demi keberlangsungan hidup manusia.
Wallahu a’lam.