BerandaTafsir TematikTiga Fungsi Pokok Al-Quran : Hudan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185

Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [1]: Hudan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185

Di antara tiga fungsi pokok Al-Quran adalah hudan lin nas. Al-Quran sebagai petunjuk telah menyediakan seluruh panduan dan membekali manusia untuk menjalankan kehidupannya. Tujuannya, agar manusia terhindar dari kesesatan atau salah jalan. Inilah salah satu fungsi pokok Al-Quran yang dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 185,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِ

”Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)

Makna Hudan

Para ulama menafsirkan kata hudan lin nas secara beragam. Di antaranya al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, menafsirkan redaksi hudan lin nas adalah

رشاداً للناس إلـى سبـيـل الـحقّ وقصد الـمنهج

“Petunjuk bagi manusia menuju jalan kebenaran dengan jalan yang metodis”.

Berbeda dengan al-Tabari, Ibnu Katsir lebih menggabungkan ketiga redaksi hudan lin nas wa bayyinatin minal huda wal furqan dengan makna “Ini adalah sebuah sanjungan kepada Al-Quran bahwa Allah swt menurukannya sebagai petunjuk bagi hati seorang hamba sehingga ia merasakan keamanan, kebenaran lalu mengikuti petunjuk Al-Quran” (haadza madhun lil quran alladzi anzalahullahu hudan li qulubil ‘ibadai mimman aamana bihi wa shadaqahu wa atba’ahu).

Sedangkan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, ia membagi penafsiran kata hudan menjadi beberapa bagian (wajah), di antaranya pertama, Allah swt menjadikan Al-Quran beserta ayat-ayatnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa (hudan lil muttaqin). Kedua, selain kepada orang yang bertakwa, Al-Quran juga menjadi petunjuk bagi umat manusia secara keseluruhan tanpa kecuali (hudan lin nas).

Baca juga: Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam

Penafsiran serupa juga disampaikan al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf bahwa kata hudan bermakna hidayatun lin nas ilal haq (petunjuk bagi manusia menuju kebenaran). Hal ini juga diamini oleh al-Baidhawi, hanya saja ia menggabungkan ketiga fungsi Al-Quran sehingga memunculkan dua pemaknaan, yaitu pertama, Al-Quran turun sebagai petunjuk bagi manusia dengan i’jaz-nya (hidayatun lin nas bi i’jazihi wa ayati) dan memandu manusia menuju kepada kebenaran (mimma yahdli ilal haq). Kedua, Al-Quran berfungsi pembeda antara perkara yang bathil dan haq (wa yufraqu bainahu wa bainal bathila bima fihi minal hukmi wal ahkami).

Al-Mahalli dan al-Suyuthi dalam Tafsir Jalaian juga ikut nimbrung menyampaikan pemaknaannya, keduanya menafsiri kata hudan sebagai pedoman bagi manusia agar terhindar dari kesesatan (hadiyan min al-dhalalah). Tak pelak, Ibnu Atiyyah secara khusus menafsiri kata hudan dengan corak sufistiknya. Dalam kitabnya, al-Muharrar al-Wajiz ia menuturkan bahwa hudan adalah sebuah keteguhan dan MoU awal (lil ‘ahdi wal murad al-awwal) bahwa manusia pasti membutuhkan sebuah petunjuk dalam segala aktifitasnya.

Baca juga: Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran Terhadap Lingkungan

Melanjutkan Ibn ‘Atiyyah, Al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil menuturkan bahwa petunjuk (hudan) itu dibutuhkan agar manusia terhindar kesesatan (al-dhalalah). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sesungguhnya Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia secara keseluruhaan (hudan lin nas ‘ala al-ijmali).

Muqatil bin Sulaiman dalam tafsirnya, ia mempunyai penafsiran yang patut kita renungkan bersama, yaitu Al-Quran sebagai petunjuk tidak hanya berkutat pada persoalan baik-buruk, lebih dari itu ia juga menghindarkan manusia dari perkara syubhat (remang-remang, tidak jelas) inilah yang diterminologikannya dengan term “agama” (al-din min al-syubhat wa al-dhalalah).

Lebih jauh, al-Biqa’i dalam Nadzm al-Durar, ia menafsirkan redaksi hudan lin nas cukup rinci dengan mengutip perkataan al-Harali,

هدى للناس قال الحرالي: فيه إشعار بأن طائفة الناس يعليهم الصوم أي بالتهيئة للتدبر والفهم وانكسار النفس إلى رتبة الذين آمنوا والمؤمنين ويرقيهم إلى رتبة المحسنين، فهو هدى يغذو فيه فقد الغذاء القلب كما يغذو وجوده الجسم ولذلك أجمع مجربة أعمال الديانة من الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه أن مفتاح الهدى إنما هو الجوع وأن المعدة والأعضاء متى أوهنت لله نور الله سبحانه وتعالى القلب وصفى النفس وقوى

“Di dalam petunjuk itu terkandung beberapa keutamaan bagi sekelompok orang yang berpuasa, yaitu mereka lebih sering merenung, tadabbur, memecah hawa nafsu (memerangi), dan menertibkannya. Dengan hal itu, mereka diangkat derajatnya sebagai orang yang beriman dan muhsinin. Lebih dari itu, petunjuk (hudan) itu merupakan makanan bagi kalbu (ghada’ al-qalbi) sebagaimana makanan untuk jism (tubuh manusia). Tidak lain tujuan mereka adalah mengharap keridhaan Allah swt semata (Q.S. al-An’am [6]: 52). Dan kunci petunjuk itu melalui rasa lapar, di mana rasa itu “melemahkan” fisik manusia sehingga mampu memancarkan cahaya Allah (nurullah swt), cahaya kalbu, memurnikan jiwa dan menjadikan jasad manusia semakin kuat”.

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati Manusia

Tidak jauh berbeda dengan al-Biqa’i, Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan hudan lin nas dengan hidayatun lin nas ila sawa’ al-shirat fihi min al-i’jazi wa ghairihi (petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus beserta segenap kemukjizatan Al-Quran, dan lain sebagainya).

Hampir senada dengan Ismail Haqqi, Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid, lebih menggunakan redaksi thariq al-wushul. Artinya, Al-Quran sebagai hudan lin nas menuntun manusia untuk mampu mencapai wushul ilallah (sampai kepada Allah) (hadiyan lahum ila thariq al-wushul). Ia tidak hanya sebagai petunjuk lahiriyah, melainkan petunjuk batiniyah dengan segenap kemujizatan yang dikandungnya.

Terakhir, al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani, ia mengatakan bahwa hudan lin nas bermakna menauhidkan Allah swt dari yang asalnya “menuhankan” yang lain, umpamanya materi, harta, tahta, dan sebagainya menuju keyakinan sejati bahwa tiada Tuhan selain Allah swt (bi tauhidillahi al-mutawajjihin nahwi janabihi yahdihim ila martabati al-yaqini).

Al-Quran sebagai Petunjuk

Dari beragam penafsiran di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa manusia tidak boleh lepas kendali atau abai terhadap sumber primer ajaran agama Islam, yaitu Al-Quran. Fungsi pokok Al-Quran sebagai hudan (petunjuk) berarti bahwa Al-Quran dapat memandu manusia menuju jalan yang lurus dan menghindarkannya dari kesesatan.

Maka, salah satu kunci untuk menggapai petunjuk Al-Quran adalah dengan berpuasa. Berpuasa menjadi starting point untuk melatih jiwa manusia, mengontorl emosi dan amarah serta mengendalikan hawa nafsu kebinatangannya. Manusia, untuk mencapai Allah sw (wushul ilallah), mengharuskan melepaskan segala atribut materi untuk melesat kepada-Nya. Artinya, orientasi hidupnya hanya untuk Allah swt semata.

Dunia, harta, tahta, prestasi, dan reputasinya ia letakkan di tangan, tidak dihati. Hatinya tetap senantiasa terpaut kepada Allah swt. Inilah yang digambarkan oleh Allah dalam Q.S. al-An’am [6]: 52, “Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari, sebab mereka mengharapkan keridhaan-Nya”.

Ridha Allah swt adalah segalanya untuk kita. Semoga puasa yang kita jalani bersama senantiasa diridhai dan diberkahi oleh-Nya. Aamiin. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...