BerandaTafsir TematikTuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu dosa-dosa yang dilakukan terhadap sesama manusia dan dosa yang dilakukan terhadap Allah. Dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang akibat kezaliman yang dilakukan terhadap orang lain, seperti menyakiti fisik maupun non-fisik dan mengambil haknya.

Dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang karena melanggar hak-hak Allah Swt., seperti meninggalkan salat, meninggalkan puasa, atau melanggar hak-hak Allah yang lain.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika melakukan taubat. Syarat-syarat itu akan sngat terkait dengan dosa-dosa yang dilakukan karena pelanggaran terhadap hak-hak Allah atau terhadap hak-hak manusia.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika melakukan taubat atas dosa-dosa karena melanggar hak-hak Allah Swt adalah sebagai berikut:

  1. Menyadari dan mengakui adanya perbuatan dosa yang dilakukan,
  2. Menyesali diri dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan,
  3. Bertekad untuk meninggalkan perbuatan maksiat itu.
  4. Bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi perbuatan seperti itu.
  5. Setelah bertaubat, memperbanyak dan meningkatkan amal kebajikan, tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya, tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunat.

Seseorang yang telah bertaubat atas dosa-dosa mereka kepada Allah, harus menguatkan iman dan meningkatkan amal-amal salehnya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Baca Juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Di antaranya adalah terdapat di dalam QS. Maryam [19]: 59-60:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا 59 إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا 60

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”

Orang yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa kepada Allah harus meningkatkan amal salehnya setelah mereka melakukan taubat. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Furqan [25]: 70-71 disebutkan:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 70 وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا 71

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Kemudian syarat-syarat yang perlu dipenuhi ketika hendak bertaubat atas dosa-dosa yang dilakukan dalam konteks melanggar hak-hak sesama manusia adalah sebagai berikut: 

  1. Menyadari dan mengakui adanya perbuatan dosa yang dilakukan terhadap sesama.
  2. Memohon maaf kepada yang bersangkutan, jika dosa itu menyangkut kehormatan orang lain.
  3. Mengembalikan harta kepada pemiliknya, jika dosa itu menyangkut pengambilan harta benda orang lain tanpa hak.
  4. Menyesali diri dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan
  5. Bertekad untuk meninggalkan perbuatan maksiat itu.
  6. Bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi perbuatan seperti itu.
  7. Setelah bertaubat, memperbanyak dan meningkatkan amal kebajikan, tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya, tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunat.

Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 38-39:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ () فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Yang penting digaris bawahi dari penggalan dua ayat di atas adalah bukan soal hukuman (punishment), akan tetapi ayat terakhir yang menekankan pengampunan atas taubat yang dilakukan. Dalam sejarahnya pun, sangat jarang sekali Rasulullah Saw melaksanakan potong tangan. 

Baca Juga: Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Bahkan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal diceritakan sebagai berikut: 

Diriwayatkan dari Abdullah, suatu ketika seorang lelaki datang kepadanya dan menceritakan tentang kejadian di masa Rasulullah SAW, lelaki itu berkata : “sesungguhnya orang yang pertama kali dipotong tangan dari kalangan muslimin, adalah seorang lelaki yang dibawa ke hadapan Rasulullah SAW, kemudian dikatakan kepada beliau “Wahai Rasulullah, lelaki ini telah mencuri “kemudian tampaklah kesedihan pada wajah Rasulullah SAW, sebagian sahabatpun bertanya “Wahai Rasul, apa yang terjadi denganmu ? “ Rasulullah SAW pun menjawab : “Apalagi yang bisa aku perbuat, sedangkan kalian telah membantu setan untuk memutuskan hukuman kepada saudara kalian, padahal Allah SWT maha pengampun yang senang memberikan pengampunan, sedangkan seorang waliyul amr, jika sebuah perkara tentang hukum had telah dilaporkan kepadanya, maka seyogianya ia memutuskannya” kemudian Rasulullah SAW membaca (ayat 22 dari surat An-Nur yang artinya) : dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (HR. Ahmad)

Dari riwayat hadis di atas tampaklah bahwa sebenarnya yang paling diutamakan adalah sikap saling memaafkan dan menerima taubat. Rasulullah saw pun sangat berat hati dan sangat sedih ketika terpaksa melakukan potong tangan. Wallahu A’lam

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...