Dalam Surah Al-Taubah [9]: 60 disebutkan bahwa di antara orang yang berhak menerima zakat adalah orang fakir dan orang miskin. Dalam bahasa Indonesia, kata fakir dan miskin seringkali dimaknai sama, bahkan dalam penggunaan sehari-hari, dua kata tersebut digabungkan menjadi “fakir miskin”.
Pada dasarnya baik fakir maupun miskin merupakan kata serapan dari Bahasa Arab, namun dalam perkembangan penggunaannya di Indonesia dua kata tersebut dimaknai sama. Artikel ini akan mengulas secara singkat makna asal dari kata fakir dan miskin sekaligus menemukan perbedaan keduanya.
Fakir merupakan hasil serapan dari bahasa Arab, yaitu “faqîr” yang merupakan isim musyabbahah dari kata faqura (Mu’jam al-Mu’âshirah). Kata faqîr digunakan dalam empat tempat, sebagaimana yang diuraikan oleh al-Râghib al-Ashfahânî dalam Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (hlm. 641-642) sebagai berikut:
1. Fakir untuk menyatakan bahwa manusia memiliki hajat untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berlaku untuk manusia dan makhluk lainnya selama mereka berada di dunia ini, sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. Fâthir [35]: 15 dan al-Anbiyâ’ [21]: 8.
2. Fakir bermakna kekurangan harta, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 273, QS. Al-Taubah [9]: 60, dan QS. Al-Nûr [24]: 32.
Baca Juga: Isyarat Larangan Monopoli Ekonomi dalam Al-Quran
3. Fakir jiwa, yaitu kerakusan yang dimaksud oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya “kâda al-faqr an yakûna kufran”, artinya “kefakiran dekat dengan kekufuran”.
4. Fakir di sisi Allah sebagaimana dimaksud dalam firman-Nya QS. Al-Qashash [28]: 24.
Sementara itu, al-Râghib al-Ashfahânî memaknai miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa. (Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 417).
Buya Hamka mengilustrasikan orang fakir adalah orang yang keperluan hidupnya sebesar 100 rupiah, namun dia hanya mampu mendapatkan penghasilan kurang dari setengah biaya kebutuhannya hidup. Adapun orang miskin adalah orang yang pendapatannya tidak memenuhi biaya kebutuhannya, namun sudah melebihi dari setengahnya. Dapat disimpulkan bahwa menurut Buya Hamka orang fakir dan miskin sama-sama orang yang belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, namun orang yang miskin tidak separah orang fakir.
Untuk memperkuat argumentasi ini, Buya Hamka menjadikan QS. Al-Kahfi [18]: 79 sebagai contoh bahwa orang miskin memiliki aset, meskipun tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika Nabi Khidir as. ditanya oleh Nabi Musa as. tentang alasan melubangi perahu, Nabi Khidir menjawab bahwa perahu itu milik orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedangkan raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang menurutnya bagus. QS. Al-Kahfi [18]: 79 menjadi petunjuk bahwa si pemilik perahu yang berusaha sebagai nelayan adalah orang miskin.
Baca Juga: Larangan Menimbun Barang dalam Surah Hud Ayat 85
Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan lebih rinci perbedaan definisi miskin dan fakir menurut ulama. Menurut Imam al-Syâfi’i orang fakir adalah orang yang mempunyai harta dan mata pencaharian yang tidak mencukupi dan tidak meminta-minta, sedangkan orang miskin adalah orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan sehingga meminta-minta merendahkan harga diri. Sebaliknya, menurut Imam Abû Hanîfah, miskin ialah apa yang dikatakan fakir menurut pengertian Imam al-Syâfi’i, dan yang dikatakan miskin menurut Imam al-Syâfi’i adalah fakir menurut Imam Abû Hanîfah.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa fakir dan miskin merupakan dua kata yang maknanya tidak sama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam memaknai kata tersebut, namun semua pendapat tersebut bersepakat bahwa fakir dan miskin merupakan sebutan bagi orang yang tidak kekurangan dan belum mampu mencukupi kebutuhannya.