Urgensi Ucapan Selamat atas Kelahiran Anak Perspektif Al-Qur`an

Kelahiran Anak
Ucapan Selamat atas Kelahiran Anak

Kelahiran anak merupakan salah satu buah cinta yang diharapkan sepasang suami-istri dari ikatan suci pernikahan. Anak adalah karunia, keberadaannya adalah nikmat dan amanat. Oleh karena itu, kelahiran sang buah hati bermakna sebagai bentuk “kepercayaan” Allah SWT kepada manusia yang patut disyukuri.

Terlepas dari paradigma pasutri yang menghendaki tidak “mau” punya anak (childfree), Islam memandang bahwa melahirkan dan memiliki keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan. Misalnya firman Allah SWT:

 فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ…   ١٨٧

“… Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu…” (Q. S. Al-Baqarah [2]: 187)

Ayat tersebut menurut Ibnu Katsir mengindikasikan anjuran untuk memiliki keturunan, yakni terdapat pada frasa “ma kataba Allahu”. Frasa tersebut secara gramatikal menurut Ibnu Katsir bermakna “anak” atau keturunan. Syahdan, penggalan ayat tersebut secara implisit berupa anjuran melahirkan anak melalui jalur pernikahan yang sah.

Selain itu, Islam juga memandang bahwa kelahiran anak merupakan rizki yang Allah SWT berikan kepada manusia (Q. S. 6: 151; 11: 6; 17: 31). Dalam kehidupan rumah tangga, anak (keturunan) ibarat tali pengikat yang dapat semakin menguatkan ikatan psikologis suami-istri. Dari sana lah kemudian semakin terang cahaya cinta dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Memberikan Kabar Gembira

Dalam budaya Islam dan budaya bangsa Indonesia, kelahiran seorang anak adalah kebahagiaan bagi orang tuanya, keluarga, tetangga, hingga sanak saudara. Sehingga memberikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran seorang anak adalah keniscayaan yang bahkan dianjurkan dalam Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman:

 وَلَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُنَآ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ۖ قَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَاۤءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ ٦٩ فَلَمَّا رَآٰ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّآ اُرْسِلْنَآ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍۗ ٧٠ وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ ٧١

 “[69] Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. [70] Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Luth. [71] Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub.” (Q. S. Hud [11]: 69-71)

Menurut Al-Zuhaili, ayat tersebut mendeskripsikan tentang kabar gembira (busyra) yang Allah SWT berikan kepada Nabi Ibrahim AS karena dua hal, yakni: 1) atas dibinasakannya kaum Luth, dan 2) atas kelahiran anak (Nabi Ishaq As) setelah masa menopause Siti Hajar yang terindikasi pada frasa “fabassyarnaha bi ishaq” dalam ayat 71 .

Selain itu, dalam ayat ini juga dijelaskan bagaimana para Malaikat mengucapkan “salam” kepada Nabi Ibrahim AS atas kabar gembira tersebut, begitu pula Nabi Ibrahim AS menjawab kembali salam tersebut lalu kemudian menghadirkan jamuan yang terbaik bagi para tamunya (Malaikat). Syahdan, ayat ini juga menurut Al-Zuhaili mengajarkan kepada kita untuk senantiasa memberikan ucapan selamat atas kebahagiaan saudara kita.

Urgensi Mengucapkan Selamat

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam “Tuhfatu al-Maudud bi Ahkami al-Maulud”, ucapan selamat dan menyebarkan kabar gembira atas kelahiran seorang anak setidaknya berdampak pada dua hal, yakni: 1) rasa syukur atas nikmat dan rizki yang diberikan Allah SWT melalui keturunan, dan 2) memperkuat kohesi sosial antar sesama muslim.

Bahkan dalam ayat lain, Allah SWT mengabadikan dalam Al-Qur`an bagaimana Nabi Isa AS mengucapkan tanda syukur atas kelahirannya dengan ucapan “selamat”. Allah SWT berfirman:

 وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا ٣٣

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Q. S. Maryam [19]: 33)

Diluar konteks ke-khasan ayat ini yang seringkali menjadi dalil kebolehan mengucapkan “selamat natal” kepada saudara non-muslim (Kristen), tentu ayat ini mengandung makna bahwa ungkapan “salam” memiliki makna yang mendalam. Imam al-Razi dalam “Mafatih Al-Ghaib” mencatat bahwa ungkapan salam Nabi Isa AS atas dirinya pada ayat tersebut seperti halnya salam sejahtera yang diberikan Allah SWT terhadap pribadinya (Isa AS). Hal ini berarti bahwa ucapan salam atau selamat juga berarti do’a yang tersemat.

Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa mengucapkan selamat atas kebahagiaan yang didapatkan oleh saudara kita. Dalam konteks ini, kebahagiaan memperoleh keturunan tentunya mendapatkan porsi yang cukup layak untuk digembirakan.

Memberikan ucapan selamat terhadap seseorang atas kelahiran buah hatinya lebih jauh lagi berarti memberikan surplus kebutuhan yang pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh manusia, yakni kebutuhan sosial dan afiliasi serta penghargaan atas segala usaha yang dilakukan sejak mengandung, melahirkan, hingga pada saatnya mendidik dan membesarkan keturunannya. Syahdan, ucapan selamat dan do’a yang terkesan sederhana ternyata menyimpan banyak manfaat luar biasa, baik secara internal (orang tua anak) maupun eksternal (solidaritas sosial). Wallahu a’lam.