Vernakularisasi adalah upaya pembahasaan lokal terhadap ajaran Islam (Al-Qur’an) yang diterjemahkan dan ditulis mengunakan bahasa dan aksara lokal, baik secara lisan maupun tulisan. Menurut tulisan Jajang A. Rohmana yang berjudul Kajian Al-Qur’an di Tataran Sunda: Sebuah Penulisan Awal, vernakularisasi Al-Qur’an berkembang di hampir seluruh kawasan Nusantara jauh sebelum abad ke-16. Misalnya daerah Jawa, Sunda, Aceh Madura, Bugis, Gorontalo dan lainnya.
Vernakularisasi dalam kajian Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak memiliki dua alasan, yaitu: Pertama, sebagai bentuk membumikan Al-Qur’an kepada masyarakat Muslim Indonesia yang notabenenya tidak paham bahasa Arab. Kedua, upaya melestarikan warisan budaya lokal, yaitu bahasa daerah.
Upaya membumikan Al-Qur’an melalui bahasa lokal juga terjadi di tanah rencong, Aceh. Yaitu dengan diterbitkannya Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, karya Tgk. Mahjiddin Jusuf yang ditulis pada tahun 1955 -1995, menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk sajak.
Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah
Di Dalam kata pengantarnya Tgk. Mahjiddin mengatakan bahwa dalam proses penerjemahann dia bukan sekedar memberikan informasi, tetapi juga berupaya mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna dengan latar budaya dan lingkungan pembaca.
Seperti halnya ketika Tgk. Mahjiddin ketika menerjemahkan tentang pengusiran Adam dan Hawa dari syurga pada surat Al-‘Araf ayat 18, yaitu teubit laju kah keudeh hina ngon paleh hana meutuah. Terjemahan Tgk. Mahjiddin dalam memilih kata ia menggunakan diksi kah (bahasa kasar untuk kamu) dan paleh (kurang ajar). Hal ini jika dibaca oleh orang yang memahami bahasa Aceh maka akan tergambar sangat jelas murka Allah kepada Adam dan Hawa.
Al-Qur’an Sesuai dengan Corak dan Budaya masyarakat
Pembendaharaan kata yang dipilih Tgk. Mahjiddin tidak terjadi mutlak dari hasil pemikirannya, melainkan hasil dari persepsi dan interpretasi terhadap latar sosioal budaya. Kemudian dalam karya yang berjudul Isthanti Al-Quran Pengenalan Studi Al-Qur’an Pendekatan Interdisipliner oleh Imam Musbikin, bahwa keterpengaruhan ini sangat wajar terjadi karena ketika Al-Qur’an disentuh dengan budaya masyarakat tertentu, maka ia akan berubah bentuk sesuai dengan corak dan budaya masyarakat tersebut.
Ahmad Muzakki, dalam bukunya Konstribusi Semiotika dalam Memahani Bahasa Agama, juga mengatakan bahwa kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang kita maksud. Dan makna tidak dapat disusun di mana pun dalam pikiran manusia, karena makna adalah produk pengalaman. Kalau saja makna sudah diprogramkan dan disusun dalam pikiran manusia, maka mestinya orang akan menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran yang sama pula. Namun, realitanya sekarang penafsiran dan terjemahan terhadap Al-Qur’an terus berkembang dengan berbagai bahasa dan corak.
Baca juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77
Dalam Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh ini pun, unsur budaya masyarakat Aceh ikut terserap dalam proses terjemahan, baik disadari atau pun tidak. Salah satu budaya masyarakat Aceh yang ikut terserap dalam terjemahan adalah budaya memuliakan tamu atau dalam bahasa Aceh adalah peumulia jamee. Berikut beberapa terjemahan yang memuat budaya memuliakan tamu:
Budaya Memuliakan Tamu dalam Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh
- Surat Yusuf Ayat 59
وَلَمَّا جَهَّزَهُم بِجَهَازِهِمْ قَالَ ٱئْتُونِى بِأَخٍ لَّكُم مِّنْ أَبِيكُمْ ۚ أَلَا تَرَوْنَ أَنِّىٓ أُوفِى ٱلْكَيْلَ وَأَنَا۠ خَيْرُ ٱلْمُنزِلِينَ
Dan tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata: “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah Sebaik-baik penerima tamu?
Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh:
Geubot khanduri teuma le bagah
Jamee nyan bandum geupeumulia
Yusuf kheun teuma narit sipatah
‘Oh tajak keunoe teuma beu taba
Chedara gata nyang saboh ayah
Takalon di lon cukop lonsukat
Lon bri ngon teumpat nyang got that leupah
Ayat di atas menceritakan tentang pembagian makanan yang diberikan oleh pemerintah Mesir kepada orang-orang yang membutuhkan makanan, karena pada saat itu Mesir sedang dilanda paceklik. Menurut Quraish Shihab, pada saat itu pembagian makanan lansung diawasi oleh Nabi Yusuf.
Dalam Al-Qur’an Terjemahan Republik Indonesia kata jahhaza diterjemahkan dengan dengan ‘menyiapkan bahan makan’, sedangkan Tgk. Mahjiddin menerjemahkannya dengan geubot khanduri. Geubot Khanduri adalah hidangan berbagai jenis makanan yang disuguhkan kepada tamu sebagai bentuk memuliakan tamu, biasanya hidangan tersebut disajikan menggunakan talam.
Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Inilah Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia
Diksi Jamee nyan bandum geupeumulia (semua tamu dimuliakan) semakin memperjelas bahwa hidangan yang diberikan bertujuan untuk memuliakan tamu, karena tradisi menjamu tamu dengan hidangan adalah perbuatan mulia bagi masyarakat Aceh. Bahkan dari mereka terkadang terlihat begitu sibuk mempersiapkan keperluan tamu karena tidak rela membuat para tamu menunggu lama. Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Aceh ramah dan sangat memuliakan tamu.
- Surat Yusuf Ayat 31
فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَـًٔا وَءَاتَتْ كُلَّ وَٰحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ ٱخْرُجْ عَلَيْهِنَّ ۖ فَلَمَّا رَأَيْنَهُۥٓ أَكْبَرْنَهُۥ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَٰشَ لِلَّهِ مَا هَٰذَا بَشَرًا إِنْ هَٰذَآ إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka…
Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh:
‘Oh ban jideungo narit awaknyan
Jimeuhoi yohnyan jilakee langkah
Ka jiseudia dum ngon boh kayee
Jimeutop malee jipeugot ilah
Jijok ngon sikin dum saboh sapo
Tujuan meuho hana jipeugah
Jikheun bak Yusuf jak teubiet siat
Tajak horomat jame troh langkah
Ayat 31 ini menceritakan tentang jamuan Zulaikha kepada wanita-wanita Mesir yang telah mengunjingnya. Ketika semua jamuan telah disediakan dihadapan wanita-wanita tersebut, Zulaikha memerintahkan Nabi Yusuf untuk keluar. Dalam Al-Qur’an Terjemahan Republik Indonesia kata ukhruj diterjemahkan dengan keluarlah dengan maksud untuk nampakkanlah diri kepada mereka. Sebagai mana penjelasan Quraish Shihab bahwa jamuan tersebut bertujuan untuk menunjukkan kepada wanita-wanita tersebut bahwa apa yang terjadi pada dirinya dapat pula terjadi pada diri mereka, yaitu terpesona dengan Nabi Yusuf. (Tafsir Al-Misbah, Jil.6, h. 445)
Tgk. Mahjiddin juga menerjemahkan ukhruj dengan keluar, tapi dengan maksud keluar untuk menghormati kedatangan para tamu (tajak horomat jame troh langkah). Hal ini karena dalam kehidupan masyarakat Aceh, kedatangan tamu akan disambut suka-cita oleh seluruh penghuni rumah. Para orang tua terkadang akan memanggil anak-anak mereka untuk sekedar menyalami para tamu sebagai bentuk sopan santun dan menghargai kedatangan tamu.
Hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Tgk. Mahjiddin adalah bentuk penegasan identitas kultur dalam terjemahan Al-Qur’an. Selain itu, justru dengan mengadopsi budaya Aceh, nilai-nilai Qur’ani dapat langsung berintegrasi dengan budaya lokal setempat. Wallahu ‘Alam