Tradisi menulis buku keagamaan dengan bahasa Arab tidak hanya dilakukan oleh ulama Timur Tengah saja. Dalam perkembanganya, banyak juga ulama, akademisi, dan intelektual non-Arab, khususnya Indonesia, yang memiliki karya-karya tulisan berbahasa Arab. Salah satu ulama Indonesia tersebut adalah Ahmad Yasin Asymuni dengan karyanya kitab, Wa ‘Allama Adam al-Asma’.
Biografi Ahmad Yasin Asymuni
Seorang kiai yang bernama lengkap Ahmad Yasin bin Asymuni ini lahir pada tanggal 8 Agustus 1963, di Dusun Pethuk, Desa Poh Rubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Ahmad Yasin dilahirkan dari pasangan KH. Asymuni dan Nyai Hj. Muthmainnah. Sejak kecil, Ahmad Yasin Asymuni tumbuh berkembang dari lingkungan keluarga yang religius dan cinta akan ilmu.
Kemudian, pada usia 6 tahun, Ahmad Yasin Asymuni menempuh pendidikan formalnya di dua lembaga pendidikan sekaligus, yaitu ketika pagi hari sekolah di SD (Sekolah Dasar), dan sore hari di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri). Tidak berhenti disitu, ia masih harus belajar ilmu-ilmu dasar keislaman kepada ayahnya yaitu KH. Asymuni ketika malam hari. Pada tahun 1975-1982, selepas lulus SD, Ahmad Yasin melanjutkan jenjang pendidikan Tsanawiyah-Aliyah di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, Pondok Pesantren Lirboyo.
Dalam skripsi A. Choirul Amin yang berjudul Metodologi Penafsiran KH. Ahmad Yasin Asymuni, dijelaskan bahwa Ahmad Yasin tidak hanya belajar di Lirboyo, pada kurun tahun 1979-1988, ia juga melakukan ngaji kilatan Ramadhan di beberapa pesantren yang berada di Jawa Timur. Berdasarkan data tersebut, maka bisa dikatakan bahwa Ahmad Yasin Asymuni merupakan seorang mufasir Indonesia yang murni lahir dari rahim pondok pesantren.
Setelah puas menuntut ilmu di berbagai pesantren, Ahmad Yasin mulai aktif mengajar kutub al-turats baik dalam lingkup masyarakat maupun pesantren. Pada tahun 1983, Ahmad Yasin diangkat sebagai guru bantu (munawwib) di Lirboyo. Lalu, pada tahun 1984, ia diangkat sebagai guru tetap (mustahiq) di pesantren tersebut. Kemudian, pada tahun 1993, Ahmad Yasin mulai merintis kembali pondok pesantren yang dahulunya pernah didirikan oleh kakeknya pada tahun 1890-an dengan nama Pondok Pesantren Takhassus Fikih Hidayatut Thullab atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Pondok Pethuk”.
Dari masa mondok hingga dewasa, Ahmad Yasin dikenal sebagai seorang kiai yang cerdas dalam bidang fikih. Berkat kecerdasan tersebut, menjadikan Ahmad Yasin banyak diutus untuk menjadi delegasi peserta bahts al-masail di berbagai forum ilmiah lintas pesantren. Kemudian, ia juga aktif LBM NU (Lembaga Bahtsul Masail NU) dan syuriyah NU Jawa Timur.
Ahmad Yasin Asymuni wafat pada tanggal 11 Januari 2021. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai kiai yang sangat super produktif. Hal ini dibuktikan dengan karyanya yang mencapai 220-an karya kitab. Karya-karya tersebut mencakup berbagai bidang keilmuan Islam, mulai dari fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan lain-lain. Misalnya, ada kitab Tashil al-Mudahi, Tashil al-’Awam, Tashil al-Tullab, Hikayat al-Mu’azzibin, Tafsir Bismillahirrahmanirrahim, Masail al-Shalat, Makarim al-Akhlaq, Wa ‘Allama Adam al-Asma’ dan masih banyak lainnya.
Deskripsi Kitab Wa ‘Allama Adam al-Asma’
Kitab karya Ahmad Yasin Asymuni ini memiliki judul lengkap Wa ‘Allama Adam al-Asma’ fi Bayan Ma’na al-Ayah wa Fadhilah al-’Ilm wa al-’Alim wa al-Ta’allum wa al-Ta’allum al-Qur’an wa al-Akhbar wa al-Atsar wa al-Hikayat wa al-Syawahid al-’Aqliyah. Kitab tafsir tematik yang ringkas tersusun dari 40 halaman dan dicetak oleh penerbit Pondok Pesantren Hidayatut Tullab, Kediri.
Tidak diketahui secara pasti kapan alumni Lirboyo tersebut menulis kitab ini. Adapun terkait susunan pembahasanya, secara garis besar kitab ini diawali dengan penyampaian mukaddimah, lalu penjelasan penafsiran ayat QS. al-Baqarah [2]: 11, keutamaan ilmu dan buku, keutamaan ilmu dan orang ahli ilmu, keutamaan belajar, dan cerita-cerita tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu.
Terkait latar belakang penulisan kitab ini, sang muallif ingin menjelaskan akan tingginya keutamaan ilmu melalui ibrah dari kisah penciptaan Nabi Adam dan proses edukasi Tuhan kepada Nabi Adam melalui pengajaran terkait nama-nama (benda) semuanya. Selain sebagai bentuk wujud dari keutamaan ilmu, hal tersebut juga menjadi bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada ciptaan-Nya yaitu manusia.
Kemudian, terkait sumber rujukan kitab tafsirnya, dalam menjelaskan tafsir ayat QS. al-Baqarah [2]: 219 mufasir asal Kediri ini menyampaikan dalam akhir kitabnya bahwasanya sebagian besar isi penafsiran diambil dari kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Lalu ditambah penjelasan dari Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari, dan Ithaf al-Sadah Syarh Ihya’ ‘Ulum al-Din karya az-Zabidi.
Baca Juga: Mengenal Tafsir Al-Ubairiz Karya Gus Mus
Contoh Penafsiran
Contoh penafsiran kyai Ahmad Yasin Asymuni ini dapat dilihat pada penafsiran surah Al-Baqarah [2] ayat 11, ayat yang menjadi fokus bahasan dari kitab tafsir,
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ – ٣١
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”
Ahmad Yasin Asymuni menafsirkan kalimat wa ‘allama adam al-asma’ kullaha sebagai pengajaran Allah kepada Nabi Adam terkait sifat-sifat, kekhususan dari nama-nama yang diajarkan. Kemudian, kalimat tsumma ‘aradlahum ‘ala al-malaikah ditafsirkan oleh Ahmad Yasin dengan mengutip hasil penafsiran dari al-Thabari. Menurutnya, para mufasir berbeda pendapat dalam memahami kalimat tersebut. Namun, menurut pendapat Ibnu Abbas, maksud dari kalimat tersebut adalah kemudian Dia perlihatkan nama-nama ini, yaitu nama-nama (al-asma’) dari setiap segala sesuatu yang Allah ajarkan kepada Nabi Adam dari berbagai jenis bentuk penciptaan kepada malaikat.
Selanjutnya, kalimat faqala anahmabi’uniy bi asma’ haula’, kata anbi’uniy memiliki makna yang sama dengan kata akhbirniy yaitu kabarkanlah padaku. Kemudian, ia mengutip pendapat Fakhr al-Razi berikut:
قَالَ الفَخْرُ الرَّازِيْ مِنَ النَّاسِ مَنْ تَمَسَّكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (اَنْبِئُوْنِيْ بِاَسْمَآءِ هَؤُلَآءِ) عَلَى جَوَازِ تَكْلِيْفِ مَا لَا يُطَاقُ وَهُوَ ضَعِيْفٌ. لِأَنَّهُ تَعَالَى إِنَّمَا اِسْتنبأهم مَعَ عِلْمِهِ تَعَالَى بِعَجْزِهِمْ عَلَى سَبِيْلِ التَّبْكِيْتِ
“Fakhr al-Razi berkata bahwa terdapat sebagian orang yang berpegang dengan firman Allah (Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini) ini sebagai kebolehan pembebanan sesuatu yang tidak kuasa untuk diemban, dan hal yang demikian merupakan pendapat yang lemah. Dikarenakan Allah meminta mereka (malaikat) memberikan kabar walaupun Allah mengetahui akan kelemahan mereka hanyalah sebagai media untuk menegur”
Terakhir, pada kalimat in kuntum sadiqin, Ahmad Yasin Asymuni menjelaskan bahwa kalimat tersebut mengandung empat dimensi makna, yaitu (1) beritahu aku nama-nama tersebut, jika kalian mengetahuinya maka kalian orang-orang yang benar dalam pemberitahuan tersebut; (2) sebagai penegasan (taukid) akan kelemahan malaikat yang telah diperingatkan oleh-Nya; (3) jika kamu benar dalam pengucapanmu bahwasanya tidak ada sesuatu yang disembah oleh makhluk kecuali kalian memperbaiki dan berdiri dengan-Nya. Ini merupakan pendapat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud; (4) jika kamu benar dalam ucapanmu bahwasanya Aku tidak menciptakan makhluk kecuali kalian lebih tahu darinya maka beritahu aku tentang nama-nama benda ini.
Baca Juga: Belajar dari Mbah Fadhal al-Senory, Guru Besar Ulama Nusantara dan Tafsir Fikihnya
Setelah menjelaskan penafsiran tersebut, Ahmad Yasin Asymuni kemudian panjang lebar menjelaskan keutamaan ilmu, orang yang berilmu, dan proses menuntut ilmu. Baik berdasarkan penjelasan dari dalil-dalil Al-Qur’an, seperti QS. az-Zumar [39]: 9, QS. Fathir [35]: 27, QS. al-Mujadilah [58]: 11, dan masih banyak ayat lainya. Kemudian ia juga menyampaikan keutamaan ilmu, dan orang yang berilmu berdasarkan hadis. Misalnya dalam riwayat Abu Hurairah berikut:
مَنْ صَلَّى خَلْفَ عَالِمٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَكَأَنَّمَا صَلَّى خَلْفَ نَبِيٍّ ِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
“Barangsiapa yang shalat dibelakang salah seorang ‘alim dari para ulama’ maka ia seperti shalat di belakang seorang Nabi dari para Nabi’”
Tidak cukup itu, Ahmad Yasin juga menyampaikan kisah-kisah (hikayat) inspiratif dari ulama terdahulu terkait keutamaan ilmu dan orang yang berilmu. Seperti kisah Husain ibn Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Sulaiman ibn Abd al-Malik, Yahya ibn Ya’mar, dan Sulaiman ibn Katsir. Terakhir, Ahmad Yasin menutup ulasan kitabnya dengan menguraikan alasan-alasan logis yang mendukung akan keutamaan ilmu. Wallahu A’lam