Hans-Georg Gadamer merupakan seorang filsuf dan pemikir yang hidup sepanjang abad ke-20. Ia lahir di Marburg tanggal 11 Februari 1990 dari kalangan keluarga menengah dan memiliki karir akademik yang tinggi. Ayahnya seorang ahli kimia dan memuja ilmu-ilmu alam dan merendahkan kajian humaniora (Hardiman, 2015: 156-157). Namun, ternyata pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ tidak berlaku dalam kehidupan intelektual Gadamer. Ia memutuskan untuk terjun dalam dunia filsafat.
Hans-Georg Gadamer banyak menimba ilmu kepada beberapa filsuf terkenal seperti Heidegger, Nikolai Hartman, dan Rudolf Bultmann (Sumaryono, 1999: 67). Khususnya perjumpaan Gadamer dengan Heidegger banyak mempengaruhi pemikiran filsafatnya. Melalui Heidegger juga, ia belajar tentang pra-struktur pemahaman yang terikat dengan dimensi ontologis manusia, disebut dasein. Maka Hermeneutika Gadamer pun dikategorikan sebagai bagian dari Hermeneutika Filosofis.
Baca Juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran
Dalam teorinya, Hans-Georg Gadamer tidak menjelaskan secara detail mengenai metode khusus dalam memahami sebuah teks. Alasan mendasarnya, Gadamer tidak ingin terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk semua bidang sosial dan humaniora. Namun konsep-konsep hermeneutika yang digagas Gadamer bisa dikatakan secara khusus dapat memperkuat jembatan dalam memahami teks.
Sahiron Syamsuddin dalam karyanya Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an mengklasifikasikan teori Hans-Georg Gadamer ke dalam empat konsep besar yaitu: 1) Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah (Affective History); 2) Teori Prapemahaman; 3) Teori Penggabungan/Asimilasi Horizon; 4) Teori Penerapan/ Aplikasi (Syamsuddin, 2017: 76-83).
Secara singkat teori-teori yang disebut di atas sangat bersesuian dengan teori-teori ulumul Qur’an maupun penafsiran yang dibangun di atas tradisi mufassir muslim. Dalam kasus ini, penjelasan Syamsuddin dapat dijadikan basis utama dalam menemukan titik-titik persamaan dua bangun teori yang berbeda dari sisi tradisi ini.
Syamsuddin mengelaborasikan bahwa teori “prapemahaman”, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sang mufassir, dapat dimaknai sebagai al-ra’y, yang dalam sebuah hadis dilarang untuk digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab al-ra’y di sana tidak bermakna al-‘aql atau pikiran yang berdasar secara ilmiah (Syamsuddin, 2017: 84-86). Maka inti dari teori ini adalah sebagai peringatan kepada penafsir agar tidak terjebak dalam horizon (cakrawala pengetahuan) subjektifnya, sebab masih ada horizon objektif yang harus digali.
Selanjutnya, Syamsuddin mengelaborasikan kesesuaian antara teori fusion of horizon dan dirasah ma fi al-Qur’an dan ma hawla al-Qur’an Amin al-Khulli. Walhasil, dijumpai bahwa teori yang yang dibangun Gadamer menekankan kepada seorang pembaca (mufassir) untuk melakukan analisis historis-linguistik agar mendapatkan apa yang disebut sebagai horizon teks yang kemudian nantinya akan direlevansikan dengan asumsi awal seorang penafsir (horizon mufassir) untuk direaktualisasikan (Syamsuddin, 2017: 86-87).
Sederhananya, kedua horizon tersebut berdiri dalam realitas sejarahnya masing-masing. Gadamer menyebut realitas sejarah tersebut dengan sebutan sejarah efektif atau effective history. Konsep ini dipahami untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari teks historis. Pertama, masa lampau di mana teks tersebut dilahirkan dan makna teks bukan hanya milik pengarang, melainkan juga milik setiap orang yang membacanya. Kedua, masa kini di mana penafsir datang dengan ‘segudang’ prasangka (prejudice). Prasangka ini akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga menghasilkan suatu produksi makna. Ketiga, masa depan, di mana terdapat nuansa baru yang produktif (Muslih, 2005: 143).
Dalam hemat penulis, gagasan ini sebenarnya telah dibangun sejak abad ke 8 oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam teori Maqashid al-Syariah-nya. Sebab dalam teorinya telah dibangun, asumsi dasar sebelum aktivitas penafsiran adalah bahwa al-Qur’an memuat nilai-nilai universal yang dihimpun dalam lima nilai pokok yang disebut maqashid al-syariah. Lalu dari asumsi itu dibangun sebuah metode penafsiran yang tidak hanya melihat dzohir ayat namun juga mempertimbangkan siyaq al-kalam untuk menguji asumsi yang telah dibangun, sekaligus mendapatkan nilai unversal (illah) dari teks yang nantinya bisa diaplikasikan dalam menjawab persoalan yang terjadi di zaman sang mufassir (al-Raisuni, 1992: 116).
Baca Juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an
Menurut hemat penulis, dalam konteks pengembangan riset keilmuan di bidang Ilmu al-Qur’an dan Tafsir perlu adanya upaya untuk mengkombinasikan penggunaan teori yakni yang berasal dari Timur dan Barat. Hal ini sebenarnya untuk mereduksi anggapan bahwa teori Barat jauh lebih unggul, maupun klaim bahwa teori Timur lebih shahih diterapkan.
Sebab khazanah Timur ternyata mampu bersaing dan tidak jarang menjadi dasar pengembangan teori-teori yang ada di Barat—sehingga tidak tepat jika dikatakan berada di bawah Barat. Dan khazanah Barat juga merupakan ilmu atau produk pengetahuan yang sifatnya universal sehingga tidak layak untuk direndahkan dengan klaim teologis, kecuali ditinggalkan jika di dalamnya terdapat unsur-unsur yang tidak tepat diaplikasikan. Wallahu a’lam.