Jika dalam pembahasan sebelumnya memaparkan penjelasan Buya Hamka pada kitab Tafsirnya terkait penggunaan bahasa lokal untuk mengagungkan Allah, tulisan sebelumnya ada di sini, lalu apakah boleh menggunakan bahasa lokal atau selain bahasa Arab ketika salat?
Pembahasan ini masih dalam tafsiran surat al-Fatihah. Di pembahasan ini juga, Buya Hamka memberikan penjelasan dengan memotret peristiwa yang terjadi saat itu. Buya Hamka mengaitkannya dengan isu yang beredar, yakni sebuah “usulan” dari luar, untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam bacaan salat. Dengan dalih guna mempertahankan bahasa nasional.
Jika “usulan” tersebut disetujui, maka terancamlah kita, kata Buya Hamka. Karena akan memutuskan umat muslim dari pangkal agama dan keorisinalitasan ayat seperti yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.
Baca juga: Tafsir Al-Azhar (1): Penggunaan Bahasa Lokal dalam Mengagungkan Nama Allah
Menurut Buya Hamka, “usulan” untuk menggunakan bahasa selain bahasa Arab ketika melangsungkan salat merupakan sisa-sisa dari bentuk penjajahan yang berupaya merubah cara berpikir kita. Itu memang tujuan dari bangsa penjajah, yakni terus mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab, agar bahasanya sendiri bisa membumi.
Pada saat itu, tidak hanya bahasa Arab yang ingin dihilangkan oleh para bangsa penjajah, namun juga bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan Buya Hamka,
“Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar bercakap dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya bercakap dalam bahasa Belanda”.
Maka dari itu, Buya Hamka memberikan kritik atas bahasa Belanda. Singkatnya, transliterasi yang tepat untuk bahasa Indonesia adalah bahasa Arab bukan bahasa Belanda. Seperti contoh, bahasa Arab dari rumahku adalah baiti. Sedangkan dalam bahasa Belanda Mijn Huis, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi saya rumah atau aku rumah.
Lebih dari itu, Buya Hamka menaruh rasa keheranan, kenapa hendak ingin merubah bacaan bahasa Arab dalam salat. Padahal, di sekiar abad 3 dan 4 Hijriyah, ada gerakan di Persia namanya Syu’ubiyah. Tujuan dari gerakan ini yaitu menafikan kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain. Sekalipun demikian, tidak ada dari mereka keinginan untuk merubah bacaan salat ke dalam bahasa Persia.
Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran
Imam Hanafi memang pernah memberikan sebuah ijtihad, bahwa diperbolehkannya untuk sementara waktu memakai bahasa Persia dalam salat bagi mereka yang baru saja memeluk agama Islam (muallaf). Namun, ijtihad itu tidak mendapatkan sambutan, bahkan para muridnya memberikan bantahan akan hal tersebut. Jadi, lebih baik mendengarkan bacaan imamnya, sebelum pandai membaca, dari pada melafalkannya dengan bahasa lain. Karena itu bisa membuat salat tidak sah.
Buya Hamka memberikan contoh peristiwa yang terjadi di Turki. Yakni, Mustafa Kemal Attarturk yang senantiasa berusaha men-Turkikan segala hal yang berbau Arab. Attarturk juga penah memerintahkan untuk mengganti lafal azan dengan bahasa Turki. Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Semua kembali ke semula setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar berhasil menduduki Turki.
Dengan demikian, Buya Hamka berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya seorang muslim mengganti bacaan salat dengan bahasa selain bahasa Arab yang telah ditentukan. Karena itu bisa membuat salat yang kita lakukan menjadi tidak sah.
Jadi, sikap kita mencintai bahasa ibu/ bahasa pertiwi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme itu boleh, dan bahkan sebuah keharusan. Namun, jangan sampai hal itu merusak pusaka akidah yang kita anut. Demikian Buya Hamka berpesan kepada kita, generasi bangsa. Wallahu a’lam []