Menjaga agama menjadi salah satu maqashid al-syari’ah yang primer. Dewasa ini bahkan kata-kata “bela agama” dan juga “bela al-Qur’an” kerap kali mewarnai aksi-aksi demonstrasi yang diikuti oleh salah satu komunitas umat Islam tertentu atas fenomena-fenomena yang menurut mereka dapat mengancam keberlangsungan Islam sebagai agama.
Tulisan ini bukan ditujukan sebagai respon atas fenomena “bela agama”, namun sebagai tambahan referensi dalam wacana ini. Berikut ini merupakan ulasan atas pandangan Abdul Majid Najar, dalam karyanya Maqashid al-Syari’ah bi Ab’ad Jadidah yang mengulas empat poin penting dalam menjaga agam dalam bingkai maqashid syari’ah:
1. Menjaga agama dengan mempermudahnya
Menjaga agama dengan mempermudahnya yaitu memudahkannya dan mengurangi kesulitannya. Al-Qur’an dan hadis telah menyebutkan perintah untuk beragama secara mudah dan tidak berlebihan. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah, Q.S. al-Baqarah [2]: 185
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Ayat ini menerangkan salah satu kemudahan yang diberikan oleh syariat Islam kepada pelakunya. Salah satu contoh kemudahan tersebut adalah tatkala masuk bulan Ramadhan dan pada saat itu jika ada umat Islam yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan yang mengharuskan untuk tidak berpuasa, maka Islam memberikan kelonggaran dengan membolehkan puasa itu diganti atau digenapkan di hari lain di luar bulan Ramadhan.
Selain itu, terdapat hadis berikut ini,
إنما بعثتم ميسرين و لم تبعثوا معسرين
“Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan kalian, bukan untuk menyulitkan kalian”
Penggalan hadis ini sebenarnya merupakan bagian dari hadis yang bercerita tentang seorang Badui yang kencing di masjid dan kala itu rasulullah dan beberapa sahabat ada di sana. Maka sahabat yang jengkel ingin menghalangi Badui tersebut, namun tidak diperbolehkan oleh Nabi dan justru meminta sahabat membiarkannya hingga selesai. Setelah Badui itu selesai, Nabi meminta sahabat menyiram kencing itu dengan satu ember air dan memberitahu Badui itu dengan halu bahwa ia tidak boleh kencing di masjid dan harus memuliakannya.
Baca Juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam
Setelah mendengar perintah Rasulullah, sahabat kemudian menyiramnya dan masjid pun kembali suci. Maka Nabi pun mengucapkan kalimat itu sebagai isyarat bahwa jika seandainya sahabat menghalangi Badui itu kencing, maka justru kencingnya akan kemana-mana dan justru membuat pekerjaan lebih susah. Kemudian Nabi juga mendapat doa dari Badui itu karena telah mengingatkannya dengan halus dan bukan dengan kekerasan atau makian.
Hikmah dari penggalan ayat dan hadis tersebut adalah Islam mengajarkan umatnya bahwa Islam adalah agama yang mudah untuk dijalankan. Maka maksud dari beragama dengan mudah tersebut adalah menjalankan syariat agama itu sendiri dan tidak berlebihan atau seolah-olah menampilkan bahwa Islam itu agama yang ruwet. Dengan begitu, dakwah Islam akan semakin mudah diterima dan lebih banyak mendapat simpati.
2. Menjaga agama dengan berijtihad
Ijtihad diperlukan sebagai pelaksanaan hukum syar’i yang kebanyakan bersifat umum. Ijtihad dalam hal ini adalah bersungguh-sungguh dalam berpendapat tentang suatu hukum nash dengan dalil dzhonni dan menunujukkan hal itu adalah perintah syari’at serta menetapkan hal yang belum ditetapkan dalam syari’at berdasarkan metode yang diketahui ahli ilmu (fikih). Dengan begitu dimungkinkan semua hal yang dilakukan atau ditinggalkan manusia dalam hal agama adalah berdasarkan hukum syari’at baik dengan cara langsung maupun ijtihad. Hal itu berarti segala perbuatan manusia untuk Allah memiliki hukum perintah, larangan, ataupun kebolehan.
Dalam syari’ah Islam, Ijtihad dihukumi fardhu kifayah untuk muslim. Ijtihad yang termasuk dalam cara menjaga agama ini ditujukan untuk memperlihatkan bahawa agama akan selalu hadir dalam setiap konteks kehidupan dan tidak akan pernah usang. Apabila tidak terdapat seorang muslim yang berijtihad untuk menetapkan suatu hukum (atas masalah baru) yang diperlukan, maka umat Islam akan beragama dengan tanpa tuntunan dan hal ini akan memberikan citra buruk bagi Islam yang dianggap tidak mampu menghadapi tantangan zaman. Maka dari itu, ijtihad merupakan salah satu cara dalam menjaga agama.
3. Menjaga agama dengan menyampaikannya (dakwah)
Menyampaikan agama dalam hal ini bertujuan untuk menunjukkan agama kepada manusia. Hal ini merupakan kewajiban dalam hukum syari’at. Berikut ini dalil al-Qur’an yang mengatakan hal tersebut :
قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Surah Yusuf Ayat 108)
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surah Ali Imran Ayat 104)
Baca Juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125
Dakwah menjadi salah satu cara untuk menjaga dan menunjukkan konsistensi serta ketersinambungan Islam. Maka dakwah perlu dilakukan dengan strategi yang mempertimbangkan konteks sosio-antropologis audiens yang akan didakwahi agar mendapatkan simpati mereka.
4. Menjaga agama dengan kekuasaan
Masuk dalam tatanan penguasa dan memiliki kekuasaan termasuk salah satu cara menjaga agama karena dengan ada kekuasaan, maka akan ada power untuk menegakkan syariat agama. Mengutip salah satu ungkapan Gus Baha’ bahwa seribu ulama yang mengeluarkan fatwa haram pada aktivitas nyundel (PSK), tidak akan mampu menutup lokalisasi tanpa power sebagai pejabat yang punya kuasa untuk itu.
Maka jika menengok Q.S. al-Maidah [5]: 51, yang sempat menjadi akar konflik beberapa tahun lalu, di dalamnya sebenarnya ada isyarat bahwa umat Islam haruslah mempersiapkan kader-kadernya sebagai pemimpin dan ikut serta dalam perpolitikan. Sebab dengan begitu umat Islam dapat menjaga keberlangsungan pelaksanaan syariat-syariatnya dan tidak mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang berbeda serta memiliki tujuan-tujuan politis tertentu. Wallahu a’lam.