Kisah mimpi Yusuf bukan wahyu karena waktu itu Yusuf masih kecil belum menjadi seorang Nabi, meskipun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Mimpi tidak hanya bunga tidur yang tidak ada artinya bagi sebagian orang. Keabsahan sebuah mimpi juga dialami oleh orang-orang shaleh meskipun bukan seorang Nabi, yakni mimpi itu bukan sebagai wahyu.
Dalam tafsir surah Yusuf ayat 4 ini membahas dua hal. Pertama, mimpi Yusuf bukan wahyu. Kedua, pembagian dan kebenaran sebuah mimpi menurut Rasulullah Saw. Berikut ini penafsiran surah Yusuf ayat 4:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ (4)
Ingatlah! Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, wahai ayahku! Sungguh, aku melihat (bermimpi) sebelas Bintang, Matahari dan Bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku.
Para mufassir memulai menjelaskan mimpi Yusuf dengan mengawali penjelasan tentang nama Yusuf secara detail. Menurut Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf, Yusuf adalah nama yang berasal dari bahasa Ibarani. Menurutnya tidak benar karena kata Yusuf sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, dan jika berasal dari bahasa Arab, maka nama tersebut ada bentuk perubahan. Sedangkan kata Yusuf tidak dapat berubah, karena tidak adanya sebab akhir selain bentuk ma’rifah.
Baca juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin
Dikutip dari Tafsir al-Tsa’laby bahwa sebagian ulama yang mengatakan bahwa kata Yusuf berasal dari bahasa Arab adalah Abu al-Hasan al-Aqtha’. Menurutnya penamaan Yusuf merupakan persatuan dari al-aasif dan al-asiif. Jika al-aasif memiliki arti sedih, sedangkan al-asiif berarti ‘abd atau hamba sahaya.
Kemudian ada juga ulama yang membaca Yusuf dengan Yusif dan Yusaf. Lantas apakah perubahan bacaan itu, kata Yusuf bisa dikatakan berasal bahasa Arab? Dengan alasan berasal dari bentuk kedua (fi’il mudhari’) dalam bentuk pasif (mabni fa’il atau majhul), apakah tidak dibaca tanwin karena ma’rifah dan wazan al-fi’il?
Al-Zamakhsyary menjawab tidak, karena qira’ah yang masyhur berdasarkan kesaksian (Syahadah), bahwa kata Yusuf adalah a’jamiyah, maka tidak bisa dalam satu waktu bahasa Arab dan a’jamiyah (bukan bahasa Arab) dalam waktu yang lain.
Baca juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid
Mimpi Nabi Yusuf Datang Sebelum Menjadi Nabi
Ayat empat dari surah Yusuf ini menjelaskan tentang kebenaran sebuah mimpi meskipun bukan mimpi seorang Nabi. Al-Jashshas, Ahkam al-Quran li al-Jashshas menjelaskan pada waktu itu Yusuf masih anak kecil, belum menjadi seorang Nabi. Meskipun jamak mufassir yang menafsirkan ayat ini dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abbas berikut:
إن رؤيا الأنبياء كانت وحيًا.
Sesungguhnya mimpi para Nabi adalah wahyu. (Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran, 15/554).
Pada kitab Bahr al-Ulum li al-Samarqandy riwayat al-Kaliby, Yusuf bermimpi pada umur 12 tahun, malam Jum’at bertepatan malam seribu malam (laila al-qadr). Dia bermimpi melihat bintang-bintang, Matahari dan rembulan turun dari langit dan bersujud kepada Yusuf.
Selanjutnya Abu Ja’far al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran dari Qatadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan kedua orang tuanya. Qatadah: pendapat sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa Matahari dan Rembulan adalah bapak beserta bibinya.
Riwayat dari Qotadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan adalah kedua orang tuangnya. Dari riwayat Ibn ‘Abbas: Matahari adalah bapak Yusuf. Bulan melambangkan bibinya dan bintang-gemintang adalah saudaranya.
Ada yang berpendapat Matahari dan Rembulan adalah bapak dan bibi Yusuf, bukan bapak ibunya? Menurut Fakhruddin al-Razy pada Mafatih al-Ghaib sebab pada saat itu ibunda Yusuf telah meninggal. Namun, ada juga ulama yang menafsirkan Matahari dan Rembulan adalah bapak ibu Yusuf, dengan dalil mimpi seorang Nabi adalah wahyu. Akan tetapi pendapat tersebut tidak kuat, sebab pada saat itu Yusuf bukan seorang Nabi.
Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui
Tiga Jenis Mimpi Menurut Rasulullah SAW
Rasulullah Saw membagi mimpi menjadi tiga, bisikan jiwa, ketakutan yang bersumber dari setan dan kabar gembira dari Allah Swt. Pembagian mimpi ini ada dalam riwayat Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرُّؤْيَا ثَلَاثٌ: فَرُؤْيَا حَقٍّ، وَرُؤْيَا يُحَدِّثُ بِهَا الرَّجُلُ نَفْسَهُ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٍ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَمَنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: mimpi itu ada tiga, mimpi yang benar, mimpi yang merupakan bisikan diri sendiri dan mimpi yang merupakan kesedihan dari setan. Maka barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak dia sukai, bangun dan shalatlah. (H.R. al-Nasa’i dan al-Tirmidzi).
Pertama, mimpi dari bisikan jiwa berasal dari angan-angan, pikiran dan cita-cita yang dialami seseorang sebelum tidur dan memenuhi pikirannya sehingga terbawa tidur. Mimpi pada kategori ini sama dengan teori pemadatan (condensation) dan pemindahan (displacement) yang disampaikan oleh Sigmund Freud. Dalam teori tersebut mimpi merupakan pemenuhan keinginan (wish-fulfillment) yang berasal dari alam bawah sadar yang telah diresepsi.
Kedua, mimpi yang bersumber dari setan. Hal ini mampu menumbuhkan ketakutan dan sedih pada diri manusia. Sehingga mengakibatkan murung, lesu dan kekhawatiran yang terbawa pada saat terjaga. Adapun jenis mimpi mimpi yang terakhir yaitu mimpi yang benar dan memiliki arti yang berasal dari Allah. (Muhamad Arphah Nurhayat, Mimpi Dalam Pandangan Islam, Juni 2006, Th.17, Nomor.1, 65-66).
Mimpi kategori ketiga ini mempunyai banyak istilah di beberapa riwayat hadis, seperti dalam dalam riwayat Ibn Umar berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ»
Ibn Umar berkata: Rasulullah Saw bersabda: Mimpi yang benar adalah bagian dari tujuh puluh bagian dari kenabian. (H.R. Muslim)
Banyak ulama menjelaskan bahwa mimpi yang benar (ru’ya al-shalihah) harus mimpi seorang Nabi karena termasuk wahyu sebagaimana penyampaian wahyu saat terjada. Namun menurut al-Marizy bisa saja mempunyai maksud bahwa mimpi itu kabar ghaib, salah satu manfaat kenabian, tidak hanya sebatas pada kenabian.
Sebab Allah boleh saja mengutus seorang Nabi untuk menjelaskan syariah dan hukumNya, tidak selalu mengabarkan perkara ghaib. Dan hal ini tidak mencederai kenabian serta tidak mempengaruhi pada tujuan kenabian. Bagian dari kenabian ini merupakan kabar ghaib sehingga apabila terjadi, maka ia adalah benar. (Nawawi, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajjaj, 15/22).
Baca juga:
Kesimpulannya seperti pendapat Fakruddin al-Razy bahwa mimpi Yusuf bukan wahyu, sebab saat itu Yusuf masih umur 12 tahun dan belum menjadi seorang Nabi. Namun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Hal ini yang mendukung bahwa seseorang juga bisa bermimpi seperti Yusuf meskipun bukan seorang Nabi. Terlebih Rasulullah Saw telah menyampaikan ada juga mimpi yang benar, yaitu dengan istilah ru’yah al-shalihah dan ru’yah al-haq.[]