Tafsiralquran.id – Ilmu munasabah juga merupakan salah satu sub kajian dalam ‘ulumul Qur’an. Dalam perkembangannya, ilmu munasabah telah mengilhami lahirnya teori-teori baru dalam penafsiran. Seperti adanya pembahasan kesatuan ayat atau surat dalam Alquran. Dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda.
Dalam catatan sejarahnya, ulama yang pertama kali memperkenalkan ilmu munasabah adalah an-Naisaburi (w. 324 H). Hadirnya ilmu ini sebagai respon an-Naisaburi kepada ulama Baghdad saat itu, yang menurutnya belum mengetahui akan ilmu munasabah.
Kemudian, Ahmad bin Ibrahim bin Zubair as-Saqafi (628-708 H) dalam kitabnya, al-Burhan fi Tanasub Suwar al-Qur’an, membahas munasabah secara tersendiri. Lalu, diikuti oleh Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdillahh az-Zarkasyi (745-749 H) yang juga memaparkan pembahasan munasabah dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.
Selanjutnya, ilmu munasabah dipraktekkan langsung dalam sebuah penafsiran oleh Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i (w. 885 H) pada kitabnya Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar.
Arti kata munasabah secara bahasa berasal dari akar kata nasaba yang artinya yaitu keterkaitan sesuatu dengan sesuatu. Demikian juga dengan kata al-nasab, yakni kekerabatan (qarabah). Juga, diartikan sebagai muqaarabah yakni saling berdekatan, yang terjadi pada dua hal atau lebih, pada sebagian atau seluruhnya. Ada pula munasabah dalam hal illat dalam pembahasan qiyas.
Secara istilah, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh sebagai ulama yang konsentrasinya ada di bidang ke-alquran-an, di antaranya adalah az-Zarkasyi. Menurutnya, munasabah adalah ilmu yang mulia, teka-teki pikiran dan dengannya bisa diketahui kadar pembicaraan.
Az-Zarkasyi menuliskan demikian,
المناسبة امر معقول, إذا عرض على العقول تلقته بالقبول
Munasabah merupakan suatu perkara yang logis, ketika dihadapkan kepada akal, akal dapat menerimanya. Hal ini berarti, munasabah adalah upaya rasionalitas manusia untuk menyingkap rahasia keterkaitan ayat atau surat sehingga bisa diterima oleh akal.
Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i berpendapat,
فعلم مناسب القران علم تعرف منه علل ترتيب أجزائه
Bahwa perlunya untuk mengetahui ilmu munasabah, karena ilmu ini dapat mengetahui pembenaran akan susunan atau urutan dari bagian-bagian Alquran.
وأقل ما يعنيه هذا المعيار الدقيق أن وجه المناسبة بين الايات أو بين السور يخفى تاره و يظهر أخرى
Ia berpendapat bahwa munasabah itu adakalanya antar ayat atau antar surat, dan adakalanya samar, juga adakalanya jelas.
Penyebutan istilah munasabah pun berbeda-beda dikalangan mufassir, sebagai suatu bentuk sinonim. Al-Fakhr al-Razi menggunakan istilah ta’alluq, al-Alusi menggunakan istilah tartib, sedangkan Rasyid Ridha menggunakan dengan dua istilah yakni al-ittishal dan al-ta’lil.
Manna’ al-Qattan menjelaskan bahwa munasabah dibagi menjadi tiga, yakni, pertama, munasabah antar kalimat (jumlah), yaitu persesuaian antara suatu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat. Kedua, munasabah antar ayat yaitu, persesusaian antara ayat dengan ayat dalam satu surat. Munasabah model ini akan kelihatan jelas pada surat-surat pendek yang mengandungsatu tema pokok.
Dan, ketiga yaitu munasabah antar surat, adalah persesuaian antara satu surat dengan surat lainnya bisa diperinci, dengan pertama, munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya. kedua, Persesuaian antara penutup (akhir) suatu surat dengan pembuka (awal) surat berikutnya. Ketiga, Munasabah antara nama surat dengan isi yang dikandungnya.
Dalam perkembangannya, memang tidak semua ulama menerima adanya ilmu munasabah ini. Ada yang menolak, menerima dan ada juga yang berupaya untuk menengahi perkara ini. Yang menolak ilmu munasabah ini, salah satunya yaitu Imam Syaukani. Menurutnya, penafsiran yang menerapkan munasabah berarti telah menggunakan akal pikiran mufassir secara pribadi.
Sehingga, dalam mengaitkan ayat atau surat ada unsur kelancangan dan kecerobahan, tidak obyektif, serta tidak mengaitkan pendapat kepada Ulama yang ahli balaghah, apalagi mendekati maksud dari ayat atau surat. Hal ini sebenarnya tidak lain adalah untuk menjaga penafsiran agar tidak menyimpang.
Pendapat Imam Syaukani tersebut mendapat respon dari Imam Syarqawi. Ia menilai bahwa Imam Syaukani tidak konsisten terhadap argumentasinya. Di satu waktu ia mencela Imam al-Biqa’i, namun di sisi lain ia memuji terhadap apa yang dilakukan Imam al-Biqa’i dalam kitab tafsirnya.
Kemudian, yang menerima ilmu munasabah dan meyakini bahwa munasabah ada dalam keadaan apapun, di antarnya yaitu Imam Fakhrur Razi, Imam Ibn Zubair serta Imam al-Biqa’i. Dan, yang menengahi akan hal ini adalah Imam ‘Izzuddin ‘Abd al-Salam, argumennya dikutip oleh Imam al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan.
Imam ‘Izzuddin memberikan sebuah tanggapan dengan memberikan argumen, bahwa memang benar ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, akan tetapi persyaratan yang baik dalam pertalian sebuah kalam adalah ketika menjadi satu pertalian dari awal hingga akhir.
Sedangkan apabila terjadi perbedaan sebab turunnya ayat, maka hal itu tidak menjadi persayaratan pertalian antara satu dengan yang lainnya. Imam ‘Izzuddin melanjutkan argumennya dengan memberikan penegasan, jika tetap dimunculkan sebuah pertalian dari hal yang berbeda tersebut kemudian dihasilkan sebuah penafsiran, maka hal itu di luar batas kemampuan dan penafsiran yang dihasilkan pun jauh dari keidealan tafsir. Demikianlah, penjelasan terkait ilmu munasabah secara ringkas.[]