Reorientasi dan reformulasi dalam tubuh pendidikan Islam di era pandemi dan disrupsi adalah keniscayaan. Mau tidak mau, pendidikan Islam harus memformat ulang baik kurikulum, sistem, strategi dan model pembelajaran, maupun kelembagaannya agar mampu adaptif sesuai dinamika zaman. Salah satu reorientasi dan reformulasi itu adalah penggunaan nalar induktif.
Kita tahu bahwa kegemilangan Islam di era Abbasiyah adalah klimaks daripada penggunaan nalar induktif. Temuan besar di segala bidang oleh ilmuwan muslim, katakanlah Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ar-Razi, dan sebagainya tidak terlepas dari pengarusutamaan (mainstreaming) nalar tersebut. Mereka, para ilmuwan muslim, tidak hanya pakar di satu bidang, namun hampir semua bidang. Ini menunjukkan keampuhan nalar induktif bagi pengembangan ilmu pengetahuan kala itu.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam
Allah swt sendiri telah menyiratkan kepada manusia untuk menggunakan nalar induktif dalam proses pembelajarannya sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti” (Q.S. al-Baqarah [2]: 164)
Tafsir Surah al-Baqarah ayat 164
Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul-nya memaparkan latar belakang turunnya ayat ini disebabkan oleh pertanyaan dari kaum kafir Quraisy sebagai berikut:
“Telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Tahir al-Taimi, Abu ‘Amr bin Mathar, Abu Abdullah al-Zayadi, diceritakan kepada kami Syibli dari Ibn Abi Najih, dari Atha; berkata, “ayat ini turun di Madinah kepada Rasulullah saw yaitu وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلرَّحْمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ lalu berkatalah kaum kafir Quraisy Makkah, “bagaimana mungkin Tuhan yang tunggal mampu mendengar atau meliputi semua urusan manusia?”
Maka turunlah ayat ini.
Baca juga: Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak pada Learning by Doing
Ayat ini, sebagaimana penjelasan Tafsir Kemenag, mengisyaratkan kepada manusia untuk mengambil hikmah dari semua penciptaan alam semesta dan seisinya. Dalam ayat ini Allah swt menuntunt kepada manusia untuk melihat, memperhatikan dan tafakur atas segala ciptaan-Nya dan kejadian di lingkungan sekitarnya agar semakin kaya keilmuan kita dan semakin mendekat kepada Allah swt.
Lebih jauh, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengemukakan bahwa Allah swt telah menjadikan bukti kebesaran-Nya melalui alam semesta dan seisinya sebagai pertanda wujud dan ketuhanan-Nya bagi hamba-Nya yang mau menggunakan akal fikirannya. Di antara bukti itu, kata Quraish Shihab, adalah langit yang tampak, gemerlap cahaya bintang yang berkilauan pada malam hari, peredaran bumi dan bulan yang teratur tidak saling menyalip atau bahkan bertabrakan, semilir angin yang menyegarkan, dan air yang menjadi nukleus kehidupan manusia.
Tidak jauh berbeda, Ibnu Abbas misalnya, menjelaskan bahwa pergantian siang dan malam dengan segala keutamannya, air, angin, awan dan berbagai macam binatang semua untuk menopang kehidupan manusia di muka bumi.
Pentingnya nalar induktif bagi kemajuan pendidikan Islam
Ayat di atas mengakomodasi betapa pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam kita. Jika dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur kurikulum dan materi pembelajaran harus mengapresiasi pengembangan nalar burhani atau induktif yang menjadi basis pengetahuan inquiry di segala aspek. Harus diakui, kurikulum dan model pembelajaran pendidikan Islam sementara ini lebih banyak menggunakan nalar deduktif atau dalam istilah Abid al-Jabiri disebut bayani dan irfani.
Jika nalar burhani atau induktif lebih banyak melatih peserta didik untuk berpikir secara induktif dan berbasis pada pengalaman empiris, maka nalar bayani dan irfani lebih mengedepankan kemampuan berpikir deduktif dengan cara indoktrinasi atau berangkat dari keimanan dulu baru dicari legitimasinya. Bahkan parahnya, peserta didik diasumsikan tak ubahnya tong kosong sehingga mau tidak mau mereka harus menerima materi secara terpaksa dan tidak bahagia.
Hal-hal semacam inilah menunjukkan ayat di atas semakin menemukan titik signifikansinya. Terlebih wabah pandemi Covid-19 adalah momentum yang “pas” untuk para pendidik, dosen, guru, kiai, dan seterusnya untuk mengawali pembelajarannya dengan berbasis pada nalar induktif sehingga peserta didik diajak berlatih untuk berpikir dan mengamati terlebih dahulu, tanpa harus indoktrinasi dan mengalpakan potensinya.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam
Sir Muhammad Iqbal dalam maha karyanya yang sudah menjadi klasik, The Reconstruction of Religious Thought in Islam menandaskan bahwa Islam memberikan ruang yang sangat luas bagi spirit induktif dalam proses pencarian kebenaran ilmiah. Menurutnya, “the birth of Islam is the birth of inductive intellect” (kelahiran Islam adalah kelahiran nalar induktif).
Dengan demikian, langkah konkrit berikutnya adalah bagaimana kita mengaplikasikan nalar induktif dalam proses belajar mengajar (PBM) atau paling tidak membumikannya kepada diri kita sendiri. Wallahu a’lam[]