Annabel Teh Gallop Kamis kemarin (05/02), mengunggah status tentang digitalisasi mushaf Kuno Nusantara di akun facebook-nya. Ia menuliskan ada delapan mushaf Kuno Asia Tenggara di British Library yang telah didigitalisasi dan bisa diakses secara gratis. Delapan mushaf itu terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga dari Aceh, dan empat dari Jawa. Mushaf-mushaf ini tentu sangat layak untuk diulas, namun artikel ringan ini akan membahas figur Annabel Gallop pakar mushaf terlebih dahulu. Siapakah ia?
Annabel sangat dikenal di kalangan pemerhati naskah kuno Nusantara sebagai pakar manuskrip Melayu. Tentu, istilah Nusantara ini mencakup wilayah yang kini berupa Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, hingga Filipina. Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library London Inggris ini meneliti banyak sekali manuskrip yang ada di wilayah tersebut. Berbagai manuskrip baik berbentuk korespondensi, sastra hingga mushaf Al-Qur’an ia tekuni. Namun, ia sangat fokus terhadap manuskrip yang berbentuk dokumen, atau yang memiliki stempel, dan iluminasi.
Baca juga: Teologi Memahami Bahasa Asing: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22
Annabel sebenarnya menghabiskan pendidikan strata satu di jurusan Matematika. Namun ia justru mengambil masternya di Indonesian and Malay Studies, SOAS London. Keputusan ini membawanya untuk terus konsisten di bidang Melayu, dan pada studi doktoralnya ia menulis tentang inskripsi stempel Melayu. Konsistensi Annabel semakin kuat karena pada tahun 1986 ia mendapat tugas sebagai Curator for Maritime Southeast Asia. Dan sejak 2002 ia bertugas sebagai Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library.
Kontribusi Annabel Gallop terhadap Kajian Mushaf Nusantara
Dalam kajian Mushaf Nusantara, Annabel banyak bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang tersimpan di luar negeri. Contoh beberapa penelitiannya itu berjudul An Acehnese Qur’an manuscript in Belgium (Sebuah Manuskrip Al-Qur’an Aceh di Belgia). From Caucasia to Southeast Asia: Daghistani Qur’ans and the Islamic manuscript tradition in Brunei and the southern Philippines (Dari Kaukasia ke Asia Tenggara: Al-Qur’an Dagestan dan Tradisi Manuskrip Keislaman di Brunei dan Filipina Selatan).
Kemudian, The spirit of Langkasuka? Illuminated manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula (Semangat Langkasuka? Naskah Beriluminasi dari Pantai Timur Semenanjung Malaya). Qur’an manuscripts from Mindanao in U.S. collections (Manuskrip Al-Qur’an dari Minadanau Koleksi Amerika Serikat). Lalu ada juga mushaf yang kini di Kanada di Museum Aga Khan dengan judul The Bone Qur’an from South Sulawesi (Al-Qur’an Bone dari Sulawesi Selatan).
Selain bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang ada di luar negeri, ia juga fokus pada karakteristik fisik mushaf. Terlebih yang bersinggungan dengan iluminasi. Adapun beberapa penelitiannya itu berjudul The Art of the Malay Qur’an (Seni Al-Qur’an Melayu). The Art of the Qur’an in Southeast Asia (Seni Al-Qur’an di Asia Tenggara). The Art of the Qur’an in Java (Seni Al-Qur’an di Jawa).
Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis
Kemudian ia juga menganalisa perkembangan kajian manuskrip Al-Qur’an di wilayah Nusantara. Sehingga tulisannya pun lahir The appreciation and study of Qur’an manuscripts from Southeast Asia: past, present, and future (Apresiasi dan Kajian Manuskrip Al-Qur’an dari Asia Tenggara: Dulu, Kini, dan Nanti).
Sosok yang pernah menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia tahun 2017 kategori Perorangan Asing ini memang sangat inspiratif. Ia juga mengapresiasi upaya lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an yang menerbitkan database mushaf Nusantara.
“Database ini akan membuka mata semua orang di seluruh dunia akan kekayaan khazanah mushaf Nusantara. Saya sendiri sangat tertegun dan kagum dengan mushaf dari misalnya Madura, Sumbawa, dan Kalimantan Timur yang masing-masing memperlihatkan kekhasan kedaerahan, tetapi juga ada benang merah yang mengikat semuanya, yaitu gaya kenusantaraan,” ujar Annabel, mengutip dari lama Mushaf Nusantara.
Selama menekuni kajian mushaf Nusantara, Annabel juga sering kolaborasi dengan pemerhati mushaf lainnya. Misalnya Ali Akbar, peneliti Lajnah ini acap kali berkolaborasi dan penelitiannya telah dipublikasikan. Beberapa hasil penelitiannya itu The Art of The Qur’an in Banten (Seni Al-Qur’an di Banten). Kemudian karya Ali Akbar berjudul Pengaruh Qur’an [Turki] Usmaniyah di Asia Tenggara dari Masa ke Masa juga diterjemahkan Annabel dengan judul “The Influence of Ottoman Qur’ans in Southeast Asia through the Ages”. Karya ini lantas dimasukkan dalam buku From Anatolia to Aceh: Ottomans Turks and Southeast Asia terbitan Oxford Universit Press, tahun 2015.
Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
Melihat dari uraian karya tersebut, kompetensi Annabel Gallop tentu patut untuk dilanjutkan. Ia sangat berkontribusi pada seni yang ada di mushaf kuno Nusantara. Tentu masih ada banyak bagian yang belum disinggungnya, khususnya bagian ulumul Qur’an baik berupa rasm, qiraat, dhabt, atau lainnya. Alangkah indahnya jika puzzle peradaban dari mushaf kuno itu tersusun rapi dan penuh. Bukankah kita akan mengenal siapa nenek moyang kita dan bagaimana interaksinya dengan keyakinan beragama?
Hingga kini masih banyak manuskrip Al-Qur’an yang belum diungkap. Kita sebagai anak bangsa turut bertanggung jawab untuk melestarikan khazanah itu. Karena pada prinspinya, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai sejarah dan peradabannya.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam[]