BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al A'raf ayat 103-105

Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105

Hingga saat ini kita masih akrab dengan kisah Fir’aun yakni seorang raja yang mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun hidup pada masa Nabi Musa dan di dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105 ini akan mengisahkan tentang Nabi Musa dan Fir’aun.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105, khususnya pada ayat 103 disebutkan bahwa sebanyak 130 kali penyebutan nama Nabi Musa dalam Alquran yang mana tidak ada seorang raja atau nabi pun yang disebut sebanyak itu melainkan hanya Nabi Musa. Kisah tentang Nabi Musa ini kebanyakan terdapat dalam surat Makiyah dan Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105 merupakan surat Makiyah.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102


Ayat 103

Kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an kebanyakan terdapat dalam surah Makiyah, baik Surah-Surah yang panjang maupun yang pendek, dimulai dari Surah al-A’raf yang merupakan Surah Makiyah pertama menurut susunan surah-surah Al-Qur’an, dimana terdapat kisah Nabi Musa as. Kemudian terdapat pula Surah Taha, Asy-Syu’ara, An-Naml, Al-Qashash, Yunus, Hud dan Al-Mu’minun.

Nama Nabi Musa as seringkali disebut dalam Al-Qur’an lebih dari 130 kali, tidak ada seorang pun Nabi lainnya, ataupun raja-raja yang namanya disebut sebanyak itu dalam Al-Qur’an. Hal ini disebabkan antara lain karena kisah Nabi Musa sangat mirip dengan kisah Nabi Muhammad. Selain itu, kedua Nabi ini mempunyai umat yang besar jumlahnya, yang memiliki kekuasaan dan kemajuan peradaban yang tinggi.

Nabi Musa as adalah putera Imran. Ia berkebangsaan Israil, dilahirkan di Mesir, ketika Bani Israil menetap di negeri Mesir, dimasa kekuasaan raja-raja Fir’aun.

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah mengutus rasul-rasul-Nya yang tersebut dalam ayat-ayat terdahulu, maka Dia mengutus Nabi Musa as dengan membawa ayat-ayat-Nya kepada Fir’aun  dan pemuka-pemukanya. Fir’aun  adalah gelar yang dipakai oleh raja-raja di Mesir, pada masa dahulu kala, sebagaimana gelar “Kisra” bagi raja-raja Persia dan gelar “Kaisar” bagi raja-raja Romawi.

Fir’aun  yang memerintah di Mesir pada masa Nabi Musa, bernama Minepthah  Ramses II. Ia seorang penguasa dinasti kesembilan belas, sekitar tahun 1491 SM. Mumi (mayat) Minepthah masih ada sampai sekarang dan disimpan di Museum Nasional Mesir, Kairo.

Disebutkan dalam ayat ini, bahwa Fir’aun  bersama pemuka-pemukanya telah kafir terhadap ayat-ayat Allah yang dibawa oleh Nabi Musa as kepada mereka. Ayat-ayat atau mukjizat yang dibawa Musa as kepada mereka, tetap mereka tolak dengan sikap angkuh dan sombong. Fir’aun  dan para pemuka kaumnya telah memperbudak rakyatnya.

Lebih-lebih terhadap Bani Israil yang merupakan orang asing yang tinggal di Mesir ketika itu, dibawah cengkeraman kekuasaan yang zalim dari Fir’aun  dan para pemukanya.

Andaikata Fir’aun  dan para pemukanya itu beriman kepada Nabi Musa dan agama yang dibawanya, niscaya seluruh penduduk negeri Mesir ketika itu tentulah beriman pula, sebab mereka itu semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Fir’aun  dan para pembesarnya.

Karena keingkaran Fir’aun  dan para pembesarnya, maka pada akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad beserta umatnya untuk memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang ingkar kepada rasul-rasul-Nya, serta berbuat kerusakan di bumi, yaitu dengan berbuat kezaliman serta memperbudak sesama manusia.

Allah akan menceritakan dalam ayat selanjutnya bagaimana Nabi Musa sebagai salah seorang dari Bani Israil yang tertindas dan akhirnya dapat mengalahkan ahli-pesihir Fir’aun serta meyakinkan para ulamanya tentang kebenaran risalah yang dibawanya.

Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’qub yang bernama Israil. Nabi Ya’qub berasal dari Kan’an (Palestina). Dia pindah ke Mesir bersama keluarga dan putera-puteranya setelah diajak oleh puteranya, yaitu Nabi Yusuf untuk pindah ke negeri Mesir. Nabi Yusuf pada waktu itu diangkat oleh Raja Mesir menjadi penguasa yang mengurus perbekalan negara. Keturunan Nabi Ya’qub kemudian berkembang biak di Mesir, hingga akhirnya menjadi satu bangsa yang besar yang disebut Bani Israil.

Fir’aun  berusaha agar Bani Israil itu tidak terus berkembang-biak, dengan membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mereka diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi dan dijadikan sebagai pekerja-pekerja paksa dan berbagai bentuk penindasan dan perbudakan yang lain.

Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari perbudakan Fir’aun  dan membawa mereka keluar dari negeri Mesir. Pertolongan Allah kepada Nabi Musa as selanjutnya, ialah menimpakan azab kepada Fir’aun  dan menyelamatkan kaum Nabi Musa, serta tenggelamnya Fir’aun  dan para pengikutnya dan bala tentaranya di Laut Merah ketika mereka mengejar Nabi Musa dan kaumnya.

Kisah ini mengandung pelajaran yang amat berharga, bahwa hanya dengan kekuatan materiil (kebendaan) tidak menjamin kemenangan bagi seseorang atau satu bangsa. Sebaliknya, umat yang mempunyai keimanan yang teguh kepada Allah, niscaya akan memperoleh pertolongan dari pada-Nya, sehingga umat tersebut akan dapat mengalahkan orang-orang yang hanya bersandar kepada kekuatan materiil saja.

Ayat 104 dan 105

Dalam ayat ini dikisahkan ucapan Musa yang pertama kali disampaikan kepada Fir’aun setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul. Nabi Musa memberitahukan kepada Fir’aun, bahwa dia adalah utusan Allah, Tuhan semesta alam. Pemberitahuan ini berarti bahwa: Musa telah menjalankan tugasnya sebagai nabi Allah, Pencipta dan Penguasa seluruh alam. Karena itu hendaknya Fir’aun menerima keterangan Nabi Musa tersebut dan tidak akan menghalang-halangi tugasnya sebagai Rasul.

Selanjutnya Nabi Musa menambahkan keterangannya, bahwa dia mengatakan yang hak mengenai Allah. Artinya: apa yang dikatakannya bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Alam, dan bahwa Dia telah mengutusnya sebagai Rasul adalah hal yang sebenarnya. Ia tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, karena mustahil Allah mengutus orang yang suka berdusta.

Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Musa membawa bukti-bukti yang dikaruniakan Allah kepadanya, untuk membuktikan kebenarannya dalam dakwahnya. Dalam ucapan itu, Nabi Musa memakai ungkapan: “Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa bukti dari Tuhanmu”. Ini adalah untuk menunjukkan bahwa Fir’aun bukanlah Tuhan, melainkan hanya sekedar hamba Tuhan. Sedang Tuhan yang sebenarnya adalah Allah swt.

Keterangan ini sangat penting artinya, karena Fir’aun yang angkuh itu telah mengaku sebagai Tuhan dan menyuruh rakyatnya menyembah kepadanya. Maka penegasan Nabi Musa ini telah menyangkal kebohongan dan kesombongan Fir’aun, yang telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan. selain itu, ungkapan Nabi Musa, juga mengandung arti, bahwa bukti-bukti yang dibawanya adalah karunia Allah bukan dari dirinya sendiri.

Pada akhir ayat ini disebutkan, bahwa setelah mengemukakan keterangan-keterangan tersebut di atas, dan setelah melalui perjuangan yang melelahkan Musa as menuntut kepada Fir’aun agar ia membebaskan Bani Israil dari cengkeraman kekuasaan dan perbudakannya, dan membiarkan mereka pergi bersama Nabi Musa meninggalkan negeri Mesir, kembali ke tanah air mereka di Palestina, agar mereka bebas dan merdeka untuk menyembah Tuhan mereka dan melaksanakan ajarannya.

Tuntutan Nabi Musa tersebut mengandung arti bahwa perbudakan oleh manusia terhadap sesama manusia harus dilenyapkan dan seorang penguasa hendaklah memberikan kebebasan kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, untuk memeluk agama serta melakukan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu, kalau Fir’aun tidak mau beriman kepada Allah janganlah ia menghalangi orang lain untuk beriman dan beribadah menurut keyakinan mereka.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa ucapan pertama kali dari Nabi Musa as dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Rasul adalah berbeda dengan ucapan Nabi dan Rasul-rasul sebelumnya, ketika mereka mulai berdakwah, misalnya:

  1. Ucapan pertama dari Nabi Nuh as kepada kaumnya adalah sebagai berikut:

لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ   

“Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia”. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang dahsyat (kiamat). (al-A’raf/7:59);

Ucapan Nabi Hud kepada kaum ‘Ad adalah :

وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ  

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” (al-A’raf/7: 65)

Dan ucapan Nabi Saleh kepada kaum Tsamud adalah:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًاۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْۗ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ    ;

“Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkan ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih”. ( al-A‘raf/7: 73);

ucapan Nabi Syu’aib kepada kaumnya, penduduk Madyan, adalah:

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ 

“Dan kepada penduduk Madyan, (Kami utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri. Dia berkata,” “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu merugikan sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan  di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman”. ( al-A‘raf/7: 85)

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Fir’aun adalah:

يٰفِرْعَوْنُ اِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

“Wahai Fir’aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh  alam.” (al-A’raf/7: 104)

Bila kita bandingkan antara ayat-ayat tersebut nampak perbedaan diantaranya yaitu bahwa: ucapan pertama dari Rasul-rasul sebelum Nabi Musa as yang ditujukan kepada kaum mereka masing-masing adalah berisi seruan kepada agama tauhid, yaitu menyembah Allah semata, dengan alasan bahwa tidak ada tuhan bagi manusia selain Allah.

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang  ditujukan kepada Fir’aun adalah berisi pemberitahuan kepadanya bahwa Musa adalah utusan Allah. Dengan demikian, dalam ucapan itu tidak ada seruan yang nyata kepada Fir’aun agar ia menyembah Allah.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan atau pengertian sebagai berikut:

  1. Obyek (sasaran) yang utama dari dakwah Musa bukan hanya Fir’aun tetapi termasuk kaumnya sendiri, yaitu Bani Israil. Musa bertugas untuk melepaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun dan membimbing kaumnya kepada agama yang benar.
  2. Nabi Musa mengenal watak dan kelakuan Fir’aun, Fir’aun tidak saja ingkar kepada Allah, bahkan juga ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan menyuruh orang lain untuk menyembahnya. Oleh sebab itu Fir’aun hanya diberi peringatan bahwa tuhan yang sebenarnya bukanlah dia, melainkan Allah Pencipta alam semesta. Karena tidak ada faedahnya untuk mengajak Fir’aun menyembah Allah, ajakan ini pasti tidak akan dihiraukan dan tidak akan diindahkannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....