Melagukan bacaan Al-Quran atau Taghanni bi al-Quran di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Artikel ini akan mengulas sedikit mengenai pandangan-pandangan tersebut terutama yang dirangkum oleh Syekh Ali As-Shabuni.
Kata Taghanni (melagukan) diambil dari al-ghina, yaitu lagu yang bisa menyenangkan hati atau membuat hati riang gembira. Abu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh Labib Sa’id dalam kitabnya, At-Taghanni bi al-Qur’an, mengatakan bahwa lagu (ghina’) dinamakan demikian, karena orang yang mendengarkannya merasa cukup (yasthagni) dengannnya melebihi banyak perkataan lainnya.
Dalam melagukan sesuatu, seseorang harus mengetahui situasi dan kondisinya. Dalam situasi perang, yang cocok adalah lagu yang menggelorakan semangat juang. Pada saat ada berita duka atau teringat kampung halaman, lagu yang cocok adalah yang sendu.pada saat riang gembira, yang cocok adalah lagu yang memepunyai nada riang dan seterusnya.
Baca Juga: Menelisik Sejarah Tradisi Seni Tilawah Al-Qur’an
Bahasa Al-Qur’an sangat indah, tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan semisal Al-Qur’an. Jika keindahan bahasa dibacakan oleh seorang yang mempunyai suara yang indah dengan selalu memperhatikan hukum-hukum tajwid maka akan memberikan pengaruh yang demikian mendalam bagi para pendengarnya. Maka, bolehkah melagukan bacaaan Al-Quran? Para ulama’ sebagaimana dikemukakan Syaikh ‘Ali As-Shabuni dalam kitabnya Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, terbelah menjadi dua pendapat.
Pertama, mereka yang menolak dan tidak setuju melagukan bacaan Al-Quran. Ini adalah pendapat ulama dari mazhab Maliki dan Hambali. Pendapat ini dipegangi oleh sahabat Anas bin Malik, Sa’id bin Al-Musayyab, Sa’id bin Jubair, Al-‘Ashim bin Muhammad, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan lainnya. Sebagaimana dalil rujukannya:
- Nabi pernah bersabda mengomentari mereka yang membaca Al-Qur’an dengan berlagu:
يَتَّخِذُوْنَ الْقُرْأَنَ مَزَامِيْرَ يُقَدِّمُوْنَ اَحَدَهُمْ لَيْسَ بِأِقْرَئِهِمْ وَلَا اَفْضَلِهِمْ لِيُغَنِّيَهُمْ غِنَاءً
“mereka (pembaca Al-Qur’an) menjadikan Al-Qur’an seperti seruling. Mereka mengajukan (sebagai imam shalat) orang yang bukan ahli membaca Al-Qur’an dan bukan orang yang terpilih,dia melagukan Al-Qur’an seperti orang yang bernyanyi”.
- Imam Malik pernah ditanya tentang hukum orang yang melagukan bacaan Al-Quran sewaktu shalat, beliau menjawab, “aku tidak menyukainya”, dan berkata:
اِنَّمَا هُوَ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ لِيَأْخُذُوا عَلَيْهِ الدَّرَاهِمَ
“itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuannya mencari uang”.
Kedua, mereka yang setuju melagukan bacaan Al-Quran. Inilah pendapat ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi. Pendapat ini dipegangi oleh Umar bin Khatthab, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdurrahman bin Al-Aswad bin Zaid, Abu Ja’far Ath-Thabari, Abu Bakar bin Al-‘Arabi, dan lainnya. Sebagaimana dalil rujukannya:
- Hadis Nabi
مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِااْلقُرْأَنَ فَلَيْسَ مِنَّا
“barang siapa tidak melagukan Al-Qur’an, dia bukan dari golonganku (tidak mengikuti perilakuku).” (HR Abu Dawud)
Baca Juga: Memahami Makna Tilawah al-Quran dari Segi Bahasa dan Penggunannya dalam Al-Quran
- Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan lainnya:
وَرَوَى عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَغَيْرُهُ لِكُلِّ شَيْءٍ حِلْيَةٌ وَحِلْيَةُ اْلقُرْأَنِ الصَّوْتُ اْلحَسَنُ, قَالُوْا فَاِنْ لَمْ يَكُنْ حَسَنَ الصَّوْتِ؟ قَالَ حَسِّنْهُ مَا اسْتَطَاعَ.
“setiap sesuatu ada hiasannya, hiasan Al-Qur’an adalah suara yang bagus (indah). Sahabat bertanya, jika suaranya tidak bagus? Nabi menjawab, diusahakan bagus semampunya.” (Dalilul Falihin, VI/322)
- Ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab:
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ لِاَبِي مُوْسَى: ذَ كِّرْنَا رَبَّنَا فَيَقْرَأُ أَبُوْمُوْسَى وَيَتَلَاحَنُ وَقَالَ مَنِ اسْتَطَاعَ اَنِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْأَنِ غِنَاءَ أَبِيْ مُوْسَى فَلْيَفْعَلْ.
“Umar berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: ingatkanlah diriku akan Allah. Abu Musa lalu membaca Al-Qur’an dan melagukannya. Umar berkata: “barangsiapa ingin membaca Al-Qur’an dengan berlagu sebagaimana Abu Musa lakukan, maka lakukanlah.”
Dari dalil-dalil yang telah dikemukakan, pendapat kedua tampak tampak lebih rajih daripada yang pertama, karena dalilnya kuat dengan catatan bahwa membaca Al-Qur’an dengan lagu (taghanni) tidak sampai merubah unsur tajwid. Unsur tajwid harus dikedepankan karena tajwid itu wajib (dharuriyyat), sementara melagukan bacaan Al-Quran bersifat (kamaliyat) atau demi kesempuraan bacaaan. Wallahu A’lam.