DJohan Effendi: Pembaharu Islam dan Penulis Tafsir Ijmali Al-Quran Puitis

DJohan Effendi
DJohan Effendi

Bagi kalangan pemikir muslim Indonesia, nama Djohan Effendi terdengar sudah tidak asing. Ia disebut sebagai salah satu pelopor pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, di samping Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wachid, dan Ahmad Wahid. Jika menilik rekam jejak para pembaru Islam Indonesia, jarang sekali ditemukan karya mereka yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran. Kebanyakan karya mereka biasanya menyangkut persoalan pemikiran yang tidak lagi membicarakan teks secara literal. Namun, sedikit bukan berarti tidak ada sama sekali. Di akhir hidupnya, Djohan Effendi sempat menulis karya tafsir ringkas Al-Quran atau yang disebut tafsir ijmali dengan sajian bahasa yang puitis. Karya tersebut ia beri nama “Pesan-Pesan Al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci”.

Djohan Effendi, Sosok Pembaharu Islam Indonesia

Djohan Effendi lahir di Kota Banjarmasin pada tanggal 1 Oktober 1939 dari pasangan H. Mulkani dan Hj. Siti Khadijah. Ia dibesarkan oleh keluarga yang relijius, di mana sejak dini Djohan telah diperkenalkan dengan teks-teks berbahasa Arab. Ahmad Gaus dalam bukunya Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi menyebutkan bahwa kakek beserta ayah dan ibu Djohan menganut paham tradisionalis. Maka, tak salah lagi, jika Djohan mewarisi pendidikan agama yang bercorak tradisionalis.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Khamar itu Haram! Fase Terakhir Pengharaman Khamar

Selain dari lingkungan keluarga, riwayat pendidikan Djohan juga mempengaruhi pemikirannya kelak. Pendidikan formalnya dimulai dengan masuk di Sekolah Rakyat selama 6 tahun, lalu Sekolah Arab selama 3 tahun, kemudian masuk ke Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Setelah menamatkan pendidikannya di PGAP, Djohan menerima beasiswa ikatan dinas ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Bersamaan itu pula ia diangkat mejadi pegawai negeri yang bekerja di Kerapatan Qadhi (Kantor Pengadilan Agama) di Amuntai, Hulu, Sungai Utara.

Sekitar tahun 1960, saat Djohan bekerja, ia mendapat tugas belajar di fakultas Syariah dari Departemen Agama. Pada saat-saat inilah, pemikirannya mulai kritis karena ia banyak bergumul dengan para aktivis dan mendalami literatur secara lebih mendalam. Ia mengusulukan kepada Mukti ali, Dosen Senior UIN Sunan Kalijaga pada waktu itu untuk membuat kelompok kajian terbatas. Kelompok diskusi tersebut dinamai limited group yang beranggotakan calon-calon pembaharu Islam kelak.

Setelah lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, DJohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama, kemudian diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Pada tahun 1993, ia meraih gelar peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan guru besar di perguruan tinggi. Karena pemikirannya yang moderat, dalam sambutan pidato pengukuhannya ia seringkali menyinggung eksistensi kelompok penganut kepercayaan minoritas yang sering diperlakukan tidak adil seperti Kong Hu Chu, dan Baha’i. Selain itu Djohan juga dikenal sangat gencar membela kelompok minoritas Ahmadiyah.

Baca juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

Djohan memanglah sosok yang sangat terbuka, moderat, kritis, dan humanis. Greg Barton, seorang sarjana dari Monash University Monash mengakui dalam disertasinya bahwa Djohan Effendi setara dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wachid, dan Ahmad Wahib, sebagai seorang neo-modernis Islam. Di usianya yang sudah tua, ia lebih mengurangi aktivitasnya, dan memilih tinggal di Australia. Pada saat-saat inilah ia mulai konsen menyelami Al-Quran hingga melahirkan karya terakhir sebelum ia wafat pada 17 November 2017. Karya terakhir tersebut merupakan sebuah tafsir Al-Quran ringkas yang diberi judul Pesan-Pesan Al-Quran.

Pesan-Pesan Al-Quran Sebagai Karya Tafsir Ijmali Al-Quran yang Puitis

Karya-karya Djohan Effendi terbilang cukup banyak. Namun, sebagaimana pembaharu Islam lainnya, kebanyakan tulisan Djohan adalah menyangkut pemikiran. Kendati demikian, di akhir hidupnya ia menuliskan sebuah karya tafsir Al-Quran yang ia beri nama “Pesan-Pesan Al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci”.

Karya tersebut merupakan sebuah tafsir ijmali Al-Quran. Dinamakan tafsir ijmali karena dalam setiap surahnya, Djohan hanya menafsirkan surah secara umum, meski dalam beberapa surah panjang penjelasannya dibagi dalam beberapa sub bab. Barangkali Djohan juga menghendaki keringkasan tersebut, karena ia juga tidak menuliskan ayat-ayat Al-Quran di dalamnya. Namun meski tafsir ini sangat ringkas, bahasa yang disajikan Djohan dalam tafsirnya sangat puitis dan memikat.

Secara kaar, tafsir yang berisi 544 halaman tersebut dibagi dalam 9 bab. Urutan per banya adalah biografi penulis, daftar isi, pendahuluan, pembahasan, lampiran, terjemah puitis, indeks, dan senarai bacaan. Secara metode, karya tafsir tersebut memakai metode maudhu’i (tematik), dan urutan pembahasan surahnya secara tertib mushaf. Penafsirannya pertama-tama adalah surah Al-Fatihah sebagai prolog, diikuti kemudian ke-110 surah yang lain, lalu ditutup dengan epilog penafsiran surah Al-Ikhlas dan Al-Mu’awizatain (Al-Falaq dan An-Nas).

Baca juga: Women’s Day: Raden Ajeng Kartini dan Peradaban Penafsiran Al-Quran di Indonesia

Karya tafsir Djohan tentu memiliki banyak kekurangan, selain juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tak kalah banyak. Namun, kekurangan itu terlindungi oleh kerendahan hati Djohan dalam senarai “bahwa buku ini pasti subjektif”, sebagaimana yang diungkapkan laJalaluddin Rakhmat dalam diskusi yang diadakan di Teater Utan Kayu, Jakarta.

Yang menarik dari tafsir ringkas Djohan adalah penggunaan bahasanya yang puitis dan memikat. Hal ini diakui oleh Ahmad Mustafa Bisri yang dikutip Diponegoro dalam buku Kabar Wigati dan Kerajaan, Puitisasi Terjemahan al-Qur’an Juz ke-29 dan ke-30. Diksi dalam penafsiran tersebut sangat romantis di setiap surah. Tak hanya itu, setiap penutupan penafsirannya pada semua surah ia berikan terjemahan puisi.

Salah satu bunyi puisi yang memikat itu bisa kita temukan pada penutupan surah An-Nahl:

Lebah

Dia Mahakaya

Segala Ciptaan-Nya tak percuma

Sekadar dicipta lalu dibiarkan binasa

Hilang ditelan waktu

Tengoklah lebah

Biar seekor hewan kecil

Lemah, Tapi hidupnya berguna

Tidak sia-sia, Hinggap dari bunga ke bunga

Mengisap sari makanan

Diolah Menjadi madu

Bersi,

Berkhasia,

Bagi manusia

Wallahu a’lam.